Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Ben Pasaribu muncul di akhir 1980-an, ketika bendera musik kontemporer Indonesia mulai berkibar. Dewan Kesenian Jakarta memiliki program festival tahunan musik kontemporer bernama Pekan Komponis Muda, yang menjadi tonggak utama dunia musik kontemporer. Ben tidak pernah ikut festival itu. Namanya baru muncul ketika Pekan Komponis Muda berlanjut dengan nama Forum Musik Jakarta, medio 1990-an.
Sejak awal, Ben memposisikan diri sebagai pemusik eksperimental. Ia banyak menggarap bentuk musik ritual di Tanah Batak, tempat asalnya. Dengan berdomisili di Medan, peran Ben dalam perkembangan musik kontemporer di Tanah Air menjadi sangat penting. Ia memberikan imbangan yang elok bagi pertumbuhan genre musik yang saat itu bertumpu di Jakarta, Bandung, Solo, dan Yogyakarta.
Ben memiliki referensi musik sendiri, proses pencarian sendiri, dan pada akhirnya gaya musiknya sendiri. Ia tumbuh lepas dari orientasi gaya musik di ”pusat” yang cenderung akademik, baik dalam konteks musik Barat maupun karawitan. Di Medan, konteks akademik ini tidak ada karena kota itu tidak memiliki lembaga pendidikan tinggi musik Barat ataupun karawitan yang mengajarkan praktek komposisi.
Itu yang membuat karya-karya Ben menjadi unik dalam konteks perkembangan estetika musik kontemporer Indonesia, yang didominasi komponis berlatar belakang Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Institut Seni Indonesia Surakarta. Ben juga aktif menulis di lingkungannya. Pada akhirnya ia tumbuh menjadi komponis dan etnomusikolog lulusan Universitas Sumatera Utara.
Pada akhir 1980-an, ia belajar komposisi dan etnomusikologi di Wesleyan University, Amerika Serikat, yang terkenal dengan program musiknya yang sangat progresif. Tokoh musik abad ke-20 seperti John Cage dan Harry Partch pernah mengajar di sana. Di Wesleyan, ia bertemu dengan guru komposisi yang sangat unik, yaitu Alvin Lucier, tokoh musik minimalis yang karya-karyanya sangat ekstrem. Salah satunya adalah Long Thin Wire, karya musik dari sepotong kawat panjang yang mengeluarkan nada tunggal elektronik selama lebih dari satu jam. Pertemuan Ben dengan Alvin Lucier menjadi sangat produktif.
Pada awal 1990-an, saya mengajak Ben Pasaribu (Medan), Harry Roesli (Bandung), dan Sapto Raharjo (Yogyakarta) menggelar konser elektro-akustik musik di Yogya dan Bandung, dengan judul Music for the Future Generation. Untuk Yogya dan Bandung, itu mungkin pergelaran musik elektronik yang pertama. Ben juga menjadi peserta langganan festival musik perkusi dunia yang saya adakan tiap tahun di Taman Impian Jaya Ancol dan Pekan Raya Jakarta, pada 1990-an.
Setelah menggondol gelar master of music di bidang komposisi dan etno musikologi, Ben pulang ke Tanah Air dan membuka jurusan komposisi musik di Fakultas Kesenian Universitas Nomensen. Dengan membuka jurusan ini, ia tidak hanya memapankan namanya di dunia musik kontemporer Indonesia, tapi juga memapankan dunia musik kontemporer di wilayah Sumatera Utara yang sangat strategis. Dari sana, ia banyak membuat kontak dengan Malaysia.
Pada saat itu pula Amir Pasaribu, yang masih kerabat Ben, pulang ke Tanah Air setelah puluhan tahun bermukim di Suriname. Amir adalah cikal bakal musik kontemporer Indonesia, sehingga dengan dua Pasaribu di Medan, bobot musik kontemporer Indonesia menjadi sangat imbang antara Jawa dan Sumatera. Di seluruh Indonesia ketika itu hanya ada dua tempat untuk belajar komposisi musik, yaitu Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Nomensen.
Sebagai komponis dan etnomusikolog, tidak ada orang yang lebih tepat mengajarkan komposisi di Sumatera Utara, wilayah yang sangat kaya ragam musik tradisionalnya. Hal ini akhirnya juga mendorong Ben menjadi penyelenggara festival musik dunia di Sumatera. Sayang, kepergiannya pada Senin pekan lalu terasa terlalu cepat, dalam usia yang baru akan genap 50 tahun pada Januari tahun depan.
Franki Raden, pemusik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo