Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan itu datang bertubi-tubi dari ketua majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Albertina Ho. Tapi, di kursi pesakitan, Gayus Halomoan Tambunan tak sedikit pun terlihat gelagapan. Dengan tenang bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menjawab pertanyaan seputar asal-usul fulus Rp 28 miliar yang sempat tersimpan di rekeningnya.
Gayus menyatakan duit itu didapat dari pekerjaan ”sampingan” pada 2008. Pekerjaan itu adalah ”membantu” wajib pajak yang tengah dililit masalah di pengadilan pajak. Posisi Gayus, yang bertugas di Direktorat Keberatan dan Banding, memang memungkinkan pria 31 tahun ini melakukan pekerjaan sampingan tersebut.
Tiga perusahaan milik Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin Indonesia, adalah pengorder sekaligus penyetor dana terbesar ke Gayus. Dari Kaltim Prima Coal, ia mendapat US$ 500 ribu atau sekitar Rp 5 miliar, dari Bumi Resources US$ 1 juta (Rp 10 miliar), dan dari Arutmin US$ 2 juta (Rp 20 miliar). Total duit yang melesat ke koceknya Rp 35 miliar. Sebanyak Rp 28 miliar dia simpan di Bank Panin dan BCA. Adapun yang Rp 7 miliar dia simpan di rumah. ”Semuanya diberikan kepada saya melalui Alif Kuncoro dalam beberapa kesempatan,” kata Gayus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu.
Alif Kuncoro adalah kakak Imam Cahyo Maliki, konsultan pajak yang diduga memiliki hubungan dekat dengan Denny Adrianz, Vice President Finance PT Bumi Resources. Imam Cahyo disebut-sebut juga konsultan pajak perusahaan Bakrie tersebut. Di sinilah nama Denny diketahui diduga terkait dengan Gayus. Awal 2008, Imam datang menawarkan bantuan kepada Denny untuk mengurus kasus yang mendera Bumi Resources.
Dua bersaudara itulah yang mempertemukan Gayus dengan Denny Adrianz. Menurut Gayus, dia selalu menemui Denny bersama Alif dan Imam. Mereka pernah makan siang bersama di Hotel Four Seasons dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. Tapi, ujar Gayus, Denny tak pernah langsung memberikan "imbalan" kepada dia.
"Apakah Anda merasa bersalah setelah menerima uang itu?" tanya Albertina kepada Gayus.
”Seorang pegawai pajak boleh saja menerima imbalan dari wajib pajak selama tidak menyalahi aturan, Yang Mulia,” jawab Gayus datar.
Persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan Gayus sebagai terdakwa kasus mafia pajak itu berakhir menjelang sore. Pengunjung sidang, yang kebanyakan juru warta, hanya geleng-geleng setiap kali Gayus menyebut jumlah uang yang ada di rekeningnya.
PADA hari yang sama, Rabu pekan lalu itu, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI melakukan gelar perkara kasus Gayus. Berlangsung di aula Badan Reserse Kriminal, acara itu dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Hadir dalam acara itu Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein, Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus M. Amari, Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Ade Rahardja, serta wakil dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang takzim menyimak.
Acara yang awalnya berlangsung santai itu berubah jadi ”panas” kala penyidik dari Kepolisian memaparkan sejumlah kendala pengusutan asal-muasal duit di rekening Gayus. Pengakuan Gayus di pengadilan sendiri bukan hal baru bagi polisi karena pernah juga disampaikan ke penyidik. ”Pengakuan itu juga kami tindak lanjuti,” kata Ito kepada Tempo.
Beberapa nama yang disebut Gayus sudah dipanggil untuk dimintai keterangan. Ada yang datang, ada pula yang tak muncul. Alif Kuncoro, yang disebut sebagai perantara, misalnya, datang memenuhi panggilan polisi. Hanya, kepada penyidik, ia membantah pengakuan Gayus. Adapun Denny Adrianz dan Imam Cahyo dua kali dipanggil, dua kali pula mangkir.
Di luar keterangan saksi yang tak menggembirakan itu, polisi juga tak mendapat bukti lain perihal asal-muasal duit Gayus tersebut. Misalnya bukti penyerahan uang atau transfer lewat rekening bank. Polisi sendiri menduga uang itu diberikan secara tunai. Walhasil, asal-muasal uang Rp 28 miliar Gayus ini pun gelap. Mata rantai terputus sampai Gayus. Bekas pegawai negeri golongan IIIa itu pun hanya dikenai pasal gratifikasi, bukan penyuapan.
”Polisi telah bekerja sama dengan pihak bank, tidak bisa menemukan asal-usul aliran dana ke rekening Gayus," kata Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri.
Seusai presentasi dari penyidik Badan Reserse Kriminal, satu per satu perwakilan lembaga negara yang diundang memberikan tanggapan. Semua yang hadir dalam gelar perkara sepakat kasus Gayus bisa diarahkan ke penyuapan. ”Tapi pencarian alat buktinya yang masih agak sulit,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus M. Amari seusai gelar perkara.
Menurut Denny Indrayana, adanya kesulitan itu seharusnya menjadi tantangan untuk memaksimalkan kemampuan penyidik membongkar mafia pajak Gayus. ”Apalagi berbeda antara sulit dibuktikan dan tidak terbukti,” kata Denny.
Bagi Pia Akbar Nasution, kuasa hukum Gayus, apa yang dilakukan polisi untuk mengusut asal-muasal uang Rp 28 miliar itu belum maksimal. Pia menyebutkan punya bukti adanya komunikasi tertulis antara perusahaan penyuap dan kliennya. ”Gayus tak sekadar ngomong. Ada bukti-bukti dokumen,” Pia menegaskan. Semua bukti itu, ujarnya, akan ia beberkan di pengadilan.
Penasihat ahli Kepala Kepolisian RI, Chaerul Huda, mengatakan, meski tak ada pengakuan dari Imam dan Denny Adrianz, itu bukan berarti polisi tak bisa mengusut penyuap Gayus. Pencarian alat bukti tambahan bisa dilakukan dengan melacak nama-nama perusahaan yang pernah ditangani Gayus. Dan rentang waktu penanganan kemudian dihubungkan dengan aktivitas Gayus saat mendepositokan uangnya ke bank.
Polisi, kata Chaerul, juga bisa mengusut apakah selama menangani perusahaan-perusahaan tersebut Gayus menyalahgunakan wewenang atau tidak. Ini bisa dilakukan dengan mengkaji setiap kasus yang ditangani Gayus. Caranya bekerja sama dengan penyidik pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak. ”Menteri Keuangan Sri Mulyani waktu itu sudah membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan polisi mengusut kasus ini,” ujar Chaerul Huda kepada Tempo.
Saran Chaerul bukan tak pernah dilakukan polisi. Hanya, upaya tersebut terbentur masalah kerahasiaan pengadilan pajak. ”Karena itu, kami sepakat akan menggandeng penyidik Direktorat Pajak,” kata Ito.
Direktur Jenderal Pajak Tjiptardjo mengatakan selama ini pihaknya telah bekerja sama dengan polisi untuk membongkar skandal kasus Gayus. Namun, manakala berkaitan dengan pengadilan pajak, Tjiptardjo mengaku tidak bisa berbuat banyak. ”Karena pengadilan pajak berada di bawah Mahkamah Agung,” ujar Tjiptardjo kepada Tempo.
Sampai saat ini, Gayus hanya kena pasal gratifikasi. Konsekuensinya, menurut Denny Indrayana, orang yang memberikan uang ke Gayus tidak terjerat pidana. Tiga nama perusahaan yang disebut berulang kali oleh Gayus tak akan tersentuh pasal penyuapan.
Dileep Srivastava, juru bicara Bumi Resources, perusahaan yang juga membawahkan Kaltim Prima Coal dan Arutmin, membantah semua keterangan Gayus. ”Semua tuduhan tentang status pajak dan dugaan pengurusan pajak yang menyalahi aturan itu tak berdasar,” katanya. Kini memang semua tergantung polisi: bisa menemukan bukti yang dengan lantang diucapkan Gayus di pengadilan atau tidak.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo