Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF9900>Eman Suparman:</font><br />Semua Hakim Harus Diawasi

10 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA datang dari lingkungan kampus. Rekam jejaknya terbilang mulus di hampir semua kalangan. Eman Suparman melenggang menjadi anggota Komisi Yudisial 2010-2015 tanpa banyak polemik. Ia mendapat suara terbanyak dalam pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Guru besar Universitas Padjadjaran ini mendapat dukungan terbanyak dari 14 calon yang diajukan ke DPR untuk posisi Ketua Komisi Yudisial. Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, ini meraih 51 suara, di atas Abbas Said (42), Imam Anshori Saleh (40), Taufiqurrahman Syahuti (39), Suparman Marzuki (38), Jaja Ahmad Jayus (37), dan Ibrahim (36). Ketujuh orang terpilih itu menjadi komisioner lembaga yang mengawasi dan menyeleksi para hakim.

Komisi Yudisial merupakan lembaga strategis yang diharapkan dapat membangun citra lembaga peradilan. Lembaga ini menjadi penjaga perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya. Komisi juga berwenang mengawasi hakim agung dan mengusulkan calon hakim agung.

Kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim dipangkas karena adanya perubahan undang-undang pada 2006. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang diajukan sejumlah hakim agung, termasuk Abbas Said. Komisi Yudisial hanya sebagai pengawas eksternal perilaku hakim.

Kewenangan mengawasi perilaku hakim itu berusaha dikembalikan dalam perubahan undang-undang yang masih dibahas di DPR. Bekas Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas—kini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi—meminta Eman dan kawan-kawan bisa menjaga perubahan undang-undang itu.

Menurut Eman, Komisi seharusnya dapat mengawasi semua hakim, termasuk hakim agung dan konstitusi. ”Kecuali hakim garis,” katanya sambil tertawa. Rabu pekan lalu, Eman menerima Yandi M. Rofiyandi, Cheta Nilawaty, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo.

Apa prioritas Anda sebagai Ketua Komisi Yudisial sehingga memperkuat lembaga ini?

Tugas utama Komisi Yudisial secara konstitusional menyeleksi calon hakim agung serta menegakkan keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jadi program saya berada dalam bingkai tugas utama itu, yakni pengaduan dan pengawasan. Kami juga membenahi aturan Komisi Yudisial menyangkut job description. Aturan Komisi 2005-2010 itu banyak yang tumpang-tindih. Irisan dengan bidang lain tak apa, tapi kalau akhirnya saling mengandalkan dan tak dikerjakan, itu tak benar.

Penanganan pengaduan di Komisi Yudisial biasanya lama....

Untuk itulah kami benahi birokrasi. Saya sudah membentuk tim untuk merumuskan job description serta prosedur beracara dalam menangani pengaduan dan pengawasan. Itu akan mempercepat pekerjaan kami. Jadi, yang selama ini surat yang harus melalui begitu banyak meja, tak boleh begitu lagi. Nantinya, pengaduan juga harus ada dismissal, kalau perlu ditolak. Komisi bukan keranjang sampah sehingga semuanya diadukan. Harus ada batas kedaluwarsa pengaduan. Keadilan yang terlambat diberikan sama saja tak ada keadilan.

Pengaduan apa saja yang akan ditindaklanjuti Komisi Yudisial?

Saya menemukan informasi yang menggelikan dari tenaga ahli. Ada orang melaporkan putusan yang dianggap tak memenuhi rasa keadilan ke Komisi Yudisial. Padahal soal itu menyangkut penanganan perkara, putusan, dan sebagainya. Adapun laporan hakim selingkuh, suka judi, utang tak bayar, datang ke karaoke, dan sebagainya dilaporkan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Jadi sering terbalik. Akan kami sosialisasikan lagi ke masyarakat soal Komisi Yudisial ini.

Mengapa Komisi Yudisial sejak berdiri sangat tertutup dalam proses rekrutmen?

Saya tidak tahu. Saya no comment untuk itu. Tanyakan ke Sekretariat Jenderal saja.

Bagaimana dengan orang yang dipinjamkan dari instansi lain?

Dulu ada kebutuhan sumber daya manusia sehingga Komisi Yudisial berasal dari instansi lain, seperti Badan Pusat Statistik, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jadi mereka bukan sarjana hukum yang dipaksa memahami hukum. Padahal memahami hukum itu tak simsalabim, harus melalui proses. Saya saja yang belajar hampir 30 tahun masih tetap merasa kurang.

Mengapa Komisi Yudisial terkesan semakin dikerdilkan kewenangannya?

Soal mengerdilkan itu penafsiran. Silakan orang mau menafsirkan. Pak Busyro ingin mengelaborasi amanat Undang-Undang Dasar. Kemudian dia memperoleh tantangan uji materi oleh sejumlah hakim agung tentang pengawasan hakim agung dan konstitusi. Itu yang terjadi. Memang musibah yang menimpa Komisi zaman Pak Busyro.

Ada semacam keengganan dari hakim agung dan hakim konstitusi sehingga Komisi Yudisial mengawasi mereka?

Itu dulu, sehingga mereka mengajukan permohonan judicial review. Hakim agung sekarang belum tentu. Saya tak mau memfitnah hakim agung sekarang. Siapa tahu mereka akan patuh setelah saya menjadi ketuanya. Saya akan menerapkan pengawasan bermartabat dengan kelembutan, tidak dengan kekerasan. Komisioner bukan polisi moral. Akan kami pakai pengawasan itu dengan teladan. Kami harus jujur, adil, bijaksana, arif, dan berdedikasi tinggi. Untuk membersihkan halaman kotor itu harus dengan sapu bersih. Mudah-mudahan para hakim agung akan malu kepada kami. Itu yang saya coba bangun.

Banyak yang mengharapkan Komisi Yudisial lebih garang dan bergigi....

Spirit kami di Komisi Yudisial itu menerapkan pengawasan dengan kelembutan. Perlakuan terhadap orang tak harus dengan kekerasan. Dengan cara yang lebih wise, orang bisa lebih malu. Sudah saya buktikan di jalan. Ketika di Bandung, saya sering menyetir sendiri. Kalau saya berlaku keras terhadap sopir angkot, bisa ditabrak. Tapi, kalau saya lemah lembut, mereka malu. Jadi mereka yang resisten terhadap kita jangan dilawan dengan kekerasan.

Bagaimana Komisi Yudisial berkolaborasi dengan institusi lain, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi?

Kami sudah mengirim surat ke sejumlah instansi, seperti DPR, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung, untuk silaturahmi dan koordinasi. Ke DPR, kami akan mengawal penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 sehingga bisa back up pekerjaan kami. Kami akan ke Mahkamah Agung untuk menyamakan persepsi tentang kode etik dan lain-lain.

Sebelum adanya perubahan undang-undang, Komisi Yudisial sangat menggebu dalam menjalankan fungsi pengawasan, tapi tanpa perangkat kuat, seperti berperang tanpa mesin perang....

Soal mesin perang belum siap itu saya tidak tahu karena tak ada di dalam. Penataan organisasi baru waktu itu memang harus banyak dimaklumi. Pengisian jabatan struktural dan personelnya saja pinjaman instansi lain. Jadi saya maklum kalau babat alas waktu itu. Pak Busyro memang membuka alas atau hutan dan tak tahu apa yang ada di depannya. Dengan segala euforia dan penolakan di sana-sini, jadinya seperti ini. Itulah yang akan kami kembalikan supaya semua pihak paham bahwa Komisi Yudisial adalah amanat UUD. Jadi perlu ada penataan dan penguatan luar-dalam oleh pengurus Komisi Yudisial jilid kedua.

Jadi ada tuntutan mendesak untuk memperbaiki kompetensi sumber daya manusia?

Saya kira iya. Kami juga sudah mengantisipasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang akan disempurnakan nanti. Kalau jadi, undang-undang itu mengisyaratkan adanya deputi. Jadi pejabat struktural tak akan menangani soal substansi teknis yang menjadi tugas utama Komisi Yudisial. Biro pengawasan investigasi selama ini berada di bawah sekretaris jenderal.

Mengapa harus menunggu selesainya perubahan undang-undang?

Walaupun asumsi sudah jadi, kami tak boleh mendahului. Kita harus ada landasan berpijak. Undang-undang itu 60-70 persen akan disetujui dan perangkatnya sudah disiapkan. Walaupun belum dibentuk, kami sudah mengincar orang yang tepat yang akan duduk di situ. Kami menghitung jumlah deputi dan posisinya. Deputi ini harus diisi sarjana hukum sekurang-kurangnya S-2 karena harus memahami tugas utama Komisi Yudisial.

Bagaimana upaya penguatan kewenangan Komisi Yudisial dalam perubahan undang-undang?

Kami sudah mempelajari daftar inventarisasi masalahnya. Mudah-mudahan penguatan kewenangan Komisi dalam penyempurnaan undang-undang itu akan muncul. Kami mengharapkan Komisi Yudisial bisa menjadi lembaga yang disegani hakim. Sebenarnya, kalau pengawasan sudah melekat pada dirinya, tak perlu ada pengawasan eksternal. Kalau semua sudah sadar pedoman perilaku dan kode etiknya, tak perlu diawasi lagi. Paling hanya pengawasan kesejahteraan hakim atau mutasinya jangan sampai tak adil.

Banyak yang mempersoalkan figur Abbas Said sebagai mantan hakim agung....

Beliau, pada posisi sekarang sebagai koordinator bidang pengaduan dan investigasi, tak ada hal yang harus saya komentari. Beliau baik dan kooperatif dalam bekerja. Kalau tanya masa lalu beliau, jangan tanya saya. Kami melakukan pleno dalam setiap pengambilan keputusan sehingga tak ada unsur subyektif. Komitmen kami, satu kata dengan perbuatan. Kami niatkan utuh, kompak, dan solid. Tak boleh ada dusta di antara kita. Enam orang mencapai kuorum dalam mekanisme pengambilan suara, tapi tetap tak utuh. Saya ingin selalu mencapai kuorum dan utuh. Jadi tak ada suara pribadi atau perorangan.

Mengapa hanya sedikit rekomendasi Komisi Yudisial yang direspons Mahkamah Agung?

Saya melihat ada penafsiran berbeda antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Ketika rekomendasi diajukan oleh Komisi Yudisial dianggap tindakan teknis penanganan perkara, hak Mahkamah Agung menafsirkannya. Itulah yang akan dicarikan jalan keluar sehingga Mahkamah dan Komisi tak memberikan penafsiran berbeda.

Dalam soal penafsiran kode etik juga sering kali ada perbedaan, meski ada kesepakatan bersama….

Inisiatif membuat kode etik dan pedoman perilaku untuk hakim ini datangnya dari Mahkamah Agung. Kode etik dan perilaku hakim itu menjadi surat kesepakatan bersama yang ditandatangani Pak Busyro dan Pak Harifin Tumpa. Kalau memang ada kebuntuan karena perbedaan penafsiran, itu akan kami cairkan.

Penerapan kode etik itu berlaku bagi semua hakim, termasuk hakim konstitusi?

Saya katakan itu ketika fit and proper test. Pengawasan melekat kepada semua hakim, kecuali hakim garis, saya bilang. Ketawa semua anggota DPR. Saat ini ada yang tak berada dalam pengawasan Komisi, seperti hakim militer. Badan peradilan, menurut undang-undang, kan meliputi peradilan umum, agama, tata usaha negara, dan militer. Hakim militer ini luput dalam pengawasan Komisi Yudisial.

Bagaimana mengantisipasi penyimpangan di dalam Komisi Yudisial?

Potensi penyimpangan itu selalu ada. Saya belum membuktikan karena baru seminggu di sini. Tapi saya yakin tak akan terjadi dengan tujuh komisioner ini.

Anda sebagai akademisi siap menghadapi dinamika peradilan di Indonesia?

Ya, saya siap. Ilmu hakim, pengacara, jaksa, dan dosen di fakultas hukum sama. Tak boleh ada yang mengatakan teori dan praktek itu beda. Siapa bilang beda? Gurunya sama di fakultas hukum, mengapa harus beda hasil akhirnya. Omong kosong kalau ada yang mengatakan teori dan praktek beda. Yang beda itu perilaku, bukan hukumnya. Banyak hakim, jaksa, dan polisi yang menafsirkan hukum berbeda dengan yang diajarkan. Itu yang memanggil saya masuk Komisi Yudisial.

Profesor Dr H Eman Suparman, SH

Tempat tanggal lahir:
Kuningan, 23 April 1959

Pendidikan:

  • Sarjana hukum Universitas Padjadjaran, 1982
  • Magister hukum Universitas Gadjah Mada, 1988
  • Doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro, 2004

    Karier:

  • Dosen dan guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009
  • Ketua Komisi Yudisial 2010-2015
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus