Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELALUI proses yang ringkas, Harifin A. Tumpa terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung—menggantikan Bagir Manan yang pensiun. Dalam pemilihan pada 15 Desember tahun lalu itu, ia didukung 36 dari 43 hakim agung, mengalahkan lima kandidat lainnya. Sarjana hukum lulusan Universitas Hasanuddin ini masuk gelanggang ketika pro-kontra perpanjangan usia hakim agung hingga 70 tahun memuncak, tak lama setelah Dewan Perwakilan Rakyat meloloskan revisi Undang-Undang No. 5/2004 tentang Mahkamah Agung, pertengahan Desember lalu.
Dua pekan setelah itu, ketika membacakan sumpah enam hakim agung baru, Harifin terjatuh karena kram kaki: ia terpaksa melanjutkan pelantikan dengan duduk di kursi. Jatuhnya Wakil Ketua Non-Yudisial Mahkamah Agung itu lalu dikaitkan dengan umurnya yang sebentar lagi memasuki 67 tahun.
Ayah tiga anak yang sudah berkarier 46 tahun di pengadilan itu menangkis. ”Saya kram karena asam urat,” katanya kepada Tempo pekan lalu. ”Jangankan berdiri lama, tidur saja bisa kram.” Arif Kuswardono, Anne Handayani, dan Ramidi dari Tempo mewawancarai Harifin, yang didampingi sejumlah stafnya, di kantor lamanya, lantai dua Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Anda sudah disorot sejak menjelang pemilihan kemarin.…
Ketika saya ditunjuk teman-teman dan menyatakan siap, saya juga harus siap dengan segala risikonya. Siap dihujat, dikritik, atau menghadapi kekerasan fisik. Tapi tidak ada yang pernah mencoba meneror saya.…
Akan seperti apa Mahkamah Agung di bawah kepemimpinan Anda?
Mahkamah tidak bisa disamakan dengan lembaga politik atau kabinet, yang memiliki target kerja seratus hari atau tiga bulan. Mahkamah menjalankan sistem dengan mengacu tugas pokoknya, yaitu memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Ke depan, kami punya prioritas. Pertama, mendorong hakim agung lebih produktif. Sebab, jumlah hakim agung makin terbatas. Kedua, meningkatkan transparansi. Terakhir, menjaga agar para hakim agung punya kesatuan pendapat terhadap suatu masalah hukum. Ini untuk menjaga kualitas putusan.
Bukannya hakim diizinkan berbeda pendapat, dalam bentuk dissenting opinion?
Begini, ada hakim agung yang berpendapat hukuman terpidana satu tahun penjara itu bisa diganti dengan hukuman percobaan, tapi ada hakim agung lain yang berpendapat sebaliknya. Ini terutama menyangkut perkara korupsi dan pembalakan hutan. Kami sudah melakukan pelatihan hakim pengadilan negeri dalam hal penanganan dua perkara itu. Harapan kami, ini bisa dilakukan juga di tingkat hakim agung.
Anda dihadapkan pada soal tunggakan perkara yang klasik. Apa pemecahannya?
Saat ini kami masih kekurangan tenaga hakim agung. Dari jumlah 51, yang terisi hanya 43 orang. Delapan bulan lalu, beberapa hakim agung pensiun. Sekarang akan menyusul sekitar 14 hakim agung lagi. Ini sangat mempengaruhi kinerja memutus perkara. Dalam satu hari, rata-rata satu hakim agung bisa membuat tiga putusan. Normalnya, sebulan bisa diputus 1.200 perkara. Saat ini, perkara yang diputus hanya 700-800 per bulan.
Bukannya Mahkamah bisa mengusulkan hakim agung baru untuk menutupi kekurangan?
Kami masih kekurangan delapan hakim agung. Kemarin, yang diajukan dari hasil seleksi oleh Komisi Yudisial, hanya enam calon. Itu hanya untuk mengisi kekosongan jabatan dua hakim agung (tiga calon untuk satu posisi hakim agung—Red.). Padahal, tahun lalu kami mengajukan kepada Komisi 44 orang dari jalur hakim karier. Saya tidak tahu dari jalur nonkarier. Harapan kami, hakim agung yang tinggal sedikit ini bisa makin produktif.
Hanya itu cara Anda mendinamisasi kinerja Mahkamah?
Pada 2004 ada tunggakan perkara 20 ribu lebih. Setelah empat tahun, tunggakan itu tinggal 8.500. Pada 2007 saja, dalam waktu sekitar lima bulan kami memutus lebih dari 15 ribu kasus. Tapi tahun itu ada 9.500 perkara baru yang masuk. Pada 2008, perkara yang masuk meningkat menjadi 11.500. Yang bisa diputus hingga Desember lalu 13.500 perkara. Tunggakan perkara tidak bisa nol, karena tiap tahun bertambah perkara baru. Apalagi beberapa hakim agung pensiun, produktivitasnya jadi menurun. Ke depan, kami akan membuat kriteria kapan suatu perkara dikatakan tertunggak atau backlock. Di Australia, perkara dikatakan tertunggak bila selama 18 bulan tak diputus. Di Mahkamah Agung kami memperkirakan, barangkali satu setengah sampai dua tahun.
Menyangkut biaya perkara, mengapa kemarin Mahkamah menolak diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan?
Dulu, menurut Undang-Undang Mahkamah Agung, ada dua macam biaya perkara, yaitu biaya proses dan biaya kepaniteraan. Biaya kepaniteraan itu hak negara, sedangkan biaya proses, yang ditanggung pihak yang beperkara, digunakan untuk membiayai perkara yang sedang diajukan ke lembaga peradilan. Ke depan, Mahkamah harus terbuka, siap diperiksa, terutama mengenai biaya perkara, karena ini hak publik.
Selama ini, bagaimana pengelolaan keuangan biaya perkara?
Setelah satu perkara diputus, ditentukan siapa yang diwajibkan membayar biaya perkara. Itu diperinci dan bisa dilihat dalam berkas putusan. Kami punya pembukuan, lengkap dengan bukti penerimaan dan pengeluaran. Setiap tahun kami juga melakukan audit internal. Memang, dari 800 pengadilan negeri, tidak semua bisa diaudit Mahkamah. Tapi, yang jelas, pengadilan tingkat banding itu tiap tahun melakukan pemeriksaan.
Siapa yang berwenang menentukan besarnya biaya perkara?
Masing-masing pengadilan. Biaya pengadilan yang satu dengan yang lain itu berbeda, misalnya di Jakarta dengan di Jayapura. Di Jayapura, transportasi antarkecamatan saja terkadang harus dengan pesawat terbang. Agar tidak membingungkan masyarakat antarlingkungan pengadilan, antara pengadilan agama, tata usaha, dan pengadilan negeri, ditentukan standarnya. Mereka berkoordinasi menentukan jumlah pungutan dihitung berdasar jarak tempuh, misalnya lima kilometer, sepuluh kilometer, dan seterusnya. Kalau di kasasi dan peninjauan kembali, karena saat ini kami tidak punya aturan pembatasan perkara, kami memberi angka agak tinggi. Maksudnya, agar pihak yang beperkara tidak menempuh upaya hukum tingkat itu. Sebagian uang itu kami pakai untuk membiayai perkara yang tidak ada anggarannya.
Bagaimana pengelolaan yang akan dikembangkan?
Setelah ada Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru, jelas dikatakan komponen biaya perkara ada dua, maka Badan Pemeriksa Keuangan bisa memeriksa. Kami malah senang, karena Mahkamah akan terbantu mencegah penyimpangan. Hanya, undang-undang baru mulai berlaku 1 Januari, jadi uang yang ada sejak 2008 akan diakumulasi dengan biaya perkara tahun depannya. Itu saja yang akan diaudit. Sehari setelah pemilihan Ketua Mahkamah, pada 16 Desember lalu, kami mengumpulkan ketua pengadilan tinggi dan meminta mereka memberi tahu para ketua pengadilan agar siap diaudit. Semua peradilan—terutama pengadilan agama, pengadilan negeri, dan tata usaha, yang memungut biaya perkara itu—hanya boleh membuka dua rekening. Rekening menyangkut uang negara dan biaya perkara saja. Sekarang, Departemen Keuangan mewajibkan melaporkan rekening. Jadi, sekarang, uang eksekusi pun masuknya ke rekening biaya perkara. Dulu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu punya tujuh rekening menyangkut biaya perkara, biaya eksekusi, uang titipan, macam-macam.
Apakah hubungan dengan Komisi Yudisial akan diperbaiki juga pada masa Anda?
Mahkamah berharap Undang-Undang Komisi Yudisial bisa selesai, sehingga kewenangan masing-masing bisa jelas. Sebab, dalam undang-undang lama ada perbedaan penafsiran antara kami dan Komisi. Kemarin, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung setuju membentuk tim kecil untuk merumuskan masalah yang menjadi tanggung jawab bersama. Undang-Undang Komisi menyatakan, dalam tiga bulan kode etik hakim, yang disusun Mahkamah dan Komisi, harus sudah selesai.
Anda mengeluarkan surat edaran tentang kewajiban saksi ahli dari Dewan Pers dalam perkara pers. Apa pertimbangannya?
Kebebasan pers itu harus dijamin. Sebab, dengan kebebasan pers, demokrasi akan tumbuh dan berkembang dengan baik serta kondusif. Karena itu kami berharap para hakim di daerah mulai menggunakan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers dalam setiap perkara pers. Saya teken surat edaran itu sesudah saya jatuh... (tertawa kecil). Saya minta, bila ada delik pers atau sengketa pers, hakim diminta mendengarkan saksi ahli dari Dewan Pers. Anggota Dewan Pers paling mengetahui teori dan praktek berkaitan dengan Undang-Undang Pers dan kebebasan pers. Jadi, mereka harus dianggap paling kompeten.
Bukannya surat edaran itu tidak mengikat hakim, bahkan tidak ada sanksi bagi hakim yang mengabaikannya?
Surat itu sifatnya petunjuk, sehingga tidak ada sanksi. Tapi harus dilaksanakan oleh pengadilan tingkat bawah. Biasanya, surat yang dikeluarkan Mahkamah pasti dipatuhi. Mahkamah memang tidak bisa mengikat hakim. Hakim itu independen, mempunyai kebebasan memutus perkara. Tetapi, yang diupayakan Mahkamah adalah membuat putusan-putusan yang akan bisa jadi patokan atau yurisprudensi yang akan dilihat hakim di bawahnya. Seperti beberapa kasus perdata Tempo, juga kasus pers lainnya.
Artinya, Mahkamah bisa sepakat bahwa Undang-Undang Pers merupakan lex spesialis?
Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang Pers merupakan undang-undang yang prima. Artinya, harus didahulukan. Tapi tidak bisa dikatakan lex spesialis, karena yang bisa dikatakan lex spesialis bila dalam undang-undang itu ada sanksi pidananya. Sedangkan dalam Undang-Undang Pers yang sekarang sanksi pidana itu tidak ada. Makanya, dalam beberapa pertemuan saya dengan organisasi wartawan, saya minta agar Undang-Undang Pers direvisi, sehingga tidak terjadi polemik berkepanjangan. Revisi ini, artinya, semua yang menyangkut pers diatur di situ. Ada ketentuan pidana juga, menyangkut mereka yang merasa dirugikan bila terjadi penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam ketentuan pidana itu harus diatur kapan dan tahapan apa yang harus dilalui sebelum seseorang menjadi terdakwa kasus pidana pers. Kalau itu diatur terperinci, tidak hanya akan membantu pers, tapi juga hakim. Misalnya, seseorang tidak dapat diajukan sebelum dia menggunakan hak jawab.
Menurut Anda, usia hakim agung itu memang perlu sampai 70 tahun?
Hakim agung itu tugas utamanya bukan melakukan pekerjaan fisik, sehingga selama mampu berpikir jernih, menganalisis persoalan hukum, usia bukan masalah bagi hakim agung. Kalau usia jadi masalah, apakah mereka yang lebih muda bisa lebih produktif daripada hakim yang sudah tua? Dalam praktek, bandingkan saja hakim yang baru masuk, masih muda, dengan hakim yang telah lima atau tujuh tahun di sini. Pasti yang lebih lama produktivitasnya jauh lebih tinggi. Makin panjang pengalaman seorang hakim agung, semakin cepat dia membuat putusan.
Tapi, membaca ribuan berkas perkara itu cukup menguras stamina juga.…
Memang, ya. Artinya, kemampuan berpikir itu didukung oleh fisik. Tapi, kan fisik di sini bukan berarti harus berlari sekian ratus meter? Kalau dia memelihara kesehatan tubuh, masih bisa melakukan aktivitasnya sendiri, membaca dan berpikirnya bagus, saya kira itu tidak masalah.
Mahkamah dinilai jarang melakukan terobosan, terutama dalam hukum acara. Untuk meningkatkan kualitas putusan, apakah kelak Anda mengizinkan pemeriksaan ulang saksi dalam perkara kasasi?
Saksi itu untuk pemeriksaan tingkat pertama dan banding. Kalau di tingkat kasasi, tidak ada lagi pemeriksaan saksi. Kasasi hanya memeriksa apakah keputusan itu menyalahi hukum atau tidak. Kalau menyalahi hukum material atau acara, ya..., putusan itu dibatalkan.
Dalam kasus Munir, banyak saksi tersumpah yang menarik kesaksiannya. Bukannya ini mengancam kepastian hukum? Apakah bisa di kasasi mereka diperiksa ulang?
Di undang-undang memang bisa seperti itu. Syaratnya, bila keputusan itu sudah salah menurut hukum. Jadi, harus diputus dulu, salah menurut hukum atau tidak. Tapi, bukan Mahkamah yang akan memeriksa saksi, melainkan memutus pengadilan negeri tertentu untuk memeriksa ulang saksi. Hal seperti itu memang belum pernah terjadi, kecuali pada kasus pemilihan kepala daerah.
Bagaimana menyangkut peninjauan kembali yang bisa diajukan berkali-kali? Apa hal itu masih dibolehkan?
Dalam perkara peninjauan kembali, acaranya berbeda. Peninjauan kembali dilakukan jika ada kekeliruan hakim atau ada bukti baru. Jadi, tidak lagi berbicara mengenai penerapan hukum. Kadang soalnya sepele. Misalnya, hakim kasasi menyatakan permohonan kasasi itu sudah lewat waktu, padahal ketika diperiksa ternyata tidak lewat tenggang waktu. Aturan peninjauan kembali hanya satu kali. Kalau lebih dari itu, berarti melanggar undang-undang. Nanti akan kami terbitkan surat edaran agar tidak terjadi hal seperti itu.
DR HARIFIN A. TUMPA SH, MH
Tempat/ tanggal lahir: Soppeng, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1942
Pendidikan:
Jabatan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo