Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF6600>Ben Anderson:</font><br />Politik Putra Mahkota Itu Cermin Feodalisme

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lama absen dalam penelitian tentang Indonesia, karisma Benedict Anderson di kalangan akademisi tak luntur. Ben—begitu dia disapa mendapat sambutan hangat ketika memasuki ruangan dalam acara bedah buku karya Tan Swie Ling di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa pekan lalu. Indonesianis dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, ini berbicara lugas dengan logat lokal yang kental.

Indonesia memang bukan negeri yang asing bagi Ben, 74 tahun. Dia pertama kali datang pada 1961 untuk penelitian program doktoralnya di Cornell. Setelah Peristiwa G30S, Ben dan koleganya, Ruth McVey, membuat makalah yang dikenal dengan Cornell Paper. Makalah kontroversial ini menunjuk Peristiwa G30S sebagai akibat konflik internal tentara. Karena makalah itu, Ben dilarang masuk ke Indonesia sejak 1973 hingga Soeharto lengser. Penulis buku Imagined Communities ini lalu tinggal di Thailand sampai sekarang.

Selama sepekan di Indonesia, Ben diundang ke berbagai seminar. Dia sendiri memanfaatkan kunjungan ini untuk menggarap biografi penulis Tjamboek Berdoeri, yakni Kwee Thiam Tjing. Di sela kesibukannya, dia masih menyempatkan diri melakukan kegiatan unik. ”Saya sedang mendokumentasikan bangunan norak di Jakarta,” katanya sambil terbahak.

Kamis pekan lalu, Ben menerima Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi, Yophiandi Kurniawan, dan fotografer Dwianto Wibowo di rumah koleganya di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Ia mengupas dinamika politik sejak zaman revolusi serta neofeodalisme yang masih berakar sampai sekarang, dengan gaya blakblakan.

Apa yang membuat Anda konsisten membahas peristiwa 1965 dan gerakan kiri di Indonesia?

Saya tertarik pada Peristiwa G30S sampai tahun 1973-1974. Lalu terasa setelah reformasi bahwa hampir semua risalah dari Mahkamah Militer Luar Biasa amat kontradiktif. Kita tak tahu pasti mana yang dipaksakan polisi dan tentara atau pengakuan pelaku. Kami menunggu arsip di Inggris dan Amerika dibuka. Mungkin ada informasi dan bahan baru yang keluar setelah 30 tahun.

Bagaimana dengan pengakuan para bekas tahanan politik yang sekarang banyak menulis buku?

Saya selalu mengharapkan ada memoar dari tahanan politik yang ­sudah kembali. Memang ada, tapi sebagian besar informasi hanya seputar pen­de­ritaannya ketika di bui dan sebagainya. Sedangkan analisis apa yang terjadi sangat kontradiktif. Orang ini mengatakan begini, yang lain bilang tak mungkin begitu. Saya mengharapkan ada orang PKI cerdas yang membuat analisis masuk akal, tapi sampai sekarang tak pernah terjadi. Saya juga membaca buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa. Cukup banyak informasi menarik dari dokumen Supardjo. Tapi Roosa terlalu terpukau pada dokumen ini tanpa memperhatikan dokumen lain. Jadi, menurut saya, analisisnya terlalu sederhana.

Apa relevansinya membahas Peristiwa G30S dengan gerakan kiri untuk Indonesia sekarang?

Pembantaian jutaan orang itu salah satunya timbul dari kampanye pers dan televisi tentang pembunuhan jenderal. Saya sudah melakukan penelitian bahwa dalam pembunuhan jenderal itu tak ada pemotongan kemaluan, pencongkelan mata, dan sebagainya. Jadi seharusnya orang melihat mengapa begitu banyak kebohongan sejak hari pertama. Ini kampanye yang dingin. Bukan sesuatu yang dibikin secara gegabah atau panik. Jelas ada kelompok tertentu yang siap.

Tulisan Anda mengenai pembunuhan jenderal itu tak banyak pengaruhnya....

Apa yang saya tulis itu efeknya bisa dikatakan hampir nol. Seharusnya yang membaca dokumen mengerti bahwa ini kebohongan langsung. Kampanye anti-Gerwani ini fitnah melulu, tapi tak ada yang peduli. Saya tak tahu seandainya sekarang ada yang bisa membuktikan bahwa di belakang G30S itu ada Soeharto cs. Saya kira orang juga tak mau percaya. Karena, kalau mereka percaya, artinya ada yang berdosa membunuh begitu banyak orang dan kesadistisan luar biasa terhadap orang tak bersalah. Persis seperti orang Jerman yang tak mau mengingat perihal Hitler karena dianggap masa lalu.

Bukankah dulu ada pengakuan dari Jenderal Sarwo Edhie tentang adanya pembantaian?

Kalau pembantaian 3 juta orang, mana dia tahu? Banyak hal yang belum jelas dalam peristiwa ini, misalnya tentang Sjam Kamaruzaman. Masih ada dugaan Sjam disimpan di luar negeri. Siapa dia dan apa hubungannya dengan Soeharto masih misterius. Ada cerita unik dari keluarga Jenderal Achmad Wiranatakusumah. Dia bercerita tentang keheranannya ketika rapat dengan Soeharto yang bertanya tentang Sjam pada 1 Oktober atau sehari setelah peristiwa itu. Semua orang dalam rapat itu bingung dan tak ada yang tahu Sjam. Memang cukup banyak informasi yang menunjukkan Soeharto kenal Sjam sejak zaman revolusi.

Jadi relevansinya sekarang adalah menunjukkan adanya kebohongan dan kejahatan kemanusiaan....

Segala macam kekonyolan G30S itu tak masuk akal dilakukan oleh Njoto, Aidit, dan sebagainya. Dus, Soeharto seperti sengaja menggagalkan gerakan ini sehingga dia menjadi pahlawan. Kalau ini sandiwara Soeharto, tentunya sejarah Indonesia akan berbeda.

Maksud Anda, ada kemungkinan PKI bisa berkuasa?

Saya tak yakin. Coba lihat hasil pemilu. Tak pernah ada partai yang bisa mencapai 23 persen. Batas PKI juga cukup jelas dan tak bisa menembus daerah Islam. Setelah pemilu nasional 1955, PKI di urutan kedua di tingkat DPRD tapi hanya di Pulau Jawa, dan peningkatan jumlah pemilihnya diambil dari PNI, bukan dari partai Islam. Setelah Njoto disingkirkan dan diganti Oloan Hutapea, saya tak yakin PKI bisa mendominasi Indonesia.

Apa arti penting absennya gerakan kiri dalam politik di Indonesia?

Sangat penting. Membuat partai kiri seperti zaman dulu itu tak semudah yang dikira. Memerlukan bertahun-tahun perjuangan. Apalagi mau menarik buruh, petani, dan nelayan miskin yang begitu lama dikemplang birokrasi dan sebagainya. Saya kira perlu pimpinan yang prinsipiil, punya strategi dan taktik. Masak, pemilu bagus tapi orang yang masuk DPR seperti itu.

Apakah ideologi kiri masih menarik mengingat dalam pemilu lalu banyak orang miskin memilih berdasar uang?

Karena memang tak ada alternatif. Ini juga terjadi di daerah di mana komunis di Thailand pernah sangat kuat. Pada 1970-an komunis di daerah itu dihancurkan. Mereka tak ada wadah karena yang main politik hanya partai yang dipegang mafia lokal atau dibeking­ tentara. Dalam situasi seperti itu orang memilih partai yang memberikan sogokan lebih besar. Bukan mereka suka partainya, tapi daripada tak dapat apa-apa. Belakangan banyak orang sadar bahwa memilih orang harus berdasarkan kebijaksanaan, bukan uang. Gerakan ini mengancam Bangkok dan Kerajaan. Kesadaran politik sudah banyak berubah. Kalau pergi ke daerah itu, Anda bisa melihat baliho ”Raja si Bangsat” dengan bahasa Thai yang lebih kasar. Propaganda dari istana itu mengatakan raja sangat dihormati dan sebagainya, persis seperti Yogyakarta menyebutkan tak bisa melepaskan kesultanan.

Sentimen antikapitalisme biasanya memberi ruang bagi gerakan kiri. Tapi di Indonesia itu tak terjadi. Di sini justru orang antikapitalisme dan antikomunisme secara bersamaan. Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Dalam banyak kasus, ­konglomerat Indonesia jauh dari cakrawala pandangan nelayan, petani, babu, dan sebagainya. Musuh mereka sehari-hari bukan orang luar negeri, tapi orang lokal seperti polisi dan mafia. Kaum elite mengatakan bahwa semua masalah karena Yahudi dan Amerika, maksudnya supaya jangan membenci mereka. Jadi, ini politik mengalihkan kemarahan masyarakat ke target luar untuk menutupi kegagalan ekonomi dalam negeri.

Bagaimana peran generasi baru dalam mengubah politik di Indonesia?

Kalau kita lihat anak kecil yang nakal, selalu saya bercanda, ”Ini harapan bangsat.” Tapi yang muda masih ada harapan dan bisa berbuat sesuatu. Anak muda biasanya berani tapi tak punya daya tahan sehingga banyak yang bergabung dengan kelompok mafia dan lain-lain. Gerakan bisa berjalan asal dipimpin orang yang beres.

Apakah Anda melihat kultur politik sekarang masih seperti zaman Orde Baru?

Yang akan membantu adalah generasi anak muda yang tak mengalami dan tak begitu ingat zaman Soeharto. Tentu ada kelemahannya, tapi bukan seperti manusia Indonesia yang formasinya di zaman Soeharto adalah neofeodalisme, korupsi, dan kejam. Perubahan ini perlu waktu. Orang DPR pada umumnya merupakan hasil zaman Orde Baru. Mental politiknya persis sama.

Apa persamaan kultur politik sekarang dengan di masa Orde Baru?

Bentuknya diktator dengan sistem oligarki. Bagi-bagi lahan, tak boleh ada oposisi, dan sebagainya. Mereka tahu, asal bagi lahan dan semua diajak masuk, oligarki itu aman. Belum ada bagian dari oligarki yang berani keluar dan berbuat sesuatu. Situasi ini mungkin akan berubah kalau ada krisis ekonomi lagi.

Politikus Indonesia sekarang juga terlihat mempersiapkan keluarga dan anak untuk meneruskan kepemimpinan?

Mereka tak ada apa-apanya kecuali mendompleng nama bapak dan suami. Politik putra-putri mahkota itu cermin feodalisme dan kemauan pemimpin yang gila-gilaan seperti di Korea Utara. Negara itu komunis tapi pemimpinnya turun-temurun sampai tiga generasi. Ketimbang membagi kekuasaan kepada orang lain, lebih baik membagi kepada anak sendiri meski berotak ayam.

Menyinggung soal feodalisme, seberapa besar perubahan Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang?

Ketika zaman revolusi sampai 1950-an, kaum bangsawan atau raja kecil-kecilan merasa terancam karena tekanan dari bawah. Masyarakat melihat mereka sebagai antek penjajah, brengsek, dan sebagainya. Partai juga memiliki dasar haluan kuat seperti PNI, PKI, dan Masyumi, sehingga memiliki daya tarik lebih besar ketimbang para bangsawan ini. Raja kecil ini lalu mencoba kembali dengan masuk birokrasi tanpa melalui proses pemilihan.

Bagaimana ketika zaman Orde Baru?

Soeharto mengebiri semua partai politik sehingga ada kesempatan bangsawan ini comeback. Soeharto menganggap bagus ada raja kecil di tingkat lokal yang tak berarti secara nasional. Musuh besar adalah partai yang memiliki daya tarik untuk seluruh Indonesia. Kalau hanya lokal, tak jadi masalah. Raja kecil ini dipelihara dan diberi uang sehingga berperan seperti zaman dulu. Semacam dizombikan.

Kesultanan Yogyakarta disebut memiliki akar sejarah yang berbeda dengan kerajaan lain….

Ah, saya tak percaya. Memunculkan Sultan itu akan memberi harapan serupa kepada raja kecil di daerah lain. Kesan saya melihat sejarah kerajaan di beberapa negara lain di dunia, kalau kerajaan dihapuskan, orang akan lupa dalam waktu tiga minggu. Jadi, kalau habis, tak akan kembali.

Apakah kerajaan bisa dibubarkan begitu saja pada zaman reformasi ini?

Kondisi sekarang sebetulnya cermin kegagalan partai politik dalam menciptakan daya tarik di masyarakat. Jadi, dalam hal ini, kartunya adalah partai yang masih lemah dan raja sudah mengumpulkan kekuatannya sejak era Soeharto.

Benedict Richard O’Gorman Anderson

Tempat dan tanggal lahir: Kunming, Cina, 26 Agustus 1936

Pendidikan:

  • Bachelor of Arts Universitas Cambridge, Inggris
  • Profesor emeritus bidang studi internasional Universitas Cornell, Amerika Serikat

    Karier:

  • Pengajar dan peneliti Universitas Cornell
  • Penulis buku Java in a Time of Revolution:
    Occupation and Resistance 1944-1946 (1972); Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus