Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang baru dari lukisan dada telanjang di Bali. Baik gadis belia maupun pria dewasa, mereka bagian dari kultur kesenian dan keseharian masyarakat Pulau Bali. Namun persepsi ini berubah manakala seorang pria kulit putih datang ke pulau itu, kemudian terpukau pada seni visual ini.
Si kulit putih itu, Rudolf Bonnet, seorang pelukis Belanda. Selama hampir tiga dekade tinggal di Pulau Dewata itu, pada 1929-1958, ia membagi ilmunya tentang garis anatomi dan lika-liku torso manusia. Selama itu pula ia rajin mengumpulkan lukisan terbaik karya seniman Bali. Kini, 60—dari total 127—koleksinya dipamerkan dalam pameran bertajuk Pioneers of Balinese Paintings; The Rudolf Bonnet Collection di Erasmus Huis, Jakarta, sepanjang September-Oktober ini.
Pameran ini memperingati separuh abad pendirian museum Puri Lukisan di Ubud, yang oleh Bonnet didirikan bersama sahabatnya, Raja Ubud terakhir, Tjokorda Gede Agung Sukawati. Tiga puluh tahun setelah itu, keduanya meninggal hampir berbarengan, dan inilah koleksi yang menjadi dokumentasi paling utuh, orisinal, dan berkualitas tinggi dari seni rupa Bali pada masa sebelum dan sesudah revolusi. Disebut berkualitas tinggi karena tak satu pun dari ke-60 karya yang dibuat pada 1930-1950-an itu tampak pudar atau menua.
Bonnet, kelahiran 1895, termasuk rombongan perupa asing, seperti W.O. Jan Nieuwenkamp, Theo Meier, Gerard Hofker, Miguel Covarrubias, Le Majeur, dan Walter Spies, yang pada awal abad ke-20 datang berduyun-duyun ke Bali. Sebelumnya ia telah lulus sekolah seni di Rijksschool voor Kunstnijverheid dan Royal Academy di Amsterdam. Di sana ia belajar melukis model dan potret, di samping mempelajari anatomi patung-patung Romawi dan Yunani. Tapi pengalamannya tinggal di Italia delapan tahunlah yang kemudian mengukuhkan gaya renaisans dalam karyanya sepanjang hayat: tarikan garisnya tegas, dengan kualitas gambar dan anatomi tubuh manusia yang sempurna.
Ketika datang, Bonnet bekerja sama dengan Walter Spies, pelukis Jerman, di Museum Bali di Denpasar yang berdiri pada 1925. Dia lantas bertemu dengan Tjokorda Gede Agung Sukawati, yang menjadi pelindung kesenian lokal. Persahabatan antara Bonnet dan Gede Agung ini yang kemudian melahirkan ide membuat museum Puri Lukisan di Ubud sebagai rumah kesenian modern Bali.
Sebelum 1930, kebanyakan karya seni berangkat dari ritus keagamaan, dengan konsentrasi khusus pada dewa-dewi mitologi Hindu dan cerita rakyat (folklore). Koleksi Bonnet mencakup gambar-gambar klasik dari pelukis kelas brahmana, seperti karya Ida Bagus Kembeng (1897-1952) yang melukiskan prosesi upacara (1933), gambar Ida Bagus Muku yang berjudul Temple Ceremony (1929), meski ada juga yang berselera humor tinggi, seperti Ida Bagus Gerebuak yang melukis Football Match (1929).
Sejarawan seni Helena Spanjaard melihat, sebelum Bonnet dan Spies datang ke Bali, sesungguhnya pelukis Bali tak melukis lanskap atau pemandangan, seperti penanaman dan situasi panen padi. ”Itu hal yang terlampau biasa buat mereka,” kata Spanjaard. Baru setelah kedua pelukis asing itu menunjukkan minat pada hal-hal keseharian—yang disukai turis—gambar-gambar nonreligi mulai berkembang.
Bonnet, Spies, Gede Agung, dan pelukis I Gusti Nyoman Lempad kemudian membentuk Yayasan Pita Maha, yang punya misi melindungi dan mempromosikan seni rupa Bali. Di sinilah interaksi antarseniman Eropa dan lokal terjadi. Menurut Spanjaard, dengan latar renaisansnya, Bonnet menganggap seni rupa Bali bisa lebih ”baik” bila beranjak dari unsur dekoratif yang ramai dan repetitif, dengan lebih memperhatikan unsur anatomi tubuh manusia. Namun jangan pula sampai tertular unsur modernisme sehingga keutuhan dan orisinalitas ketimurannya tercemar. ”Ini pandangan oriental khas kolonial,” kata Spanjaard.
Interaksi itu tecermin dalam karya-karya Lempad, pelukis Ubud yang sudah tersohor. Kepada Lempad dan putrinya, Ni Gusti Ayu Oka, ia mempercayakan pelukisan dinding-dinding Puri Lukisan. Bonnet sangat menyukai frescos atau lukisan dinding dan ini berangkat dari pengalamannya di Italia. Yang menarik, lukisan Lempad di dinding berubah dengan aksentuasi yang kuat pada anatomi dan kehidupan sehari-hari, berbeda dengan lukisan di atas kertasnya. Simak saja lukisan Lempad, seperti Malem, Servant of the Pandawas (1953) dan The God Siwa and his Son Kala (1963).
Dalam perjalanannya, pengaruh Bonnet dan Spies bisa tampak pada pelukis Ubud, seperti karya Anak Agung Gede Sobrat yang berjudul Boys Bath in the River (1936) dan Study of Nature (1952). Menurut Spanjaard, unsur bingkai dalam perspektif yang dikenalkan Spies tampak di dalamnya, termasuk juga titik-titik putih demi menajamkan detail dan membuat kulit manusia lebih berkilau, seperti gaya renaisans.
Sementara itu, kekaguman Bonnet terhadap masyarakat dan kultur di Bali kental terasa dalam lukisan Rice Harvest, karyanya pada 1952. Di situ ada harmoni terhadap struktur masyarakat yang egaliter. Namun perhatian utama terletak pada tubuh-tubuh manusianya. Perhatikan anatomi dan torso yang panjang dari lelaki dan perempuan pemetik padi itu. ”Padahal torso orang Bali biasanya tak sepanjang itu. Memang ada penonjolan, meski tak bisa dibilang melebih-lebihkan,” kata kritikus seni rupa Amir Siddharta. Lukisan ini kemudian dibeli mantan presiden Soekarno dan sempat dipasang di ruang makan utama Istana Bogor.
Menurut Amir, bisa juga Bonnet dan Spies justru mengambil inspirasi torso panjang itu dari lukisan-lukisan Sang Hyang Widhi di pura yang tampil terelongasi, sehingga tampak lebih grandeur (megah). ”Sehingga mereka salin juga gayanya,” ujarnya.
Dalam pengakuannya, Bonnet membantah jika dikatakan ia mengajari mereka apa pun. Dikatakannya, ia hanya memberi masukan bila mereka tertarik memperbaiki kualitas lukisan mereka. Tapi memang ada transfer pengetahuan yang terjadi kala itu—dan Bonnet pun mengakuinya. ”Saya beberapa kali menjelaskan soal anatomi kepada mereka,” kata Bonnet dalam sebuah surat kepada pelukis Nyoman Tusan, yang bertanya kepadanya tentang pengaruh Bonnet dalam lukisan modern Bali. Surat ini dikutip keponakan Bonnet, Hilly de Roever-Bonnet, yang menulis biografi pamannya itu.
Dan apakah Bali memberikan pengaruh kepada Bonnet? Terhadap gaya tidak, menurut Spanjaard. Hingga akhir hayatnya, ia tetap setia pada renaisans, dengan alam dan harmoni menjadi komponen utama. Namun ia berutang napas, jejak, dan inspirasi dari tiga dekade lebih kehidupannya di Pulau Dewata itu. Dan klimaksnya, ia meninggalkan museum Puri Lukisan yang kini dikelola pemerintah daerah. ”Ini saja membuktikan pengabdiannya pada pengembangan dan perlindungan kesenian Bali,” Spanjaard menulis.
Pengabdian yang lantas diabadikan bersama dalam kematian yang indah. Ya, ia jauh lebih beruntung daripada Spies yang mati tenggelam dalam kapal yang ditembak Jepang. Bonnet meninggal di Belanda pada April 1978 dan tubuhnya dikremasi. Empat bulan kemudian, Gede Agung Sukawati menyusulnya ke alam baka. Pada 31 Januari 1979, abu keduanya bergabung dalam sebuah upacara ngaben bersama. Seperti diungkapkan sang keponakan, Hilly de Roever-Bonnet, ada kedamaian liris menyaksikan abu jenazah mereka dilarung ke laut Sanur.
”Dua nyawa berangkat menuju keabadian di bawah malam terang bintang,” tulisnya.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo