Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iman Sugema
Kalau dikelompokkan, jajaran menteri di bidang perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu II bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama adalah menteri yang menduduki posisi yang sama dengan kabinet sebelumnya, yakni Sri Mulyani, Mari Pangestu, dan Djoko Kirmanto. Kelompok yang kedua adalah mereka yang berpindah portofolio, yaitu Hatta Rajasa, Freddy Numberi, dan Mustafa Abubakar. Dan yang terakhir adalah 11 wajah baru yang belum pernah menjabat menteri atau pejabat setingkat menteri.
Untuk menteri lama sangatlah mudah menebak arah kebijakan yang akan diadopsi. Menteri Keuangan masih akan berupaya menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan cara menciptakan defisit anggaran. Dan itu berarti jumlah utang akan terus membengkak. Sebagai catatan, sekitar 25 persen dari total utang pemerintah yang berjumlah lebih dari Rp 1.600 triliun tercipta dalam lima tahun terakhir. Namun mencari utang baru tampaknya akan makin mahal karena harus bersaing dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang sedang berupaya menstimulasi perekonomian mereka melalui defisit anggaran. Likuiditas global hampir bisa dipastikan kian terbatas.
Pencarian utang baru diperberat oleh kenyataan bahwa selama ini surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dibanding surat utang yang dikeluarkan swasta nasional dan BUMN. Konsekuensinya, penerbitan surat utang baru sangat berpotensi mendongkrak suku bunga rata-rata, sehingga akses pembiayaan swasta menjadi lebih sempit. Dengan kata lain, defisit anggaran telah menciptakan efek crowding out terhadap perusahaan nasional. Implikasi dari defisit anggaran mungkin justru sangat kontraproduktif terhadap perekonomian.
Hanya ada satu alternatif untuk menyiasati masalah ini, yakni peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran. Tapi hal ini lebih mudah untuk dibicarakan ketimbang dikerjakan. Masalahnya, Departemen Keuangan tidak memiliki kapasitas teknis untuk menentukan kegiatan apa yang penting dilakukan oleh sebuah kementerian dan dengan cara yang seefisien mungkin. Perencanaan kegiatan di setiap departemen sering dirumuskan oleh pejabat eselon dua tanpa koordinasi yang koheren antar-direktorat jenderal. Kalau kita lihat struktur program dan proyek yang dilaksanakan di suatu departemen, tidak jelas betul tujuan besar yang akan dicapai. Itu terjadi karena tiap unit memiliki agenda sendiri-sendiri dan mencoba memanfaatkan sebesar-besarnya pagu anggaran.
Jadi jangankan kita bicara mengenai koherensi program antardepartemen, program antarunit kerja di dalam satu departemen sekalipun menjadi sulit untuk ditarik benang merahnya. Saya pikir inilah tugas terberat Menteri Koordinator Perekonomian yang baru beserta menteri-menteri lainnya yang harus memulai kerja dari nol lagi.
Bagi menteri ”baru”, tantangan tugasnya sedemikian berat karena dalam waktu sekejap mereka harus membuktikan diri mampu mengatasi empat hal berikut. Yang pertama adalah memahami masalah yang dihadapi masyarakat dan dunia usaha serta kemudian memutuskan langkah kebijakan yang tepat. Berapa lama mereka akan mampu melakukan hal tersebut sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk belajar cepat (fast learning). Kita akan segera mengetahuinya pada seratus hari pertama.
Yang kedua adalah masalah pengerahan sumber daya birokrasi yang terkenal sangat lelet. Efektivitas pelaksanaan program amat bergantung pada birokrasi di bawah. Mereka harus dengan cepat pula menemukan siapa jajaran di bawah menteri yang sanggup mengemban tugas dengan baik. Jangankan menteri yang baru, menteri lama sekalipun masih menghadapi hal ini. Contohnya Menteri Pekerjaan Umum yang tak kunjung bisa mempercepat pembangunan jalan tol, kanal banjir, dan fasilitas irigasi. Tapi itu tidak berarti bahwa menteri baru tidak akan lebih pandai dalam mengelola bawahannya. Ini pun sangat tergantung kemampuan manajerial sang menteri. Pengalaman berorganisasi dan mengelola perusahaan setidaknya dapat dijadikan modal awal.
Yang ketiga adalah mengelola hubungan yang harmonis dengan para politikus di parlemen. Kebijakan ekonomi tidak hanya dirumuskan kabinet, tapi juga harus dikonsultasikan dengan wakil rakyat. Pengalaman kasus Bank Century menunjukkan bahwa ketidakharmonisan hubungan dengan anggota DPR terkadang bisa menyebabkan isu yang seharusnya melulu sangat teknis seperti memutuskan apakah harus di-bail out atau tidak, kemudian menjadi bola liar politik yang sangat berbahaya. Bagaimanapun, kebijakan ekonomi selalu menyangkut penggunaan sumber daya publik, termasuk sumber daya keuangan, yang tentunya membutuhkan tingkat keterbukaan yang maksimal, dimulai dari tahap perumusan kebijakan.
Dalam hal komunikasi politik, keadaan sekarang tentunya lebih menguntungkan daripada beberapa bulan yang lalu, yang merupakan periode yang sangat hostile. Sekarang pemerintah didukung oleh koalisi yang jauh lebih kuat dan dengan kontrak politik yang lebih jelas di antara partai pendukung koalisi. Tambahan lagi, mayoritas menteri di bidang perekonomian adalah pentolan partai. Masalahnya kemudian terletak pada apakah para menteri tersebut lebih mendahulukan kepentingan publik atau justru lebih banyak bermain sendiri untuk kepentingan jangka pendek partainya.
Yang keempat adalah masalah yang menyangkut kepercayaan publik. Dengan susunan ”pelangi” seperti ini, banyak komponen masyarakat yang mempertanyakan kemampuan tim ekonomi secara keseluruhan. Ini lebih menyangkut impresi pertama, dan tidak berarti bahwa tim ini akan lebih jelek atau lebih bagus daripada tim ekonomi kabinet sebelumnya.
Tentu masalah impresi dan persepsi yang sedikit miring merupakan hak masyarakat dan adalah wajar untuk dipertanyakan kepada para menteri yang masih gres. Solusinya adalah mereka harus segera unjuk kemampuan dengan menggulirkan program kerja yang spektakuler dalam tiga bulan pertama. Selalu dibutuhkan big push dalam hari-hari pertama masa kerja mereka untuk membangun kredibilitas di antara setiap komponen masyarakat.
Berbagai bentuk gebrakan selama 100 hari pertama tentunya harus dirumuskan secara selektif dan sesuai dengan penguasaan ”lapangan” dari para menteri tersebut. Mungkin orang seperti Muhaimin Iskandar masih diragukan kemampuannya untuk mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan yang sangat pelik. Karena itu, gebrakan pertamanya harus sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Akan menjadi sangat efektif dalam membangun kepercayaan publik kalau Cak Imin mampu mengkapitalisasi hubungannya dengan para pemuka di Timur Tengah untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi TKI/TKW di kawasan tersebut.
Begitupun dengan Hatta Rajasa dan M.S. Hidayat, yang memiliki pengalaman yang cukup baik dalam mengelola perusahaan di sektor riil. Keduanya dapat secara lebih efektif memahami permasalahan yang dihadapi pengusaha dan ketidaknyambungan antara sektor finansial dan sektor riil. Intinya, dalam 100 hari pertama setiap menteri harus mampu mengeksploitasi kemampuan masing-masing untuk menunjukkan bahwa mereka mampu berbuat banyak bagi rakyat.
Satu hal yang cukup berbahaya adalah kebiasaan membangun optimisme rakyat dengan pernyataan yang menggelembung. Contohnya adalah pernyataan para menteri bahwa pertumbuhan ekonomi bisa didorong sampai delapan persen. Ekonom mana pun pasti sepakat bahwa target pertumbuhan seperti itu hanya bisa dicapai dengan kerja jauh lebih keras. Tidak bisa hanya dengan cara yang sekarang. Karena itu, yang terpenting adalah mengkomunikasikan kerja keras apa yang akan dilakukan untuk mencapai target tersebut.
Tentunya masyarakat tidak ingin persepsi miring itu hanya dilawan dengan upaya pencitraan. Kini saatnya menunjukkan diri dengan karya nyata. Tidak ada waktu lagi untuk belajar ”menjadi” menteri. Rakyat sudah terlalu lama menunggu bisa keluar dari pengangguran, kemiskinan, kesengsaraan, dan mahalnya harga-harga. Pengusaha juga sudah bosan dengan ekonomi biaya tinggi dan rendahnya daya saing. Sekarang adalah waktunya tancap gas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo