Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Akhirnya Kebenaran Akan Bicara

Mia Bustam (4 Juni 1920-2 Januari 2011) memperjuangkan hidup dalam keadaan apa pun, dan dengan bermartabat. Dari masalah poligami hingga politik.

10 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIA Bustam adalah kehidupan. Perempuan yang meninggalkan kita di awal Januari lalu pada usia 90 tahun itu, dalam segala keadaan, tak tinggal pasif sebagai penonton. Ia melihat, lalu melakukan sesuatu, dan sedikit-banyak ikut mewarnai peristiwa-peristiwa.

Dari dua buku karyanya—Sudjojono dan Aku (Pustaka Utan Kayu, Jakarta, 2006), dan Dari Kamp ke Kamp, Cerita Seorang Perempuan (Spasi&VHR Book, Jakarta, 2008)—kita mendapat kesan bahwa istri pertama Sudjojono, seniman yang dianggap bapak seni lukis modern Indonesia, ini memiliki pendirian yang kukuh. Ketika berselisih dengan Bung Karno, misalnya, ia menegaskan bahwa suaminya benar dan, ”Kita tak boleh miyar-miyur dalam membela kebenaran.” Meski untuk itu keluarga ini harus kehilangan penghasilan tetap yang cukup besar.

Hal yang sama juga terjadi kala ia menjadi juri lomba kebersihan dan keindahan kota seluruh Jawa Tengah, 1962. Mia tak hanya melihat dan menilai. Di Purwokerto ia melihat tugu batu sedang dicat warna-warni, dan ia mengatakan ke wali kota: watak batu itu mestinya tak disembunyikan di balik cat warna-warni. Akhirnya, tugu batu dipulihkan sebagai batu, cat dibersihkan.

Sebagai penghuni penjara untuk tahanan politik, di mana pun penjara itu—Mia setidaknya dipindahkan enam kali—semboyannya bahwa kesehatan dan keindahan harus sejalan ia praktekkan. Selalu, yang dilakukan pertama kali begitu memasuki penjara ”baru” adalah membersihkan sel, serta kemudian menambahkan ini dan itu demi keindahan, seperti membuat taman.

Ia juga tak hendak menyerah di dalam penjara. Apa pun makanan di penjara ia habiskan, karena hidup harus dipertahankan. Sementara itu, sejumlah tahanan politik yang lain jatuh sakit karena tak doyan makan, bahkan beberapa meninggal.

Tapi untuk apa bertahan hidup? Mia masih ingin bertemu lagi dengan kedelapan anaknya dan menuliskan semua yang ia lihat dan alami agar diketahui orang lain.

Dua bukunya di atas ditulis tanpa pretensi bahwa yang dikisahkan penting. Tapi, penting atau tak penting, konteks cerita Mia adalah sejarah Indonesia yang tak bisa dilewatkan begitu saja.

Perkembangan dan lukisan Sudjojo-no pada 1930-an sampai 1950-an juga ditemukan dalam cerita Mia. Hubungan antara seni dan perjuangan tersirat dari buku Mia. Ini menegaskan bahwa seni rupa Indonesia lahir dari semangat perjuangan.

Adapun peristiwa di penjara, dari ceramah wakil pemerintah, profil beberapa petugas dan komandan, sampai soal jatah makanan, sengaja atau tidak, menggambarkan kebijakan penguasa kala itu. Termasuk korupsi: dari kiriman uang yang tak sampai kepada tahanan hingga jatah kasur, seprai, dan handuk yang ternyata dipakai sendiri oleh para petugas.

Termasuk watak para petugas serta komandan yang ”berlagak muda” dan menyebabkan beberapa perempuan muda hamil di penjara. Termasuk para interogator yang kehilangan rasa kemanusiaan dan mengecap para tahanan itu anti-Pancasila. Padahal sikap dan kelakuan merekalah yang tak sesuai dengan Pancasila, tulis Mia dalam Dari Kamp ke Kamp.

Sementara itu, Mia terus melukis untuk diri sendiri atau karena diminta oleh orang lain. Dalam buku Dari Kamp ke Kamp, sebuah karya Mia disertakan, yakni desain untuk tas plastik, tas untuk mewadahi karya para tahanan politik yang akan dijual: batik, baju, kerajinan tangan, dan lain-lain.

Gambar itu berupa seorang perempuan dengan baju pengantin, bersemadi mendekapkan kedua telapak tangan di depan dada. Anatomi gambar itu sungguh pas. Benarlah kata Sudjojono bahwa ”Jeng Mia” memiliki bakat besar melukis. Pada 1964, sebelum peristiwa 30 September, lukisan Mia tesertakan dalam pameran Indonesia di Eropa.

Sasmiati, begitu nama asli Mia, yakin bahwa kebenaran pada akhirnya akan berbicara. Maka ia minta cerai begitu Sudjojono berniat kawin lagi. Maka ia tetap berkeras bahwa ia bukan PKI dan tetap mempertanyakan alasan penahanannya karena ia merasa tak bersalah apa pun.

Ia ingin menyaksikan para tahanan politik bebas, dan rezim yang dinamakan sebagai Orde Baru runtuh. Kedua keinginan ini terlaksana. Yang belum terlaksana, sampai ia mengembuskan napas terakhir, menyaksikan pemulihan nama baik para tahanan politik.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus