Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DELAPAN bulan lalu, tiap kali ke luar rumah, Dewi hampir selalu menutupi muka. Sebuah masker akan melindungi bagian dagu, mulut, hidung, dan sebagian besar pipinya. Menghindari polusi udara? Bukan, tapi nona 23 tahun ini ingin menyembunyikan jerawat yang beredar di mukanya. "Jerawatnya parah," kata Dewi, Rabu pekan lalu.
Wajar ia malu, karena bintil-bintil kecil itu memenuhi hampir seluruh wajahnya. Akhirnya ia berobat ke dokter. Sebulan dalam perawatan, jerawatnya malah bernanah. Namun, menurut pak dokter, hal itu lumrah. Kemudian asisten dokter memberi Dewi antibiotik minum. Selain itu, sepekan sekali dia mesti kontrol. Perlahan-lahan jerawat bernanah menghilang. Dan setelah hampir tiga pekan, terapi antibiotik dihentikan. "Katanya cukup, maksimal tiga minggu," ujarnya. Kini, setelah beberapa bulan diterapi, mukanya sudah hampir mulus kembali.
Pemberian antibiotik memang sudah jamak dilakukan untuk mengatasi jerawat. Bahkan sudah menjadi terapi standar internasional. Selain di Indonesia, cara ini digunakan di Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada. Obat antibiotik diberikan untuk membasmi Propionibacterium acnes, bakteri penyebab jerawat
Obat diberikan selama 6-8 pekan, maksimal 12-18 pekan. Pengobatannya dikombinasi dengan obat retinoid topikal untuk membuka pori-pori kulit yang tersumbat. Ada juga benzoil peroksida, yang berfungsi membunuh bakteri, mengurangi inflamasi, serta membantu membuka pori-pori kulit yang tertutup.
Masalahnya, antibiotik akan memicu kekebalan pada kuman. "Karena pemakaiannya lama, kemungkinan resistansi antibiotik tetap ada," kata dokter spesialis kulit dan kelamin Irma Bernadette Sitohang. Apalagi jika pasien menggunakan obat tersebut tanpa rekomendasi dokter. Penelitian yang dilakukan di Prancis, Jerman, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan Inggris menunjukkan bahwa 73 bakteri jerawat kebal terhadap antibiotik.
Untuk itulah Irma meneliti cara lain mengobati jerawat. Penelitian yang dituangkan menjadi disertasi itu menunjukkan bahwa pembedahan menggunakan ekstraktor komedo bisa menghilangkan peluang resistan kuman tersebut.
Alat yang digunakan berbentuk besi kecil untuk mengeluarkan komedo. Caranya, jerawat ditekan ringan dengan ekstraktor, sehingga isi kelenjar minyak yang tersumbat (sebum) keluar. Pengeluaran ini membuat kulit mendapat oksigen kembali. "Selain itu, membuat kuman yang menimbulkan jerawat berkurang," kata anggota staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini.
Irma membandingkan kecepatan kerja ekstraksi komedo tersebut dengan antibiotik. Hasilnya, ekstraksi komedo membuat jerawat hilang dalam beberapa pekan, sama dengan terapi antibiotik. Bedanya, mereka yang diterapi elektrasi tak akan merasakan efek samping seperti halnya dalam penggunaan antibiotik. Efek samping itu adalah mual, muntah, dan rasa tak nyaman di perut. "Jadi pemakaian ekstraktor komedo ini lebih baik daripada antibiotik oral."
Tapi tentu tak sembarang orang bisa menggunakan ekstraktor, meski alatnya gampang diperoleh. Hanya dokter spesialis kulit dan kelamin yang bisa. Selain karena mereka lebih ahli, biasanya pasien diberi obat tretinoin untuk mengatasi jaringan parut.
Guru besar ilmu kesehatan kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Retno Widowati Soebaryo, mengatakan cara pemencetan jerawat dengan ekstraktor komedo aman, murah, dan mudah. Cara ini juga bisa mencegah bertambahnya bakteri yang resistan. Kalau tak dicegah, bakteri ini akan berkembang biak sehingga berbahaya bagi kesehatan. "Bayangkan apabila seluruh wajah jadi penuh dengan nanah," katanya.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo