Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#CC9900>Sutopo Purwo Nugroho:</font><br />Faktor Curah Hujan Hanya Pemicu

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah sepekan ini Sutopo Purwo Nugroho laris diundang ke sana-sini. Telepon seluler Nokia Communicator di tangannya sebentar-sebentar berdering. Maksud telepon itu rata-rata serupa: mengundang dia menjadi pembicara, atau meminta pernyataan dia soal bencana Situ Gintung.

Di sebuah stasiun televisi, peneliti utama di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini menunjukkan selembar foto yang menggambarkan tergerusnya tanah pada tanggul Situ Gintung. Foto itu diambil satu bulan sebelum tragedi jebolnya waduk tersebut pada Jumat dua pekan lalu. Jutaan ton air menggelontor ketika itu, menyapu perumahan padat di bawah tanggul.

Hingga Kamis pekan lalu, 100 orang tewas dan 100 orang lain belum ditemukan. Foto yang ditayangkan di televisi itu dijepret oleh tim Badan Pengkajian saat mereka meneliti kelayakan situ-situ di Jabotabek untuk pembangunan waduk resapan. Sutopo, 40 tahun, bergabung dalam tim itu. Mereka bekerja sejak akhir 2008 hingga Februari 2009. Fokus penelitian tim tersebut adalah menguji kualitas air dan pemanfaatannya. Ada sekitar 80 situ di Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang yang mereka kunjungi.

Situ Gintung mereka kunjungi pada 5 Februari 2009. Pada saat itu, masyarakat sekitar mengeluhkan kerusakan tanggul. Mereka, kata Sutopo, menyatakan sudah menyampaikan masalah kerusakan ke Departemen Pekerjaan Umum.

Dalam kunjungan itu, tim Badan Pengkajian melihat ada keretakan pada tanggul di sekitar pintu pelimpasan. Tapi mereka tak punya kapasitas menyimpulkan risiko keretakan pada tanggul.

Baru, ketika tanggul Situ Gintung jebol, Sutopo teringat foto foto tersebut. Ahli ahli teknik sipil Badan Pengkajian pun segera berkumpul membuat analisis sebab bencana. "Kami berkesimpulan terjadi erosi buluh," kata Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini.

Untuk membuat persoalan lebih terang, Rabu pekan lalu, wartawan Tempo Sapto Pradityo dan Adek Media Rosa menemui Sutopo di kantornya untuk sebuah wawancara khusus. Perbincangan berlangsung di lantai 18 gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.

Apa penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi?

Ini analisis kami di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi: luas daerah tangkapan air di Situ Gintung itu hanya 112,5 hektare. Luas situ 21,4 hektare. Hujan yang jatuh di daerah itu akan mengalir ke Situ Gintung. Hampir 40 persen daerah tangkapan berupa permukiman, 17 persen air (Situ Gintung), sisanya berupa tegalan, kebun, rumput, dan bangunan gedung. Tak ada hutan di sini. Dan sistem hidrologi Situ Gintung tak ada hubungannya sama sekali dengan daerah aliran Kali Pesanggrahan. Jadi argumentasi jebolnya tanggul akibat pembabatan hutan gugur.

Oke, lalu bagaimana dengan argumentasi tingginya curah hujan?

Menurut data stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika, curah hujan pada hari itu 113,2 milimeter per hari. Banyak yang bilang ini penyebabnya. Curah hujan di kawasan Situ Gintung pada hari itu memang tertinggi dibanding daerah sekitarnya. Tapi, bagi saya yang sudah lama "bermain-main" dengan hujan, angka itu tak terlalu besar.

Bisa dijelaskan lebih detail?

Pada hari itu, ada dua kali hujan. Pertama, curah hujan normal selama tiga jam, lalu disusul hujan amat deras: 70 milimeter per jam selama satu setengah jam. Tapi coba bandingkan dengan hujan pada 10 Februari 1996. Ketika itu, curah hujan di sana, menurut stasiun pemantau hujan di Pondok Betung, 180 milimeter per hari. Lebih ekstrem lagi saat banjir besar 1 Februari dua tahun lalu. Ketika itu, curah hujan di Situ Gintung mencapai 275-300 milimeter per hari atau dua kali lipat hujan dua pekan lalu.

Ya, dan saat itu tanggul tidak jebol.

Kami berkesimpulan ada faktor lain-selain curah hujan-yang membobolkan tanggul. Curah hujan hanya pemicu, bukan faktor tunggal.

Anda sempat melihat foto lama tanggul sebelum jebol?

Saya lihat foto lama itu. Terlihat ada keretakan di pintu pelimpasan. Ahli-ahli teknik sipil di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyimpulkan terjadi erosi buluh (intrusi air ke dalam lapisan tanah yang menggerus lapisan tersebut). Kami yakin erosi sudah berlangsung lama. Karena tekanan air semakin besar akibat volume air bertambah, gerusan pada tanggul kian kencang. Akhirnya terjadi longsor. Tanggul pun jebol. Kesimpulan kami, tanggul pelimpas banjir merupakan titik lemah penyebab jebolnya tanggul.

Apakah alih fungsi lahan menjadi perumahan di sekitar tanggul turut menjadi penyebab?

Sebagian rumah itu dibangun persis di punggung tanggul. Menurut aturan, ini jelas dilarang. Pembangunan rumah di badan tanggul akan menambah beban bendungan. Nyatanya, di situ ada permukiman padat. Ini amat riskan. Sekali jebol, pasti habis, dan terbukti demikian. Seharusnya jarak minimal permukiman dari tanggul sekitar 100 meter.

Ada penyempitan area danau dari sekitar 30 hektare menjadi 21,4 hektare. Apa pengaruhnya?

Dalam kondisi normal, tekanan air ke tanggul semakin kecil. Cuma, kalau danau menyempit-sementara hujan turun deras seperti dua pekan lalu itu, misalnya-ada kemungkinan air meluap semakin besar sehingga mendorong tanggul.

Bencana semacam itu dapatkah diprediksi dan diantisipasi?

Bisa. Semua bencana bisa diminimalkan dampaknya. Sebab, bencana selalu diawali tanda-tanda. Tapi, karena terlalu sering berhadapan dengan bencana, kita menjadi sembrono dan lengah. Tanda-tanda bencana sering diabaikan, dianggap enteng. Kita sebenarnya punya teknologi peringatan dini untuk bencana seperti tsunami, gempa, atau tanah longsor.

Apakah mungkin di waduk seperti Situ Gintung dipasangi sistem peringatan dini seperti untuk tsunami?

Sangat mungkin. Banyak macam teknologi yang bisa dipasang untuk mendeteksi kemungkinan banjir atau longsor. Pertama, sensor air untuk mendeteksi apabila air waduk atau danau sudah meluap. Kedua, alat deteksi longsor. Pada tanggul dapat ditanamkan sensor-sensor pengukur tingkat kejenuhan air. Dari sini kita bisa mendapat informasi seberapa besar intrusi air di badan tanggul. Semua informasi itu bisa langsung dikirim untuk memberikan peringatan ke pejabat terkait atau lewat sirene. Juga geo scanner. Ini untuk melacak rembesan di tanggul. Harga sistem peringatan dini tak terlalu mahal, Rp 300-500 juta.

Apakah Indonesia sudah punya peta daerah rawan bencana?

Sudah ada. Untuk tanah longsor, ada di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Peta rawan banjir sudah dikerjakan Departemen Pekerjaan Umum bersama Badan Meteorologi dan Geofisika serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Peta daerah rawan tsunami juga sudah dibuat.

Peta-peta rawan bencana itu apakah sudah menjadi acuan penyusunan tata ruang?

Mungkin jadi acuan. Tapi implementasinya bermasalah. Lihat saja Situ Gintung yang dipadati permukiman.

Soal analisis risiko bencana, apakah sudah dikerjakan?

Pedoman penyusunan analisis risiko masih digodok Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Semua mitigasi bencana sekarang dikoordinasi badan ini. Urusan mitigasi (upaya meredam risiko) bencana itu kini masih berserak di berbagai kantor pemerintah. Setelah kejadian Situ Gintung, saya mengusulkan ada kajian risiko bencana di situ-situ lain. Barangkali perlu juga menganalisis potensi bencana di waduk besar seperti Cirata dan Saguling.

Seringkah bencana jebol tanggul ini terjadi?

Keruntuhan bendungan di dunia sudah terjadi lebih dari 200 kali, baik di negara berkembang maupun negara maju, umpamanya Kanada dan Amerika Serikat. Di Indonesia juga sudah terjadi beberapa kali. Umpamanya jebolnya tanggul waduk Sempor dan Lodan. Penyebabnya: 38 persen erosi buluh, 35 persen peluapan air atau overtopping, 21 persen fondasi jebol, dan sisanya longsor.

Di Situ Gintung tak terjadi peluapan air karena tinggi air hanya sampai pintu pelimpasan. Dari semua bendungan jebol, 78 persennya merupakan tanggul tipe urukan (jenis tanggul dari tanah yang ditimbun dan dikeraskan) seperti Situ Gintung.

Salah satu fungsi situ adalah mengendalikan banjir. Tapi banjir akibat meluapnya air situ dan sungai rutin terjadi. Bagaimana sebenarnya kondisi daerah aliran sungai di Jakarta dan sekitarnya?

Di Jakarta, mengalir 13 sungai besar dan kecil. Sejak zaman kolonial Belanda, di Jakarta sudah terjadi banjir. Repotnya, kapasitas sungai menampung banjir hanya 17-80 persen. Penurunan kapasitas tersebut disebabkan oleh sedimentasi (pengendapan), pendangkalan, penyempitan alur sungai, dan pemanfaatan lahan di bantaran sungai. Jadi banjir merupakan hal lumrah dan wajar.

Seberapa besar peran situ mengurangi banjir?

Menurut Balai Besar Ciliwung dan Cisadane, di Jabotabek ini ada 193 situ. Fungsinya untuk irigasi, cadangan air, dan pengendali banjir. Kalau direvitalisasi, situ-situ ini bisa berkontribusi mengurangi banjir hingga lima persen. Angkanya memang kecil, tapi itu sudah lumayan.

Lalu apa cara efektif mengurangi banjir?

Teknologi konservasi air banyak sekali, dari cekdam, biopori, hingga sumur resapan. Sumur resapan amat berguna: selain mengurangi air limpasan, juga memasok air tanah. Teknologi ini amat murah tapi andal. Namun, dalam prakteknya, sangat sulit diterapkan di Jakarta. Mestinya sumur resapan dan biopori bisa mulai dibangun gedung-gedung pemerintah. Kalau hanya menyuruh masyarakat tapi pemerintah tak melakukannya, ya, sulit. Kalau tak jelas manfaat ekonominya, masyarakat tak akan mau.

Sutopo Purwo Nugroho
Tempat dan tanggal lahir: Boyolali, 7 Oktober 1969
Pendidikan:

  • S-1 Geografi Fisik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1994)
  • S-2 Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor (2000)
  • S-3 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (2005)
    Pekerjaan: Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus