Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAHNYA letih, langkahnya gontai ketika meninggalkan kantor Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal, Kamis pekan lalu. Jam di kantor yang terletak di dalam area Markas Besar Kepolisian itu baru saja lewat tengah malam. Total jenderal, Chandra Hamzah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, diperiksa penyidik hampir 13 jam. Ia berstatus tersangka perkara korupsi.
Pemeriksaan ini untuk melengkapi alat bukti yang dinilai kurang oleh Kejaksaan Agung dalam berkas perkara Chandra yang dilimpahkan pada 2 Oktober silam. Chandra menjadi tersangka pada 17 September lalu, bersama Wakil Ketua KPK yang lain, Bibit Samad Rianto. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang yang berkaitan dengan pencekalan Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom; dan Djoko Tjandra, Direktur Era Giat Prima. Keduanya juga diduga memeras dan menerima suap dari Anggoro.
Kejaksaan mengembalikan berkas Chandra dan Bibit agar penyidik mempertajam alat bukti untuk dugaan percobaan pemerasan atau penyuapan. Keduanya dijerat dengan Pasal 12 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun alat bukti untuk penyalahgunaan wewenang sesuai dengan pasal 23, ”Sudah terpenuhi,” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendi kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Namun Chandra memberikan pengakuan berbeda dengan jaksa. Menurut dia, penyidik justru tidak sekali pun melontarkan pertanyaan tentang dugaan penyuapan atau pemerasan. Dari 22 pertanyaan yang diajukan, kata dia, 95 persen seputar penyalahgunaan wewenang. ”Enggak ada soal itu (pemerasan),” ujarnya, setelah diperiksa.
Sejak awal, penyidik melontarkan tuduhan berubah-ubah. Semula Bibit dan Chandra dikaitkan dengan kasus penyadapan, lalu penyalahgunaan wewenang. Belakangan mereka dituduh korupsi dengan cara memeras atau menerima suap. Menurut Taufik Basari, anggota tim pengacara pimpinan KPK, polisi juga tak bisa menunjukkan bukti adanya pemerasan atau penyuapan itu. Dua bukti yang pernah diperlihatkan penyidik adalah bukti penerimaan uang dari Ary Muladi kepada Anggodo Widjojo, adik Anggoro, serta pencabutan cekal palsu Anggoro.
Chandra juga mengaku bingung dengan pasal yang dituduhkan. Awalnya dia dijerat dengan pasal penyuapan, lalu penyalahgunaan wewenang. Fokus polisi berubah-ubah. Ketidakjelasan polisi ini membuat kubu Bibit-Chandra menduga ada rekayasa kasus. Indikasi rekayasa itu, menurut Chandra, mulai dilakukan saat ada orang yang membuat dan menyebarkan dokumen 15 Juli 2009 yang diteken Ary dan Anggodo. Dalam ”testimoni” itu disebutkan, Ary menyerahkan uang suap kepada Chandra dan Bibit.
Anehnya, kata Chandra, keterangan Anggodo yang baru beredar dua pekan lalu itu sama halnya dengan keterangan Ary pada 11 Juli yang sudah ditarik atau dicabut. Chandra juga menegaskan bahwa dia belum sekali pun bertemu dengan Ary, yang mengaku sebagai perantara Anggoro tatkala berurusan dengan Komisi. Bibit juga membantah menerima uang dari Ary. Sebab, pada tanggal yang disebutkan Ary sebagai waktu penyerahan uang ke pimpinan KPK, dia sedang berada di luar negeri. ”Saya lagi di Peru,” katanya.
Pencabutan pengakuan ini dibenarkan pengacara Ary, Sugeng Teguh Santoso. Menurut Sugeng, semula Ary mengaku memberikan miliaran rupiah kepada sejumlah pimpinan KPK. Waktu itu Ary diperiksa sebagai saksi tanpa didampingi pengacara, 11 Juli lalu. Ary kemudian ditangkap di Yogyakarta pada 18 Agustus serta ditetapkan sebagai tersangka penggelapan dan penipuan. Nah, setelah ditangkap kemudian diperiksa sebagai saksi perkara Chandra-Bibit itulah, kata Sugeng, ”Ary menarik berita acara pemeriksaan pada 11 Juli.”
Ary kini dikenai wajib lapor. Dalam berita acara pemeriksaan tanggal 18 Agustus lalu, dia mengaku telah menerima uang dari Anggodo untuk menghentikan penyelidikan KPK terhadap PT Masaro. Ia menerimanya dalam dua tahap, pertama sekitar Rp 3,75 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat, dan sekitar Rp 1 miliar dalam dolar Singapura. Tapi uang itu tidak pernah diberikan kepada pimpinan KPK. Uang itu ia akui untuk membantu adiknya yang sakit. ”Sebagian diserahkan kepada Yulianto,” katanya. Yulianto, yang diduga menyerahkan uang itu kepada pejabat KPK, hingga kini belum diketahui keberadaannya.
Keterangan Ary itu dikuatkan kembali dalam berkas tertanggal 26 Agustus 2009. Dia juga menyatakan, surat pencabutan pencekalan terhadap Anggoro yang dikeluarkan KPK dan ditandatangani Chandra adalah palsu. ”Surat itu dibuat Yulianto dan saya di daerah Matraman,” tuturnya. Alasan Ary menarik keterangan itu, menurut Sugeng, lantaran dia kesal dengan polisi karena telah menangkapnya. Padahal sudah ada perjanjian: Ary tak ditahan, tapi harus membantu polisi. Alasan kedua, Ary mengaku, terusik hati nuraninya. ”Saya belum pernah bertemu Chandra dan Bibit,” kata Sugeng menirukan penjelasan Ary.
Keputusan Ary mencabut keterangan ”kunci” serta-merta membuat tuduhan polisi penyidik menjadi lemah terhadap Chandra dan Bibit. Itu sebabnya kesan ada rekayasa perkara menjadi begitu kuat bagi keduanya. Apalagi, menurut Achmad Rifai, pengacara Bibit-Chandra, hal ini diperkuat oleh rekaman pembicaraan yang tersadap KPK. Dalam rekaman itu, tersadap suara seorang pejabat hukum yang terus-menerus masuk ke nomor yang sedang ”diintai” KPK. Rekaman itu menunjukkan adanya dugaan perencanaan rekayasa kasus Bibit-Chandra.
Saat ini rekaman itu ada di tangan pelaksana tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. ”Pak Tumpak harus membuka rekaman itu, isinya akan bikin orang terkaget-kaget,” kata Rifai. Baik Tumpak maupun juru bicara KPK, Johan Budi, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Menurut sumber Tempo, pimpinan KPK belum memutuskan apakah kabar tentang rekaman itu ditanggapi atau tidak.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna, menolak memberikan keterangan. Melalui pesan pendek selulernya, dia menyatakan bahwa keterangan yang berkaitan dengan perkara Bibit-Chandra hanya untuk pengadilan, bukan untuk konsumsi media. ”Kami menghindari polemik. Ikuti saja prosesnya hingga ke pengadilan, karena di sana yang diakui,” tuturnya kepada Rini Kustiani dari Tempo.
Adapun Jaksa Marwan mengaku tidak terusik dengan pencabutan keterangan Ary. Sebab, menurut dia, dalam kasus pemerasan tidak perlu ada fakta yang membuktikan adanya penerimaan uang. Bukti pemerasan sudah cukup dengan adanya kucuran uang dari Anggodo, pencekalan Anggoro, dan penggeledahan kantor PT Masaro. ”Tinggal kami lihat arahnya ke mana fakta ini,” tutur Marwan.
Fakta lainnya, kata dia, kasus Anggoro terhenti sembilan bulan dan baru dibuka lagi setelah testimoni Antasari muncul dengan informasi ada penyerahan uang dari Anggoro kepada pimpinan KPK. Sepanjang itu pula, Anggoro tidak berstatus sebagai tersangka, tapi dicekal. Keputusan pencekalan itu, menurut Marwan, tidak kolektif kolegial seperti yang diperintahkan Undang-Undang KPK. ”Di sinilah penyalahgunaan wewenangnya,” katanya.
Jaksa Marwan optimistis berkas Bibit-Chandra akan sampai ke pengadilan. Fakta hukumnya sudah terpenuhi. Seorang petinggi di kepolisian berkeyakinan serupa. ”Ary boleh menarik keterangannya, tapi kami punya bukti lain yang kuat,” ujarnya.
Anne L. Handayani, Anton Aprianto, Cheta Nilawaty, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo