Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kalangan pengusaha Pekanbaru, namanya sudah tak asing. Kendati demikian, tak mudah menemui pria ini. Candra Wijaya alias Acin, 47 tahun, selektif menerima tamu. Jika ia tak mengenal dengan baik tamunya, sang tamu hanya akan berhadapan dengan dua sekretarisnya di kantornya di Jalan Tanjung Datuk.
Sepekan ini Acin memang jadi pembicaraan masyarakat Pekanbaru. Ini bukan hanya karena ”ternyata” ia bisa ditangkap, tapi juga karena penangkapannya itu membawa akibat lain. Sejumlah polisi dicopot dari jabatannya dan sejumlah mantan kepala kepolisian yang pernah bertugas di daerah itu diperiksa.
Perkenalan Acin dengan dunia judi terjadi sekitar 28 tahun silam. Saat itu, pada usia belasan tahun, ia meninggalkan kampung halamannya di Selat Panjang, Bengkalis, ke Pekanbaru untuk mencari pekerjaan. Tanpa punya modal sepeser pun, Acin yang tak lulus sekolah dasar itu diterima di sebuah rumah biliar milik bandar judi togel alias toto gelap. Tugasnya sederhana: mencatat skor para pemain biliar yang, biasanya, bermain sembari bertaruh.
Rupanya, sang bos terpikat dengan keuletan Acin. Dari sinilah ia kemudian diizinkan ikut terjun ke bisnis remang-remang bosnya itu: judi. Acin dipercaya menjadi pengecer togel. Ini ternyata tak lama. Lantaran ia dinilai sukses, posisinya naik lagi, menjadi agen togel untuk sejumlah wilayah di Riau.
Sampai pertengahan 1990-an, nama Acin belumlah terkenal. Kendati terhitung sudah jadi agen besar, namanya masih di bawah bayang-bayang dua gembong judi kakap bersaudara di Riau, Aeng dan Ahok. Belakangan, setelah Aeng ditangkap aparat, dan Ahok menjadi buron polisi, barulah secara perlahan-lahan sayap bisnis judi Acin menguasai Riau dan sekitarnya.
Menurut polisi, bisnis judi Acin berkembang pesat sejak 2000-an. Untuk mengendalikan bisnisnya, pria berbadan tegap dan berkacamata ini melibatkan kerabatnya. Fokus bisnisnya pada judi togel. Dari kantornya di Pekanbaru itulah ia mengendalikan tak kurang dari 200 agen yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Singapura, Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Hampir setiap bulan Acin terbang ke luar negeri. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Riau Brigadir Jenderal Hadiatmoko, omzet judi Acin per hari sekitar Rp 4 miliar.
Acin tak terjamah oleh aparat hukum karena selama ini selalu berupaya menjaga hubungan baik dengan aparat keamanan. Menurut seorang sumber Tempo, Acin menggunakan kaki-tangannya untuk mendekati aparat keamanan yang dianggap bisa mengusik bisnisnya. Sebaliknya, aparat keamanan, jika memerlukan sesuatu, akan meminta bantuan dana kepada bapak lima anak itu.
Tak hanya aparat keamanan yang diperhatikan Acin. Wartawan yang dianggap berpotensi mengganggu bisnisnya juga dipegangnya. Kepada majalah Tempo, Hadiatmoko menyebutkan, selain polisi, sejumlah wartawan di Riau menerima duit dari Acin. ”Dia memberikan uangnya itu lewat humasnya,” kata Hadiatmoko, yang menjadi Kepala Kepolisian Riau sejak Mei lalu.
Keterangan Hadiatmoko ini mengejutkan sejumlah pemimpin organisasi wartawan. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Riau, Dheni Kurnia, misalnya, meminta Hadiatmoko menyebut nama-nama wartawan itu. ”Akan kami pecat wartawan yang menerima dana judi itu,” kata Dheni. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen Riau, Ahmad Fitri, meminta Kepala Kepolisian Riau segera mengumumkan nama wartawan itu ke publik.
Acin sendiri kini meringkuk di ruang tahanan Markas Kepolisian Daerah Riau. Pusat komando judinya di rumah toko di kawasan Tanjung Datuk kini sepi. Sejumlah peralatan di kantor itu diboyong polisi untuk barang bukti. Kini serangkaian tuduhan mengarah ke pria yang pendidikannya hanya sampai kelas lima sekolah dasar ini—dari memiliki senjata api ilegal, membuka praktek perjudian, hingga melakukan kejahatan pencucian uang.
Pengacara Acin, Aswin Siregar, menolak memberikan komentar terhadap serangkaian tuduhan terhadap kliennya itu. Hanya, soal senjata, Aswin menegaskan, itu hanya senjata peluru karet yang izinnya sudah habis dan agennya belum memperpanjang masa berlakunya. ”Yang lain nanti saja saya jelaskan di pengadilan,” katanya.
Martha W. Silaban, Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo