Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF3300>Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno: </font><br />Kita Harus Punya Herder

6 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOMPATNYA harga minyak dan rencana penurunan anggaran Tentara Nasional Indonesia tahun 2009 seakan mengantar naiknya Laksamana Madya TNI Tedjo Edhy Purdijatno ke pucuk pimpinan Angkatan Laut. Juli lalu, dia dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, menggantikan Laksamana TNI Sumardjono, yang memasuki masa pensiun. Pada 1 Oktober lalu, pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, ini menyandang pangkat bintang empat.

Sebagai Kepala Staf, Tedjo Edhy Purdijatno harus berjuang keras mewujudkan cetak biru pengembangan kekuatan hingga 2024. Dalam sisa 16 tahun ke depan, kekuatan laut Indonesia diproyeksikan akan diperkuat 274 kapal berbagai jenis, 137 pesawat udara, dan 11 pangkalan utama.

Tedjo Edhy boleh dibilang menjalani karier yang lengkap. Dia pernah menjadi komandan kapal dan panglima armada. Dia juga pernah 14 tahun bertugas sebagai penerbang Angkatan Laut.

Pergaulannya dengan kolega dari matra lain tertempa ketika dia menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia. Begitu pula ketika dia menjabat Kepala Staf Umum di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.

Hubungannya dengan atasan dan bawahan terjalin akrab. Dia kerap menjadi ”kawan penghibur” Presiden Yudhoyono, terutama dalam bermain golf dan musik. ”Biasanya saya main bas dan menyanyi sama-sama,” ujarnya sambil tertawa.

Di tengah kesibukannya, Tedjo Edhy menerima kunjungan Wahyu Muryadi, Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari Tempo pertengahan Ramadan lalu. Perbincangan hangat, diselingi humor, berlangsung di kantornya di Markas Besar TNI Angkatan Laut, Cilangkap, Jakarta Timur.

Sejauh mana implementasi blueprint Angkatan Laut di tengah keterbatasan anggaran saat ini?

Angkatan Laut sudah punya blueprint 2005-2024. Pada 2024 diharapkan kita memiliki kekuatan Angkatan Laut yang besar dan kuat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita menyusun kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan ideal. Tapi kita juga realistis dengan kondisi keuangan negara. Angkatan Laut berada dalam satu sistem bersama dengan angkatan lain, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, dan Departemen Pertahanan. Jadi kita harus membuat satu perencanaan dalam Trimatra Terpadu. Dalam perang modern pun, tidak ada lagi perang matra. Kita lebih banyak bergerak pada operasi gabungan.

Apakah rencana pengembangan tiga armada: Barat, Tengah, Timur, masih akan dijalankan?

Kami tetap konsisten dengan pembangunan kekuatan itu. Dulu ada yang mengatakan komando wilayah laut, ada yang menyebut armada bernomor. Apa pun namanya, kita harus punya (armada) di Barat, Tengah, dan Timur. Tapi tidak serta-merta semuanya dibangun. Harus bertahap, termasuk pembangunan pangkalan pendukung. Kami merencanakan sebelas pangkalan pendukung. Yang belum diresmikan tinggal Merauke. Kami sudah membangun markas komandonya, sudah sekitar 80 persen. Kantor, perumahan, mes juga ada. Saya menghendaki pangkalan itu diresmikan pada 15 Januari 2009 karena itu hari bersejarah, bertepatan dengan tenggelamnya KRI Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru. Untuk kesiapan dukungan, seperti dermaga dan sebagainya, kita tidak terlalu khawatir. Kita bisa memakai pelabuhan yang ada. Kapal laut berbeda dengan pesawat, yang harus mendarat. Kapal laut bisa lego jangkar.

Kita sering terkena embargo pula dalam pengadaan senjata….

Ketergantungan dalam pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata) dari luar negeri harus dikurangi. Kita maunya semua peralatan bisa dibuat di dalam negeri. Kenyataannya, tidak semua bisa begitu. Hanya yang tidak bisa dibuat di dalam negeri akan diadakan dari luar negeri. Syaratnya, ada transfer teknologi, tidak terkena embargo, dan mencari harga yang kompetitif. Dengan transfer teknologi, kita nanti bisa membuat peralatan di dalam negeri.

Bagaimana pengadaan dua kapal selam kelas Kilo dari Rusia?

Dulu kita menginginkan kapal selam kelas Kilo, lalu berkembang akan mengambil dari Korea. Sekarang saya tidak menunjuk satu negara atau produk saja. Tim yang membuat persyaratannya yang akan memilih mana yang terbaik. Kalau membeli senjata tapi tidak ada dampak apa-apa, tidak ada artinya. Kita bisa lihat Malaysia, Singapura, dan Australia, yang sudah punya kapal selam. Malaysia punya jenis Scorpene. India juga punya kapal selam, bahkan sudah membuat sendiri. Operasionalisasi kapal selam bukan dilihat kuantitasnya, tapi kualitasnya. Kapal selam akan bergerak mandiri. Tidak ada artinya kalau kapal selam yang kita dapat kualitasnya lebih rendah dari mereka. Alat kita minimal sama, atau justru lebih hebat. Sama seperti kalau ada orang lain masuk halaman kita sambil membawa herder. Minimal kita harus punya herder, rottweiler, atau buldog. Kita tidak bisa membeli anjing kampung untuk melawan.

Apakah pengadaan peralatan, termasuk kapal selam tadi, melalui hubungan G to G atau swasta?

Kalau dari Rusia, mereka memberikan kredit, jadi G to G. Tapi sekarang yang berjalan adalah pengadaan tank amfibi BMP-3 (Boyevaya Mashina Pekhoty—Red.). Ini baru uji coba. Kalau berhasil, bagus. Tapi masih ada perbedaan pandangan mengenai cara pembayaran dan sebagainya. Menurut aturan Indonesia, pihak pemasok harus menyerahkan bank guarantee. Tapi mereka mengatakan, ”Saya yang punya uang dan alat, kenapa saya yang memberikan garansi kepada Indonesia?” Ini yang masih diperbincangkan menteri keuangan kedua negara. Kita kemarin mendapat bantuan US$ 1 miliar. Ada dua scheme, pertama G to G, kemudian memasukkan rekanan.

Banyak tank amfibi milik Angkatan Laut sudah tak layak pakai….

Tank BMP-3 ini untuk menggantikan tank marinir yang jumlahnya 400-an dan sudah tua, seperti PT-76 buatan 1962. Beberapa ada yang tidak laik. Tapi sebagian masih layak dan kita lakukan retrofit. Semua akan melalui uji kelayakan, satu-satu. Sekarang masih dalam tahap pemeriksaan dan belum selesai. Nanti akan ada laporan berapa yang harus di-scrub. Sewaktu kita berencana membeli BMP-3 dengan dana US$ 50 juta, seharusnya bisa mendapat 20 unit. Tapi, karena prosesnya berlarut-larut, harganya sudah naik. Akhirnya dalam kontrak hanya mendapatkan 17 unit. Tapi ini sudah cukup memenuhi kekuatan satu grup tank. Secara teknologi, tank ini tergolong yang terbaru.

Bukankah setelah peristiwa tenggelamnya PT-76 di Jawa Timur, Presiden meminta peralatan tua tidak digunakan lagi?

Memang betul. Tapi kita harus bisa menjabarkan kemauan Presiden. Kalau itu kita telan mentah-mentah, tidak akan ada latihan pendaratan tank amfibi dalam latihan gabungan. Akhirnya, pimpinan Tentara Nasional Indonesia mengambil keputusan, alat persenjataan yang akan ikut latihan gabungan TNI harus mengikuti uji kelaikan. Kalau ada kekurangannya, akan dilengkapi. Kalau mengikuti permintaan semula, Angkatan Laut hanya bisa mengirimkan satu korvet yang baru dari Belanda dan dua LPD (landing platform dock—Red.). Hanya itu thok yang bisa ikutan. Yang lainnya sudah tua.

Apakah program retrofit berhasil?

Ya. Tapi tetap harus ada pemeriksaan kelaikan. Latihan gabungan kemarin zero accident, kan? Kebetulan waktu itu saya direktur latihan. Dengan uji kelaikan, kita bisa menggelar latihan gabungan besar. Sebelumnya ada Hercules yang tidak dipakai, kemarin kami pakai 12 unit. Juga ada sekitar 60 unit kapal yang disiapkan.

Kabarnya, kerap ada intervensi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendukung rekanan tertentu dalam pengadaan peralatan Angkatan Laut?

Tidak. Kalau ada yang demikian, akan saya tolak. Pernah suatu saat kita ada anggaran tambahan. Dewan Perwakilan Rakyat yang menentukan untuk membeli ini-itu. Waktu itu saya masih jadi direktur jenderal di Departemen Pertahanan. Saya katakan itu tidak sesuai dengan yang diinginkan. Saya minta diubah. Meski butuh waktu, akhirnya mereka mau. Saya tidak mau dikendalikan seperti itu. Yang tahu kebutuhan kan kita sendiri?

Bagaimana kasus dua unit helikopter di Surabaya yang telanjur dibeli Angkatan Laut tapi menganggur? Kabarnya, itu akibat intervensi dari seorang tokoh parlemen?

Ah…. Itu kan bisa benar, bisa tidak. Kalau memang ada bukti, silakan buktikan. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang membawa bukti jelas. Kalau hanya omongan, surat kaleng, SMS, perlu saya klarifikasi lagi. Harus kita terapkan praduga tak bersalah dulu. Jangan asal tuduh. Itu bukan masalah di parlemen. Setelah saya tanyakan, ternyata itu karena belum disepakatinya loan agreement di Departemen Keuangan. Tapi itu bisa diselesaikan, karena kami mengadakan pertemuan rutin dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, juga Departemen Keuangan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.

Menyangkut pengadaan alat dengan rekanan, bagaimana mengatur agar sistemnya transparan serta terhindar dari korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Saya sebagai Kepala Staf Angkatan Laut tidak mengurusi rekanan. Rekanan itu adalah jembatan antara principal dan Angkatan Laut sebagai user. Yang menentukan rekanan, siapa pun dia, adalah principal. Mereka memperkenalkan agen kepada kami sebagai penghubungnya. Kita lihat betul atau tidak agen itu, punya kemampuan atau tidak. Kita selidiki juga reputasinya. Jangan seperti kejadian sebelumnya, ditinggal kabur oleh rekanan. Kadang-kadang ada rekanan yang tidak punya kantor, atau alamatnya hanya rumah kosong. Kalau kita tidak percaya kepada rekanan, principal harus menggantinya. Jangan sampai negara dirugikan.

Saat ini kerja sama pengamanan Selat Malaka dengan Malaysia dan Singapura masih bermasalah. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyebut Singapura sebagai tetangga yang tidak jujur. Maunya hanya menindak kapal perompak, tapi kalau kapal penyelundup, mereka diam saja….

Memang ada operasi bersama. Suatu saat, kita berusaha meningkatkan operasi dengan demonstrasi menangkapi pembajak, mereka bersemangat. Lalu saya pancing mereka, ”Ayo kita tingkatkan pengawasan bagaimana mengatasi penyelundupan.” Wah, mereka tidak bersemangat. Pengusaha Singapura di-back up tentara dan polisi di sana. Kapal yang masuk wilayah mereka dianggap sah walaupun kita mengatakan itu kapal penyelundup yang membawa kayu segala macam. Menurut pihak sana, mereka itu membeli. Lho, tapi kapal-kapal itu keluar dari perairan Indonesia tidak bayar pajak. Mereka bilang, ”Itu urusan Anda, karena saya di sini kan beli.” Apa yang dibilang Pak Juwono ada benarnya. Malaysia sama saja. Jika Anda berkendara di Malaysia lewat jalan tol, kiri-kanannya hutan perawan semua, masih bagus. Tapi ternyata ada sawmill. Kayu siapa yang diolah di situ?

Kita sering diakali jiran-jiran itu?

Itulah sebabnya kita jangan berpikir sektoral, tapi nasional. Departemen Pertahanan mengusulkan pengelolaan perbatasan dilakukan terpadu, supaya rencana umum tata ruang antarlembaga sama dan sesuai. Jadi, misalnya, Departemen Pekerjaan Umum membuat jalan, pos Tentara Nasional Indonesia ada persis di pinggir jalan, jangan terlalu jauh. Jadi semuanya bisa terkoordinasi dengan baik.

Bagaimana kabar Ambalat sekarang?

Malaysia menghitung perbatasan berdasarkan peta 1979. Setelah memperoleh Sipadan dan Ligitan, mereka mulai mengukur seperti negara kepulauan. Padahal ia negara pantai. Lalu kawasan itu (Ambalat) masuk wilayah mereka. Ketika kita membangun suar di Karang Unarang, mereka selalu mengganggu. Karang Unarang adalah base point kita untuk mengukur laut Indonesia. Tempat itu akan kelihatan jika air laut surut. Ketika kita membangun suar, kapal Malaysia berputar-putar di sekitar lokasi sehingga menimbulkan ombak. Akibatnya, kita kesulitan memasang suar. Alhamdulillah, sekarang suarnya sudah terpasang. Beberapa kali kapal Malaysia melanggar batas laut Indonesia sampai 7-10 mil. Kita kontak mereka baik-baik, dan bilang mereka sudah masuk wilayah Indonesia. Kita kawal mereka hingga keluar. Jika mereka tidak keluar, kita laporkan ke Departemen Luar Negeri untuk dibuatkan nota diplomatik.

Apakah Malaysia sengaja memprovokasi?

Kalau kita di sana lemah, tidak ada kekuatan, mereka bisa masuk lagi. Makanya, kita selalu menempatkan unsur-unsur kita di sana. Lagi pula, kita kan sama-sama anggota ASEAN, jadi kontaknya baik-baik saja.

Sudahkah Malaysia mengakui kedaulatan Indonesia atas Ambalat?

Ya, kalau Karang Unarang dihitung secara hukum internasional, masuk wilayah Indonesia. Ambalat itu luas, tapi tidak semuanya kaya minyak. Kita harus mengamankan wilayah itu.

Kabarnya, jika Malaysia mengajak patrol racing, kapal Indonesia kewalahan, apalagi dengan krisis bahan bakar sekarang….

Ya, kalau kita tidak bisa mengusir mereka dengan cara baik-baik, kita hanya bisa mengirim nota diplomatik lewat Departemen Luar Negeri. Kita kan punya cara yang lebih iritlah. Tapi terkadang Malaysia membuat laporan yang tidak benar. Sebagai contoh, ada satu KRI dilaporkan lego jangkar di perairan mereka. Padahal kedalaman laut di situ 1.000 meter. Bagaimana mungkin kapal bisa lego jangkar di laut dengan kedalaman segitu? Ha-ha-ha…. Tapi memang Malaysia itu aktif, termasuk departemen luar negerinya.

Belajar dari lepasnya Sipadan-Ligitan, apakah ada keyakinan bahwa Ambalat tidak akan jatuh ke tangan Malaysia?

Saya yakin Ambalat akan aman. Sebetulnya dulu, waktu kasus Sipadan-Ligitan, posisi kita juga kuat. Tapi, karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana.

LAKSAMANA TNI TEDJO EDHY PURDIJATNO, SH

Tempat dan tanggal lahir: Magelang, Jawa Tengah, 20 September 1952

Pendidikan:

  • Akademi Angkatan Laut, 1975
  • Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, Angkatan 29, 1991-1992
  • Sekolah Staf dan Komando ABRI, Angkatan 25, 1998
  • Lembaga Ketahanan Nasional, Angkatan 34, 2001

Karier:

  • Calon penerbang di Satuan Udara Armada, 1976
  • Komandan KRI Multatuli, 1996
  • Komandan Satuan Amfibi Armada Timur, 1998
  • Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat, 2002
  • Panglima Komando Armada Kawasan Barat, 2005
  • Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Departemen Pertahanan, 2007
  • Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI, 2007
  • Kepala Staf Umum TNI, 2007
  • Kepala Staf Angkatan Laut, 2008

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus