Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA voting dibuka, Saharudin Daming tak mengangkat tangan. Dari sebelas peserta sidang, sepuluh suara terbagi menjadi dua sama kuat. Anggota komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang tunanetra itu menjadi penentu.
”Apakah Pak Daming mengambil posisi?” tanya ketua sidang, Ifdhal Kasim. ”Saya abstain,” ujar Daming. Lobi menjelang makan siang pun belum mengubah komposisi pilihan. Rapat tertutup paripurna Komisi pada 7 Januari lalu itu mampet.
Peserta belum bersedia menerima laporan Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo. Pertemuan lanjutan, Selasa pekan lalu, juga belum berhasil menyetujui rekomendasi Tim Investigasi. Sidang akan berlanjut pada 23 Februari.
Tidak mudah menerima rekomendasi Tim Investigasi agar Komisi setuju membentuk tim penyelidikan proyustisia pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Nah, data yang mendukung kebenaran terjadinya pelanggaran hak asasi berat itu belum kuat. Pengambilan suara pun dilakukan dengan pilihan: membentuk penyelidikan proyustisia pelanggaran hak asasi manusia berat atau memperkuat laporan.
Hasilnya, lima memilih opsi pertama, lima memilih opsi kedua. Sikap Daming bijaksana. Menurut dia, rekomendasi Tim Investigasi merupakan terobosan baru dalam kasus lumpur Lapindo. Ini sekaligus membuktikan Komisi serius menangani bencana yang sudah berlangsung tiga tahun itu.
Daming mengatakan dalil Tim Investigasi masih sumir untuk penerapan teknis yuridisnya. Sidang lanjutan, Selasa pekan lalu, akhirnya menyepakati agar Tim memperbaiki paparan sehingga bisa memberikan rekomendasi yang meyakinkan.
Anggota komisioner Komisi, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan tim penyelidikan proyustisia akan melibatkan pihak lain, seperti kejaksaan, dalam penyelidikan. Menurut dia, Komisi harus memiliki data kuat bahwa benar telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat. ”Kalau tidak, bisa ditertawakan,” katanya.
Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, pelanggaran hak asasi manusia berat adalah kejahatan genosida dan kemanusiaan. Kejahatan genosida merupakan perbuatan menghancurkan atau memusnahkan kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama. Sedangkan kejahatan kemanusiaan merupakan serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.
Yosep mengatakan paparan Tim Investigasi yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia belum sampai pada indikasi pelanggaran berat itu. Menurut dia, semua anggota Komisi bisa menangkap maksud baik Tim melakukan terobosan hukum, namun tetap harus dibarengi prinsip kehati-hatian.
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia membentuk tim pemantauan lumpur Lapindo pada awal 2007, dipimpin Abdul Hakim Garuda Nusantara. Komisi berfokus pada pelanggaran hak asasi manusia dan pemulihan korban.
Tim ini kemudian menemukan adanya pelanggaran hak asasi manusia, seperti pelanggaran hak atas perumahan, hak atas kesehatan, pekerjaan, pendidikan, serta hak para pengungsi.
Laporan tim Abdul Hakim itu dipertajam tim pemantauan pimpinan Syafruddin Ngulma Simeuleu, yang bekerja mulai November 2007. Tim ini menemukan beberapa hal yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Sayang, masa tugas mereka berakhir pada Februari 2008. Hal yang masih menyisakan pertanyaan antara lain masalah eksplorasi di kawasan permukiman, pertanian, dan industri terbatas, pembiaran kasus ledakan pipa Pertamina pada November 2006, pengerahan tentara di daerah lumpur, serta proses hukum Lapindo yang tidak kunjung selesai.
Komisi lalu membentuk Tim Investigasi untuk mengkaji temuan tim pemantauan tersebut, April lalu. Tim yang dipimpin Kabul Supriyadi ini berakhir masa tugasnya Desember lalu, tapi diperpanjang hingga Februari tahun ini.
Kabul mengatakan timnya sudah memiliki fakta pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus lumpur Lapindo. Laporan sementara Tim Investigasi menemukan sejumlah pelanggaran, seperti penyalahgunaan tata ruang, pembiaran kasus ledakan Pertamina, serta peraturan pemerintah yang tidak memulihkan dan melindungi hak korban.
Pelanggaran lain adalah lambatnya penegakan hukum, tidak terpenuhinya hak warga desa yang terkena dampak, gagalnya pembayaran ganti rugi, serta penghentian jatah makanan bagi pengungsi Pasar Porong. ”Tapi harus dicari bukti lebih kuat apakah semua temuan ini masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia berat,” kata Kabul.
Anggota Tim Investigasi, Syafruddin Ngulma Simeuleu, mengatakan lumpur Lapindo merupakan kasus luar biasa. Lumpur itu telah menenggelamkan lebih dari 800 hektare lahan subur. Anehnya, kasus luar biasa ini justru ditangani secara biasa-biasa saja oleh pemerintah dan Lapindo.
”Harus ditangani dengan pendekatan dan cara luar biasa juga,” kata Syafruddin. Maksudnya, dalam kasus ini, harus benar-benar dihitung kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat.
Tentu saja upaya Komisi dinilai tidak relevan oleh pihak Lapindo. Menurut juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, tidak ada kelalaian perusahaan dalam semburan lumpur ini. Operasi pengeboran sudah sesuai dengan standar nasional dan internasional.
Lapindo juga sudah terbukti tidak melanggar hukum. Sebab, menurut Yuniwati, Lapindo berpatokan pada keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Selatan pada 2007, yang menolak gugatan warga melalui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Wahana Lingkungan Hidup. ”Kami juga punya dalih yang bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
HUJAN yang mengguyur Sidoarjo dalam sepekan lalu cukup merepotkan Suwarno, 39 tahun. Bersama istrinya, Tusah, ia menutupi barang yang berserakan dengan plastik atau menampung bocoran dengan panci.
Sudah sebulan ini Suwarno tinggal di dalam tenda bersama sekitar 40 warga lain. Tenda berukuran 6 x 8 meter itu berdiri tepat di gerbang masuk Perumahan Kahuripan Nirwana Village.
Perumahan ini merupakan ganti rugi buat korban yang menyetujui pembayaran dengan pemukiman kembali atau resettlement. Suwarno termasuk yang menerima skema ini.
Suwarno adalah warga Desa Kedung Bendo, sebagian kawasan yang ditenggelamkan lumpur. Pengusaha kerajinan dompet kulit ini mendapat uang sewa rumah dari Lapindo selama dua tahun di Kecamatan Candi.
Dia diberi janji akan mendapat kunci rumah di Kahuripan, Desember lalu. ”Mereka bilang program resettlement adalah yang tercepat, tapi buktinya mblese (meleset),” ujarnya.
Ketidakpastian juga meliputi Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dua ribuan pengungsi masih berta-han dengan mendirikan barak dari terpal. Koordinator Paguyuban Pengungsi Pasar Baru Porong, Sunarto, mengatakan warga bersedia pindah bila sudah mendapat ganti rugi setidaknya 20 persen. ”Pelunasan masih macet, dicicil tidak jelas,” katanya.
Dalam laporan 30 Januari lalu, Lapindo telah membayar sekitar Rp 700 miliar untuk skema pembayaran 20 persen. Lapindo juga telah mengeluarkan Rp 1,5 triliun untuk pembayaran 80 persen. Akibat krisis ekonomi global, Lapindo minta keringanan kepada pemerintah agar bisa membayar dengan cara mencicil. ”Kami terikat melunasinya,” kata Bambang Prasetyo Widodo, Direktur Operasional Minarak.
Kuasa hukum warga korban lumpur Lapindo, Paring Waluyo Utomo, mengatakan klaim Lapindo itu jauh dari kenyataan. Menurut dia, sekitar 400 orang di Pasar Baru sama sekali belum menerima ganti rugi. Ia juga pesimistis Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bisa menyelesaikan penanganan korban lumpur. ”Mereka kan sebatas memberi rekomendasi?” katanya.
Yandi M.R. (Jakarta) Yekthi Hesthi Murthi, Dini Mawuntyas (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo