Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Nila Djuwita Farid Moeloek dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, Ahad pekan lalu, orang belum banyak tahu siapa Nila.
Nama Nila memang tak pernah beredar di bursa calon menteri. Ada beberapa nama yang beredar, misalnya Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Fahmi Idris dan Biran Effendi, Ketua Majelis Pendidikan Ikatan Dokter Indonesia. Nila mungkin tak begitu ngetop. Malah suaminya, Farid Anfasa Moeloek, pernah menjabat Menteri Kesehatan pada 1998 hingga 1999.
Dari segi pengalaman dan pengetahuan, Nila sebenarnya punya bekal lumayan sebagai calon Menteri Kesehatan. Dia merupakan guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan spesialisasi mata, khususnya kanker mata.
Di luar profesinya, Nila menjabat Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan Pusat. Di sanalah Nila banyak bergaul dengan ibu-ibu pejabat dari berbagai departemen hingga Ibu Presiden Ani Yudhoyono.
Namun semua itu rupanya belum menjamin Nila mulus melewati ”seleksi” menteri. Setelah melalui wawancara dengan Presiden dan Wakil Presiden serta tes kesehatan, langkah Nila justru kandas. Dia dianggap tidak cukup tahan menghadapi tekanan. Posisi dia digantikan Endang Rahayu Sedyaningsih, nama yang sebelumnya juga tak pernah beredar di media.
Gosip pun merebak. Dari soal tekanan luar negeri hingga keterkaitan Nila dengan kelompok antitembakau. Sambil sesekali melayani cucu-cucunya, Nila menjelaskan berbagai hal soal pencalonannya kepada Sapto Pradityo, Nunuy Nurhayati, dan Agus Supriyanto dari Tempo, di rumahnya di kawasan Patra Kuningan, Jakarta, Jumat petang, pekan lalu.
Kapan dan oleh siapa persisnya Anda dihubungi pihak Istana?
Sabtu malam, 17 Oktober, sekitar pukul 21.30 oleh Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, bukan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.
Apakah Anda sebelumnya sudah mendengar kabar atau gosip soal pencalonan itu?
Saya tidak pernah mendengar kabar atau gosip. Tanda-tanda juga tidak ada. Dan saya juga tidak mengharapkannya. Panggilan itu tak pernah terlintas di pikiran saya. Siang itu saya memang sudah melihat di televisi, siapa saja calon menteri yang sudah dipanggil. Sabtu itu sebenarnya saya memang libur, cuma ada praktek pukul 14.00. Sore harinya cucu saya ulang tahun. Malamnya, waktu suami salat, telepon seluler dia berbunyi. Saya yang mengangkat.
Jadi kabar itu disampaikan lewat ponsel suami?
Ya. Mereka telepon lewat ponsel suami saya. Mungkin karena mereka tidak punya kontak saya. Waktu Hatta telepon, saya lihat yang kelihatan di layar ponsel nama Boediono. Karena kami memang kenal beliau, saya angkat. Tapi ternyata yang telepon bukan Bapak Wakil Presiden Boediono, melainkan Hatta Rajasa. Entah kenapa lewat nomor Boediono.
Sebelumnya juga tidak pernah ada orang dari partai politik yang memberi kabar?
Tidak ada. Saya juga tidak ikut salah satu partai. Saya pegawai negeri, makanya netral. Cuma teman-teman di Dharma Wanita memang sering menggoda saya. Katanya, ”Bu Nila ini cocok jadi menteri.”
Di Dharma Wanita berarti Anda kenal baik Ibu Ani Yudhoyono?
Saya kenal baik beliau. Tapi bukan berarti sering bertemu. Saya memang berniat menemui Bu Ani sejak pemilihan umum lalu untuk membicarakan soal Musyawarah Nasional Dharma Wanita. Cuma sampai sekarang belum bisa bertemu. Saya tidak ingat persis kapan terakhir bertemu dengan beliau.
Anda juga kenal dekat dengan Okke Hatta Rajasa?
Iya. Saya kenal baik dengan dia. Apalagi ibunya dan juga anaknya kan pasien saya.
Untuk pencalonan kemarin, apakah suami Anda dimintai pendapat oleh Istana?
Tidak. Dia juga sebelumnya tidak tahu soal pencalonan itu.
Dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apa saja target yang dibebankan kepada Anda sebagai calon Menteri Kesehatan?
Ada beberapa, misalnya meningkatkan indeks pembangunan manusia, pencapaian Millennium Development Goals (MDG), menurunkan tingkat kematian ibu-anak, dan memperbaiki program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Beliau melihat, walaupun sudah ada upaya perbaikan, tingkat kesehatan masyarakat belum mencapai kondisi optimal.
Bagaimana Anda menanggapinya?
Saya hanya mengatakan tak semudah itu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Ada banyak persoalan yang kompleks. Masyarakat Indonesia kan heterogen, baik tingkat pendidikannya, tingkat perekonomian, maupun sukunya.
Tidak ada debat dalam pertemuan itu?
Saya memang tidak langsung mengatakan bahwa saya akan menerima. Saya mengatakan persoalan kesehatan masyarakat merupakan masalah berat. Siapa sih yang menganggap ringan masalah sistem kesehatan masyarakat. Saya kira saya cukup logis mengatakan bahwa ini masalah berat.
Seandainya Anda diangkat sebagai pemimpin, tapi masih ada warga yang menderita busung lapar, kan kita bertanya-tanya apa yang sudah Anda kerjakan sebagai pemimpin. Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia juga belum terstruktur dengan baik. Kepada beliau saya mengatakan Anda punya dokter pribadi yang mengawasi kesehatan setiap saat, tapi apakah orang miskin punya dokter pribadi. Beliau mengakui dan mengatakan Presiden Obama pun keteteran merombak sistem pelayanan kesehatannya.
Selain soal indeks pembangunan dan pencapaian MDG, apakah ada tugas atau target spesifik dari Presiden?
Memang ada target 100 hari pemerintahan. Cuma itu kan tidak dibacakan dengan detail karena waktu wawancaranya terbatas. Hanya 15 menit. Cuma, untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program 100 hari, indikator keberhasilannya apa. Misalnya, tidak mungkin jika dalam 100 hari tak ada lagi busung lapar. Itu yang harus dibuat.
Waktu Anda mengatakan berat untuk mencapai target, bagaimana reaksi Presiden Yudhoyono?
Reaksi beliau baik sekali. Presiden mengatakan nanti kita sama-sama mengerjakannya. Jika ada masalah, Anda bisa ke Pak Boediono atau ke saya.
Jadi selama wawancara 15 menit itu belum ada tanda-tanda Anda bakal ditolak?
Menurut saya, tidak ada.
Bagaimana dengan hasil tes fisik di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto?
Karena saya juga dokter, saya tanya beberapa hasil tesnya. Setelah di-USG, misalnya, hasilnya baik. Begitu juga dari hasil foto paru-paru. Waktu tes treadmill, kendati saya dianggap kurang olahraga, secara umum kondisinya masih baik.
Bagaimana dengan tes kejiwaan?
Dari tes itu, saya dikatakan kurang tahan stres.
Anda bertanya ke dokter yang memeriksa?
Ya, beliau mengatakan saya kurang tahan stres. Saya sendiri agak kurang mengerti. Kalau dikatakan saya stres, ya saya memang agak susah tidur setelah menerima telepon itu. Saya bolak-balik bertanya-tanya, apakah mau menerima atau tidak. Saya juga tanya ke suami dan teman-teman. Suami saya mengatakan, kalau kamu ambil, dan memang tidak mungkin ditolak, kita pasang staf yang bagus.
Jadi, sebelum diberi kabar oleh Istana bahwa Anda tidak lolos, kesimpulan bahwa Anda tidak tahan stres sudah diketahui?
Iya, Rabu siang itu.
Sebagai dokter, bukankah Anda paham bagaimana tes kejiwaan tersebut dilakukan?
Sulit, karena tes kejiwaan itu kan macam-macam. Dan ini memang bukan bidang keahlian saya.
Anda bisa terima penjelasan dokter?
Saya sih apa adanya. Kalau memang tidak bisa lanjut, ya saya ikhlas. Saya benar-benar legowo. Saya menerima keputusan itu. Apalagi saya kan juga punya pekerjaan dan saya happy dengan pekerjaan saya.
Anda tidak kecewa?
Saya sama sekali tidak kecewa. Saya cuma tidak mengira dampaknya seperti sekarang. Jadi begini heboh.
Dalam tes kejiwaan itu, pertanyaan yang disampaikan misalnya seperti apa?
Ada banyak. Cuma tidak etis saya sampaikan.
Siapa yang mengabari Anda tak lolos ”seleksi”?
Hatta Rajasa menelepon saya Rabu siang itu juga.
Apa saja penjelasan yang disampaikan Hatta Rajasa?
Ya seperti itu, saya tidak lolos karena dianggap kurang tahan tekanan. Dia mengatakan saya lebih cocok bekerja dalam bidang sosial.
Apakah Anda tidak lolos ada kaitannya dengan posisi suami sebagai Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau?
Soal tembakau sama sekali tidak dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Dengan kejadian ini, masyarakat mengaitkannya dengan masalah tembakau. Tapi isu itu terang bukan bersumber dari saya ataupun Presiden SBY. Dan saya pikir tak ada kaitannya dengan soal tembakau.
Saat Hatta Rajasa menelepon, apakah ada permintaan maaf dari Istana Kepresidenan?
Ya, tentu saja dia menyampaikan permintaan maaf. Kan tidak bisa ujug-ujug dia mengatakan saya tidak lolos.
Presiden mengatakan akan menemui Anda untuk menjelaskan masalah itu....
Ya, saya baru mendengarnya tadi siang. Saya tidak tahu akan bertemu di mana. Tapi terus terang hubungan kami dengan Bu Ani dan Presiden SBY baik sekali. Setiap kali bertemu, kami juga selalu membicarakan hal yang baik-baik. Waktu SBY masih menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Bu Ani kan penasihat Dharma Wanita. Dia sangat mendukung saya. Waktu SBY sudah menjadi presiden, Bu Ani tetap mendukung saya.
Setelah telepon dari Hatta Rajasa, apakah ada kontak lagi dengan pihak Istana?
Tidak ada. Ya, saya tunggu saja kalau ada telepon. Saya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.
Anda bersedia menemui Presiden Yudhoyono?
Saya pasti akan bersedia. Saya akan datang kalau beliau mengundang. Pekerjaan Presiden kan banyak, bukan cuma mengurus saya. Saya tidak mutung, kok.
Semalam Anda bertemu dengan Menteri Kesehatan Endang Rahayu, apa yang dibicarakan?
Tidak ada. Saya tidak kenal Endang. Jadi kan tidak enak bicara terlalu dekat. Kami baru pertama kali itu bersalaman, jadi kan tak mungkin saya bertanya, kamu dulu bagaimana? Apalagi dia juga lagi stres karena Siti Fadilah bicara soal Namru-2. Tapi itu urusan mereka. Sejak suami saya menjabat Menteri Kesehatan, setiap ada pergantian kami pasti diundang.
Kalau melihat stres yang dihadapi Menteri Kesehatan Endang Rahayu sekarang, semestinya Anda bersyukur batal jadi menteri?
(Ketawa) secara manusiawi, ya iya. Kalau saya jadi menteri, sekarang saya tidak bisa memeluk dia (sambil menunjuk cucunya).
Bagaimana jika Presiden Yudhoyono nanti menawarkan jabatan tertentu?
Saya akan mendengarkan beliau. Tapi sekali lagi, saya tegaskan saya tidak mengharapkan jabatan. Sebagai profesional, tentu saya akan menimbang lagi. Setelah ini, saya mesti lebih hati-hati. Nanti kalau saya menerima jabatan, di belakang orang akan mengatakan oh, kalau dikasih jabatan seperti itu, ternyata mau.
Presiden Yudhoyono mengatakan sebenarnya sudah tertarik pada Anda sejak 2004. Anda sudah tahu?
Saya juga baru tahu. Meskipun ketika itu ibu-ibu menteri di Dharma Wanita mengatakan Nila cocok jadi menteri, saya kan tidak boleh langsung percaya. Tapi saya belum pernah mendengar soal ini langsung dari Bu Ani ataupun Presiden SBY.
Bagaimana reaksi suami terhadap penolakan Istana ini?
Baik-baik saja. Reaksi dia kan bergantung pada sikap saya. Kalau saya menerima, ya tak jadi masalah. Waktu terima telepon Rabu siang itu, kami sama-sama terdiam. Terus terang saya agak panik, tapi panik karena sudah membayangkan apa yang bakal terjadi, segala kehebohan ini. Karena saya bilang saya bisa menerima, ya dia bilang bagus.
Ada rumor bahwa pertimbangan memilih Endang untuk memberi kesan positif bagi Indonesia Timur?
Mungkin saja. Tapi saya tidak tahu. Saya malah sebelumnya tak tahu suaminya bermarga Mamahit. Dia ini murid suami saya.
Nila Djuwita Farid Moeloek Lahir: Jakarta, 11 April 1949 Pendidikan: 1968: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta | 1974: Spesialis Ilmu Penyakit Mata di FKUI | 1980: Orbita Centre, University of Amsterdam, The Netherlands | 1989: Kobe University, Jepang | 1998: Program Pascasarjana UI, Jakarta | 2003: Doktor, Pascasarjana FKUI | 2007: Guru besar tetap FKUI, Jakarta Pekerjaan: 1979-1998, Kepala Subbagian Tumor Mata, Bagian Mata FKUI RSCM | 1980-1998, Koordinator Penelitian Bagian Mata FKUI-RSCM | 1998-sekarang, anggota staf pengajar Departemen Mata FKUI | 2008-sekarang, Ketua Medical Research Unit FKUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo