Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan belakangan menjadi hari-hari supersibuk bagi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Penyebabnya apalagi kalau bukan terjadinya kebakaran hutan dan ditambah adanya percikan peristiwa ikutan yang terkait dengan "agenda" tahunan itu. Setidaknya ada dua kejadian di lapangan yang ikut memanaskan situasi, yakni terjadinya penyanderaan petugas kementeriannya saat memeriksa lahan terbakar milik PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) di Rokan Hulu dan temuan lahan gambut yang diduga baru dibuka oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Siti Nurbaya, 60 tahun, bahkan sempat ditegur Presiden Joko Widodo, yang tengah berada di Cina, agar segera mengatasi kebakaran hutan. Saat itu asapnya pekat menyelimuti di Riau dan sudah masuk ke Singapura.
Penyanderaan terjadi ketika para petugas tengah menyegel lahan yang terbakar di kawasan PT APSL. Mereka dikepung puluhan orang yang mengancam akan membunuh. Massa memaksa mereka menghapus foto dan video pemeriksaan, serta mencabut plang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan PPNS Line. Mereka baru dibebaskan pukul 02.30, lewat negosiasi yang digelar kepolisian. Beruntung, video dari drone, yang merekam stacking alias jalur bakar di lahan yang hangus, lolos dari pemusnahan.
Siti menganggap insiden itu sebagai blessing in disguise. Dia jadi menemukan jawaban dari persoalan asap, yang sampai menutupi Singapura, 25 Agustus lalu. "Pada 23-29 Agustus, ada 164 titik panas di Riau. Bandingkan dengan 688 titik dari Januari sampai Agustus," katanya kepada wartawan Tempo Martha Warta Silaban, Abdul Manan, Tika Pramandari, Mitra Tarigan, Reza Maulana, dan fotografer Aditia Noviansyah, Kamis pekan lalu.
Mantan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah ini menerima Tempo selama dua jam di kantornya di Senayan, Jakarta. Wawancara pagi itu diselingi sarapan bersama karena sahibulbait tidak sempat mengisi perut di rumah. Siti Nurbaya juga bercerita tentang modus pembakar hutan, kerja sama dengan kepolisian, dan prediksinya akan bencana asap tahun ini.
Bagaimana penyanderaan itu bisa terjadi?
Pada 27 Agustus, saat sedang meneliti implementasi hutan tanaman rakyat di Kalimantan Selatan, saya menerima panggilan telepon dari ajudan Presiden. Katanya, Bapak (Joko Widodo) marah. "Kenapa masih ada asap? Emang bakar-bakaran sudah gede-gedean? Siapa yang bakar? Regulasinya gimana? Mengendalikan secara hukum gimana?"
Sehari sebelumnya, saya berkomunikasi dengan direktur jenderal bahwa indeks standar pencemaran udara di Riau sudah 90 (angka 51-100 menunjukkan tingkat pencemaran sedang dan 101-199 tidak sehat). Saya katakan hati-hati, hotspot di Rokan Hulu dan Rokan Hilir, Riau, sudah mulai naik.
Pada 28 Agustus pagi, saya terima laporan bahwa di sana semua pekat. Tidak bisa melihat. Hari itu pula saya baca berita bahwa ada masyarakat yang mengungsi di kawasan Bonai, Rokan Hulu. Saya heran, seumur-umur tidak pernah ada pengungsi akibat kebakaran. Pukul 12 malam, saya minta Dirjen Penegakan Hukum Rasio Ridho Sani berangkat ke Riau untuk mengontrol daerah pengungsi.
Apa laporan yang Anda terima?
Pak Roy (panggilan Rasio Ridho) mengatakan kebakaran hutan ini luas dan asapnya pekat sekali. Tidak bisa melihat. Maka saya perintahkan dia menjalankan proses hukum. Seperti pemasangan plang, garis batas, dan lain-lain.
Pada Jumat, 2 September sore, penasihat senior menteri memberikan informasi bahwa lima polisi hutan dan dua penyidik pegawai negeri sipil KLHK disandera di wilayah PT APSL. Waktu itu saya sedang rapat, sehingga tidak terbayang sama sekali seperti apa. Korps itu membawa senjata laras panjang. Saya ingatkan, jangan sampai senjata meletus. Saya juga minta Roy melapor ke ketua satuan tugas kebakaran hutan dan lahan, yaitu komandan komando resor militer setempat.
Saya mendapat detail ceritanya pada Sabtu. Ternyata Jumat malam itu saya sempat diminta datang. Saya enggak mengerti kenapa jadi begitu.
Massa itu menyatakan diri sebagai masyarakat petani. Apa indikasi Kementerian mencurigai mereka sebagai suruhan perusahaan dan pembakar lahan?
(Menteri Nurbaya meminta Rasio Ridho menjawab.)
Rasio Ridho: Selasa, 30 September, kami mendatangi puluhan pengungsi di tenda—sebelumnya jumlah mereka 600-an—dan mereka mengaku sebagai masyarakat pekerja PT APSL. Pondokan mereka terbakar. Saat masuk lebih dalam ke area kebun sawit yang terbakar, orang-orang yang sedang memadamkan api juga bilang mereka pekerja PT APSL. Saat penyanderaan, mereka meminta petugas menghapus foto, mencabut plang, dan sebagainya. Maka tim mengindikasikan mereka dari perusahaan.
Mengapa Anda langsung melakukan penyegelan?
Saya ingin masalah ini diselesaikan dengan cepat. Pertama, karena asap tebal dan dianggap sudah masuk ke Singapura, meski cuma beberapa jam. Kedua, ada pengungsi. Indonesia bisa dianggap jelek oleh dunia internasional. Saya juga minta dirjen menganalisis situasi di Riau dan Singapura antara 23 dan 29 Agustus 2016. Selama periode itu, ada 164 titik panas di Riau. Bandingkan dengan 668 titik panas di sana sejak Januari sampai Agustus. Jadi 24 persen menyumbangnya (pada periode itu). Kan, jadi case. Jadi sekarang masalahnya adalah perambahan hutan, kebakaran hutan, dan penyanderaan.
Ada pembicaraan dengan Presiden mengenai penyanderaan?
Tidak secara khusus. Cuma diminta menyelesaikan kebakaran hutan. Saat kejadian, Presiden sedang berada di Cina. Tapi di media berkembang informasi tentang ketidakselarasan hubungan antara KLHK dan Kepolisian RI. Nah, saya diperintahkan Istana untuk tidak membingungkan rakyat. Saya bilang perbedaan-perbedaan itu bukan karena aspek hukum otoritasnya, tapi karena interpretasi dan asumsi. Kemarin (Rabu, 7 September) kami sepakat dengan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian bahwa tidak boleh lagi pakai perkiraan, asumsi, analisis dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Siapa yang menginisiasi pertemuan KLHK dan Kapolri?
(Tersenyum.)
Ada yang menghubungkan perintah Anda memeriksa PT Andika Permata dengan menyebarnya foto bersama pejabat Kepolisian Daerah Riau dan petinggi perusahaan itu. Apa benar?
Tidak ada kaitan sama sekali. Saya menugaskan pada 28 Agustus. Foto itu baru menyebar mulai 31 Agustus, sementara kasus penyanderaan hebohnya 2 September malam. Jadi kebetulan saja.
Apa yang Anda pelajari dari penanganan kebakaran hutan selama ini?
Saya pelajari penggarapan lahan seperti itu memang menjadi modus. Seolah-olah kemitraan dan koperasi membantu masyarakat. Seakan-akan semuanya itu keinginan masyarakat. Pada 2014, kami berdialog dengan tahanan di kepolisian resor—saya agak lupa di Dumai, Rokan Hulu, atau Rokan Hilir. Orang yang dipenjara itu petani. Dia mengaku hanya disuruh membakar hutan, tapi yang memerintahkan tidak tertangkap. Jadi modusnya memang seperti itu.
Apakah yang menyuruh itu orang perusahaan?
Saya enggak tahu mekanismenya. Saya juga mendapat bahan analisis bahwa menjelang musim hujan, sekitar Oktober, November, terjadi bakar-bakaran. Dan, setelah musim hujan, orang bagi-bagi duit dari tauke-taukenya. Waduh, ini seperti setting. Ini metamorfosis kejahatan dengan proses perizinan. Mula-mula illegal logging, ambil kayunya. Untuk modus mengambil kayu, mereka minta izin kebun atau izin tambang.
Apakah mereka mengambil langkah itu agar tidak tersentuh hukum?
Saya belum pernah dapat pengalaman utuh dari proses hukum yang sudah jadi. Tapi, dari pengalaman saya dalam kasus D.L. Sitorus (tahun lalu Mahkamah Agung menetapkan kebun sawit di Padanglawas, Simangambat, Sumatera Utara, dikuasai negara karena berada di kawasan tanpa izin), masalah lahan tidak mudah dibereskan meski perkara sudah inkrah. Sebab, saat mau dilakukan eksekusi, masyarakat dibenturkan sama pemerintah. Pola-pola ini mirip. Di Kalimantan Barat juga saya lihat begini.
Saya tidak ingin menuding ke mana-mana. Tapi kita harus mereformasi sistem untuk penanganan kasus asap dan kebakaran hutan. Ini saatnya memperbaiki kapasitas. Kalau enggak, bisa susah.
Bukankah KLHK bisa melakukan sanksi administratif?
Administratif dan perdata. Pidana juga. Tapi, dalam kebakaran hutan, kami mengedepankan Polri soal pidana, baik perorangan maupun korporat, walaupun kami tetap melakukan penyelidikan. Ada perusahaan yang kena pidana setahun, tiga tahun. Kalau administratif, ada strata-stratanya. Kalau minta ampun badungnya, baru dicabut izinnya.
Lalu bagaimana penyelesaian kasus perambahan, kebakaran, dan penyanderaan itu?
Saya dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sepakat, kami akan terus menangani kebakaran hutan dan lahan. Bila izin PT APSL belum lengkap, termasuk soal perluasan lahannya, KLHK akan memberi sanksi administratif. Kalau ada indikasi pidana dalam kebakaran, kami masukkan juga. Soal penyanderaan, Kapolri akan menurunkan tim dan mendalami motifnya. Nanti akan dilihat kaitan masing-masing pihak. Misalnya kenapa kepolisian sektor baru tahu setelah sekian jam.
Apakah Anda juga menyinggung foto polisi bersama petinggi PT APSL, yang kasusnya dihentikan polisi?
Saya sama sekali tidak menyinggung hal itu.
Bagaimana Anda memandang Kapolri yang baru soal penanganan kebakaran hutan?
Saya tidak mau menilai. Biar Presiden saja. Tapi tekad kami sama bahwa kondisi lingkungan yang buruk ini harus kami perbaiki. Tidak ada pilihan lain. Saya minta dukungan untuk perang melawan kejahatan lingkungan. Pak Tito bilang oke. Dia mendukung untuk menyelesaikan metamorfosis kejahatan hutan.
Bagaimana dengan kerja sama untuk penanganan kasus kebakaran hutan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi?
Perintah Presiden begitu kuat untuk penanganan illegal logging dan mafia hutan, seperti yang saya analisis dalam dua tahun masa jabatan. Presiden mengatakan bila perlu minta bantuan KPK. Tapi saya kan harus menyelesaikannya secara sistematis. Tidak boleh asumsi.
Dari kasus-kasus yang ditangani KPK, apakah ada yang bekerja sama dengan KLHK?
Tidak tahu. Tapi setiap kali saya baca di media bahwa ada bupati atau gubernur yang tertangkap, misalnya kasus Pak Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara yang ditangkap KPK), saya langsung minta anak buah mengecek izin tambang dan sebagainya.
Apa tindakan Anda terhadap PT Riau Andalan Pulp and Paper yang mengusir aparat Badan Restorasi Gambut di Pulau Padang, Riau?
Saya meminta Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead dan PT RAPP mengklarifikasi di sini, besok (Jumat, 9 September). (Hasilnya, Kementerian memberikan teguran kepada RAPP dan akan memeriksa status pembukaan lahan di sana.)
Apakah mungkin mengkaji ulang izin RAPP?
Harus dilihat dulu konteksnya seperti apa. Karena kita tidak boleh lupa bahwa posisi pemerintah adalah sebagai simpul negosiasi. Bukan berpihak pada A atau B. Jangan gara-gara satpam RAPP menolak pemeriksaan, izin kami cabut.
Apa yang berbeda dengan kasus kebakaran hutan tahun ini dibandingkan dengan tahun kemarin?
Dari awal, kami menanganinya secara berbeda. Dari 1 Januari sampai 8 September 2016, berdasarkan satelit Terra NASA, penurunan titik api mencapai 83,3 persen, dan satelit NOAA 88,5 persen. Luas lahan yang terbakar sampai Agustus adalah 88 ribu hektare. Bandingkan dengan tahun lalu, 190 ribu hektare, dan meluas jadi 2,3 juta hektare pada akhir November 2015.
Apa faktor penyumbang penurunan tersebut?
Operasi terpadu yang gila-gilaan. Perintah Presiden, kalau tidak becus, aparat dicopot. Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan jalan.
Peran penegakan hukum?
Besar. Penegakan hukum kepada swasta juga besar. Perusahaan banyak yang takut dengan ancaman peraturan menteri yang menyatakan lahan terbakar diambil alih negara. Jadi jauh turunnya.
Berapa data yang sudah masuk?
Belum ada. Sekarang perusahaan harus mengklarifikasi sendiri berapa yang lahan yang terbakar. Kalau titik panasnya tinggi, dirjen menelepon untuk memperingatkan dan meminta perusahaan mematikan apinya. Bila pada hari ketiga masih tinggi, sekjen menelepon, dan pada hari keempat akan diperiksa.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan KLHK dalam gugatan perdata terhadap PT National Sago Prima. Apa dampaknya terhadap kasus-kasus lain?
Sangat besar pengaruhnya, antara lain untuk mempelajari kasus PT APSL ini.
Bagaimana kemajuan pembangunan kanal gambut?
Kanal gambut yang sudah terbangun sekitar 15.400 se-Indonesia. Paling banyak di Riau, 10 ribuan.
Dalam setahun ini masih ada kebakaran hutan. Apakah itu karena iktikad politik yang kurang kuat untuk mencegahnya atau karena pengusaha yang bandel?
Dari perusahaan sudah banyak penurunan. Kalau kita lihat laporan-laporan dari daerah, masyarakat yang membakar lahan untuk membuka lahan pertanian. Saya beberapa kali berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani tentang kompensasi yang bisa diterima masyarakat jika tidak membakar lahan. Sambil dipersiapkan sistemnya.
Apa solusi dari Menteri Puan?
Bu Puan mengatakan akan membantu. Ia akan menugasi Menteri Sosial. Dia meminta data konkret.
Anda sering menyebut mendapat laporan. Siapa yang melapor?
(Nurbaya menunjukkan telepon selulernya) Sekarang laporan masyarakat itu gila-gilaan. Ya Allah, laporan tuh ada 100-200 pesan pendek setiap hari. Dirjen-dirjen sampai bosan karena terus saya kirimi laporan. Saya juga menanggapi laporan di Facebook. Itu memang efektif untuk menangani masalah di lapangan.
Tahun lalu puncak kebakaran hutan pada September dan Oktober. Apa akan berulang tahun ini?
Tahun lalu, September gila-gilaan. Tahun ini, kalau lihat dari udara, sudah menurun. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan musim hujan masuk pada pertengahan September. Tapi kami tetap waspada, terutama sampai minggu kedua Oktober.
Apakah masa krisis sudah lewat?
Saya tidak mau terlalu optimistis. Saya berharap dapat dikendalikan. Kalau sampai Desember tidak ada kebakaran besar, kami di kementerian ini bersujud syukur.
SITI NURBAYA BAKAR
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 28 Agustus 1956
Pendidikan:
- S-1 Institut Pertanian Bogor, 1979
- S-2 International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences, Enschede, Belanda, 1988
- S-3 Institut Pertanian Bogor, kolaborasi dengan Siegen University, Jerman, 1998
Karier:
- 2014-sekarang: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- 2013-sekarang: Ketua DPP Partai NasDem
- 2006-2013: Sekretaris Jenderal DPD RI
- 2012-2013: Ketua Komite Investasi dan Manajemen Risiko Pusri
- 2011-2015: Dewan Komisaris Pusri
- 2003-2004: Pelaksana Manajemen STPDN
- 2001-2005: Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri (Menteri: Hari Sabarno)
- 2001: Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri (Menteri: Surjadi Soedirdja)
- 2001-sekarang: Tenaga pengajar perguruan tinggi di lingkungan Kopertis Wilayah III
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo