Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas panggung Goethe Haus yang temaram, dua tetabuhan memecah sunyi. Perlahan, bunyi kentungan bambu yang ditabuh perkusionis Wei Wei Lan di sebelah kiri panggung dan ikatan bilahan bambu di sebelah kanan yang dipukul Henrik Larsen membentuk sebuah musik. Musik tetabuhan yang sangat sederhana, tanpa melodi, dalam tempo lumayan cepat.
Wei Lan memberikan latar irama, bergerak dalam jalur ketukan ajek. Adapun bunyi bambu di tangan Larsen terdengar menerobos, menyalip, sesekali mencoba mengacaukan permainan rekannya. Kira-kira lima menit pasangan ini bermain dalam musik yang penuh dengan repetisi. Suasana yang mulai monoton tersebut berubah ketika duet pemusik asal Cina dan Denmark itu kedatangan enam orang tamu: perkusionis dengan instrumen bambunya masing-masing.
Sosok yang memainkan improvisasi memang bertambah banyak. Musik semakin menggemuruh, tapi keadaan baru benar-benar berubah tatkala vokal manusia tiba-tiba ikut campur—tentu saja dengan warna berbeda. Suara manusia terdengar perkusif. Mereka tidak menyanyi, tapi berbunyi: mengeluarkan jeritan pendek-pendek tanpa arti, u’ u’ u’—sengak, istilahnya. Panggung kini menjadi ajang pertunjukan yang riuh rendah. Klimaks terjadi ketika semua instrumen bambu ditabuh dan jeritan pendek-pendek itu mencapai puncaknya.
Cracking Bamboo, Clapping Bamboos, Bols and Sengak yang membuka konser bertajuk Cracking Bamboos, Kamis dua pekan lalu, di Goethe Haus, Jakarta, itu seakan menggariskan bahwa warna suara—tak terkecuali suara manusia—punya peran penting. Cracking Bamboo dibawakan oleh 12 musisi. Selain itu, ada Udai Mazumdar asal India yang memainkan tabla, Wu Wei yang memainkan instrumen tiup sheng asal Cina, Iwan Gunawan dari Indonesia yang memainkan perkusi, dan masih banyak lagi.
Cracking Bamboo pertama kali ditampilkan di Hanoi, Vietnam, pada 15-22 September 2008. Dan di Jakarta adalah pertunjukan mereka yang kedua. Semua ini berawal dari gagasan Profesor Bernhard Wuff dari Jerman dan prakarsa Asia Europe Foundation. Sejumlah musikus, baik perkusi maupun bukan, dikumpulkan untuk berkolaborasi. ”Proyek ini berupaya menggabungkan musisi dari Asia dan Eropa untuk bekerja sama sehingga menghasilkan sebuah karya dan kesempatan untuk berkolaborasi di atas panggung,” kata Udai Mazumdar.
Sepekan di Hanoi, ke-12 musisi itu pun terbang ke Jakarta dan pada 23 September lalu menggelar konser pembuka. Setiap musikus diberi kesempatan memperlihatkan kemampuannya bermain solo. Greogorio di Trapani, perkusionis asal Italia, misalnya, bereksplorasi dengan tubuhnya untuk menghasilkan bunyi perkusi yang cukup dahsyat. Cracking Bamboo menampilkan permainan solo, duet, trio, ataupun kuartet. Salah satu yang mendapat perhatian besar penonton adalah duet antara Wei Wei Lan asal Tiongkok yang memainkan pipa dan Udai yang memainkan alat musik perkusi India, tabla. Alunan melodius di antara kedua alat musik itu mampu menarik tepuk tangan penonton.
Ada pula nomor eksperimental yang dihadirkan oleh duo Mervyn Groot asal Belanda dan Henrik Larsen asal Denmark. Mereka membuat komposisi musik dengan peralatan sehari-hari, semacam stoples kaca, piring, pisau, hingga wajan, sesuai dengan judul nomor ini, Recipe for Percussion Kitchen. Bunyi unik dari peralatan makan dan dapur ini tak lupa dibumbui percakapan di antara keduanya. Cukup asyik meski agak terlalu panjang.
Akhirnya, semua ambil bagian dalam Finale: Solis-Sawal/Jawab-Tihai. Semua musisi bergabung dalam komposisi ini. Mereka menjadi dua kelompok yang berbincang melalui instrumen masing-masing. Rancak dan retak perkusi berkelindan dalam melodi pipa dan tabla. Penonton seakan tak ingin malam berakhir. Selama dua menit gemuruh tepuk tangan mengakhiri pertunjukan. Mungkin satu-satunya kritik yang pantas dihaturkan adalah minimnya komunikasi para musisi dan penonton. Pada setiap segmen tak terdapat jeda, sehingga penonton kesulitan memberikan apresiasi.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo