Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Kalau Prabowo Pulang, Semua Akan Terbongkar"

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada lembaran hidup misterius yang tersimpan dalam laci sejarah mantan Kolonel Infanteri (TNI) Alexander Evert Kawilarang. Salah satu laci sejarah itu adalah ke-terlibatan mantan Panglima Teritorium (TT) III/Siliwangi ini dengan gerakan pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Makassar, pada 1957. Padahal, Alex?begitu panggilan akrabnya?sebelumnya telah berjasa menumpas berbagai pemberontakan di Tanah Air pada 1950-an: Andi Azis (Sulawesi), Republik Maluku Selatan (RMS?Maluku), Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan), dan Darul Islam/Karto Suwiryo. Laci lain, pertemuan Alex dengan Soeharto, bawahannya, yang waktu itu ditugaskan ke Sulawesi untuk menghadapi pemberontakan di daerah. Karena orang kebanyakan sering melihat kehidupan seseorang secara hitam putih, keterlibatan Alex di Permesta itu membuat dia tersingkir dari kehidupan ramai. Banyak kawan dekat yang menjauhinya. Padahal, Dr. Barbara Sillars Harvey, pengamat politik dari Monash University, Melbourne, menyebut Permesta?pemberontakan rakyat Sulawesi Utara 1957?sebagai pemberontakan setengah hati: mereka sebetulnya tidak hendak memisahkan diri dari pemerintah pusat, tetapi sekadar menggertak. Setelah tersingkir dari panggung militer, Alex menghidupi keluarganya dari bisnis. Sebuah perusahaan swasta dalam bidang kopra digelutinya, selain bisnis suplai barang-barang kebutuhan ABRI. Alex kini menikmati hari tuanya bersama H.O. Pondaag, istrinya yang terakhir dari tiga perkawinannya. Dengan tubuh setinggi sekitar 170 sentimeter, tongkat yang selalu ditentengnya tak bisa menyembunyikan kegagahannya di masa silam. Kakek yang lahir di Jatinegara, Jakarta, pada 23 Februari 1920, ini memiliki tujuh cucu dari tiga anak. Nama Alex Kawilarang kini dikenang kembali ketika masa yang disebut banyak orang sebagai era reformasi bergaung. Kopassus memberikan penghargaan kepadanya sebagai anggota kehormatan Korps Baret Merah, pertengahan April lalu, pada ulang tahun ke-47 komando itu. Maklum, Alex-lah yang membentuk Satuan Komando Tentara Teritorium III pada 1952, "cikal bakal" Kopassus yang berganti nama beberapa kali. Dari Kesatuan Komando Angkatan Darat, lalu berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat, kemudian Komando Pasukan Sandi Yudha (1969), dan terakhir Komando Pasukan Khusus (1984), sampai sekarang. Karir militernya memang cemerlang. Berbekal pendidikan HBS V (Hogere Burger School), kemudian Korps Pendidikan Perwira Cadangan dan KMA (Koninklijke Militaire Academie)?semuanya di Bandung?Alex menjadi anggota angkatan tahun 1940. Lalu, karirnya pun merangkak. Secara berturut-turut berbagai jabatan militer yang dipegang Alex dari 1948 hingga 1956 adalah Komandan Brigade I Siliwangi, komandan subteritorial di Tapanuli, Sumatra Utara, Komandan TT-VII, Komandan Pasukan Ekspedisi yang dikirimkan ke Indonesia timur, dan Panglima TT III-Siliwangi. Terakhir, atase militer di Washington DC, Amerika Serikat. Alex mengundurkan diri dari dinas militer pada 1958, ya, ketika dia di Washington itu. dan Kelik M. Nugroho dari TEMPO, Alex mengungkapkan sebagian lembaran hidup yang tersimpan dari laci-laci sejarahnya. Wawancara berlangsung selama 3 jam 30 menit di rumahnya yang luas dan berarsitektur tua di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu pekan terakhir bulan April. Berikut kutipannya:

Apa arti penghargaan Kopassus kali ini? Untuk menghargai pendiri atau memperbaiki citra Kopassus yang terpuruk menjelang Orde Baru tumbang?

Saya susah untuk menjelaskannya. Kita, dulu, tahun 1945-1955, disegani betul dan dicintai rakyat, sedangkan sekarang citra mereka kurang baik. Dulu, untungnya, kami ikut bergerilya, sehingga kami bisa memahami bahwa tanpa bantuan rakyat, kami, tentara, bukan apa-apa.

Bagaimana komentar Anda tentang isu penculikan aktivis yang sempat membuat citra Kopassus buruk?

Manusia tidak sempurna. Mereka bisa bersalah juga.

Kata anggota Kopassus, mereka melakukan itu karena panggilan kepentingan negara?

Itu kan bohong-bohongan saja. Saya rasa, itu bukan kata mereka. Semua kan tahu ini rekayasa saja. Kalau misalnya Prabowo (mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat saat terjadi penculikan aktivis pada 1997, yang kini berada di Yordania) kembali, lalu dia diperiksa, kan atasannya bisa terbongkar semua. Karena itu, dia disuruh lekas pergi ke luar negeri. Itu sudah dijelaskan oleh ayahnya.

Kini memang militer banyak dihujat. Banyak konsepnya kembali dipertanyakan, tentang dwifungsinya, tentang hak pilihnya, antara lain. Pada Pemilu 1955, tentara ikut memilih dan punya partai. Bagaimana pengalaman Anda kala itu?

Tentara memang boleh ikut pemilu. Pada 1952, Nasution mundur dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat, menyusul konfliknya dengan Soekarno, dan kemudian membentuk Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dia berkampanye keliling Jawa dan Sumatra. Tak mengherankan jika pada umumnya tentara memilih IPKI, walaupun ada juga yang tidak mendukung IPKI dan memilih partai Masyumi.

Anda juga memilih IPKI?

Ya. Kalau tidak salah, perolehan suara IPKI nomor lima
dari sekian banyak partai.

Tidak cukup dengan perintah saja?

Tidak ada perintah itu. Ini kan politik.

Apakah ada tentara yang memilih PKI?

Itu saya dengar di Jawa Tengah. Satu brigade di Purwodadi ikut PKI Muso di bawah pimpinan Letkol Sudiarto. Tapi, sesudah mereka menerima surat dari Jenderal Sudirman yang dibawa Cokropranolo, mereka kembali ke pemerintah.
(Ketika mengisahkan pergolakan politik pada 1957 di daerah-daerah?antara lain Sulawesi, Sumatra, dan Irianjaya?karena ketidakpuasan mereka atas kebijakan politik pemerintah pusat menyangkut otonomi daerah dan pembubaran Partai Komunis Indonesia, Alex mengungkapkan peristiwa pelemparan granat terhadap Presiden Soekarno di Cikini, Jakarta, pada 30 November 1957. Sebuah panitia sedang dibentuk untuk membahas tuntutan daerah tersebut ketika granat itu meledak.)

Bagaimana kelanjutan soal tuntutan daerah itu?

Hampir selesai pembentukan panitia itu, tahu-tahu granat dilempar ke Soekarno di Cikini. Ada anak sekolah yang mati dan luka. Darahnya menciprati pakaian putih yang dikenakan Soekarno. Kepada Nasution, yang kemudian mengunjunginya, Soekarno berkata, "Nasution, mulai sekarang stop hubungan dengan daerah-daerah. Tidak ada hubungan lagi karena merekalah yang melempar granat." Padahal, bukti bahwa orang-orang daerah itu sebagai pelempar granat tidak ada. Dan yang dianggap biang keladi adalah Zulkifli Lubis (mantan KSAD waktu itu, yang tak disukai Soekarno?Red).
Sampai menjelang meninggal dunia, Zulkifli Lubis selalu menyatakan, "Saya mau dipanggil pengadilan, agar pemeriksaan resmi dilakukan untuk menunjukkan bahwa saya tidak bersangkut-paut dengan pelemparan granat itu". Tapi, sampai Zulkifli meninggal pada 1992, pengadilan untuk itu tidak ada. Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) pernah menyatakan bahwa Lubis tidak tersangkut-paut dengan peristiwa granat itu. Tapi, hanya begitu saja. Pernyataan itu tidak muncul lewat proses pengadilan.

Siapa yang meledakkan?

Orang Bima dari Sumbawa besar. Sebetulnya, Bima tidak termasuk daerah yang bergolak. Saya dengar yang melempar granat adalah orang Sumba yang kini berada di Australia. Ceritanya, sebelum Pemilu 1955, Soekarno pernah datang ke Sumba Besar. Karena tidak ada hotel, dia tinggal di rumah penduduk. Masyarakat Bima itu taat kepada Islam. Suatu malam, Soekarno minta tukang pijit. Karena masyarakat Bima memeluk Islam secara taat, mereka tidak mengerti yang dimaksud Soekarno. Dikirimlah seorang laki-laki pemijat. Nah, Soekarno waktu itu mengucapkan kata-kata yang membuat dendam orang Bima. Di luar itu, katanya, Soekarno sempat pula menggoda wanita di sana. Jadi, kalau ini benar, asal mula semuanya soal wanita. Namun, karena lemparan granat itu, semua hubungan dengan daerah disetop.

Permesta muncul setelah peristiwa itu. Kapan kontak pertama Anda dengan Permesta? Waktu itu kan Anda sebagai atase bidang militer di Washington?

Saya hanya dapat kabar bahwa Minahasa dibom. Saya marah. Saya kirim kawat ke Nasution dan meminta berhenti dari jabatan saya sebagai atase militer di Washington DC karena saya tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Saya tidak bilang saya bergabung dengan Permesta.

Toh akhirnya Anda bergabung?

Ya, waktu di Manado, tentu akhirnya saya bergabung.

Apa posisi Anda di Permesta?

Mereka menunjuk saya sebagai Panglima Besar PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, pemberontakan daerah di Sumatra). Tapi saya tidak terima. (Para petinggi Permesta waktu itu menganggap PRRI sejalan dengan Permesta?Red). Saya tidak setuju. Saya mau bergabung dengan Permesta saja, yang saya anggap lebih sebagai oposisi. Mereka tidak mau dianggap melepaskan diri dari Republik. Permesta jangan dihubungkan dengan PRRI karena PRRI seperti ingin mendirikan negara sendiri. Sebetulnya, PRRI juga tidak ingin melepaskan diri dari RI. Tapi, dengan namanya saja, seolah-olah mereka sudah lepas.

Jadi, apa posisi Anda?

Saya sebetulnya tidak mau disebut panglima besar, tapi mereka semua menyebut saya sebagai panglima besar.

Berapa kekuatan pasukan di bawah komando Anda?

Banyak juga. Kalau senjata, mungkin ada sampai 2.000 senjata.

Dari mana senjata mereka peroleh?

Sebelum saya datang, senjatanya sudah ada. Dari CIA (Central of Intelligence Agency), saya dengar. Dus, pihak Amerika menganggap pihaknya harus membantu daerah-daerah karena daerah ini sudah mulai main mata dengan PKI. Namun, sebetulnya PKI senang atas pemberontakan yang muncul di daerah karena dengan begitu PKI justru menjadi lebih kuat.

Jadi, warga Minahasa meminta Anda untuk memimpin?

Saya sendiri ke sana. Tentu mereka senang.

Kenapa Anda tertarik bergabung dengan Permesta?

Saya sebetulnya mendukung beberapa syarat, misalnya soal otonomi daerah, yang pernah diajukan daerah ke pemerintah pusat. Tapi, setelah dekat dengan Permesta, saya lihat banyak juga yang kurang benar. Banyak orang yang ikut Permesta karena mereka tidak setuju dengan Jawa. Wah, tidak benar kalau begitu. Mereka kebanyakan bawahan-bawahan yang kurang mengerti.

Ada masalah pribadi di lingkungan orang Permesta terhadap orang Jakarta?

Enggak ada.

Bagaimana perbandingan dukungan rakyat kepada RMS yang Anda tumpas dan Permesta?

Dengan RMS, rakyat terpaksa ikut-ikut saja. Mereka tidak mendukung betul. Permesta lain. Rakyat di sana tahu betul kalau kami dirugikan. Kami sebetulnya tidak mau sampai ribut-ribut. Tapi, ya, karena Minahasa dibom, terpaksa kami ikut.

Belakangan, Anda bergabung lagi dengan teman-teman di militer. Bagaimana proses Anda meninggalkan Permesta?

Gabung, ya, tidak. Tidak diterima sebetulnya. Cuma, kami berbaikan bila saling bertemu. Banyak perwira Permesta yang diterima lagi di tentara. Tapi, saya tentu tidak diterima karena saya pucuk pimpinan. Itu sebabnya saya lebih baik menghindar dari teman-teman karena mungkin kehadiran saya merugikan mereka. Para perwira itu, bila berhubungan dengan saya yang bekas Permesta, jangan-jangan bisa dihantam di surat kabar.

Berapa korban jatuh dalam peristiwa Permesta?

Wah, saya kurang tahu. Tapi, tentara tidak begitu banyak. Kalau ada pengeboman, yang kena kan rakyat.

Dulu Anda menumpas pemberontakan daerah, tapi kemudian memimpin "pemberontakan" juga. Bagaimana perasaan Anda?

Alasannya lain. Tentu tidak enak karena ini kan antarteman-teman sendiri. Bagi teman-teman di Jakarta, ini juga dilema. Seperti yang dialami seorang pemimpin pasukan (penumpas) dari Jakarta ke Minahasa. Dia dicurigai oleh bawahannya hanya karena mengenal saya. Dia belakangan bercerita kepada saya bahwa pikiran kami sebetulnya sama: ada yang tidak beres di pemerintahan pusat. Tapi, karena harus taat kepada Soekarno.?

Dari sejarah, selama ini Soeharto menempatkan Anda tidak pada tempatnya?

Ya, kebijaksanaan semasa Soekarno, yang menyamakan gerakan Permesta dengan DI/TII dan PRRI, terus dilanjutkan di masa Orde Baru. Tapi, sebetulnya kan masing-masing berbeda. Permesta kan tidak pernah mempersoalkan undang-undang.

Soeharto adalah salah satu komandan yang dikirim dari Jakarta untuk menumpas Permesta. Katanya, Anda pernah melabrak Soeharto?

Wah, itu tidak benar. Saya tidak tahu mereka memutarbalikkan cerita itu. Waktu Soeharto berangkat pulang dari Makassar ke Jawa, dia naik satu kapal. Ketika saya datang ke pelabuhan, ada tujuh mobil bekas yang belum dibayar, tapi mau dibawa ke Jawa. Itu tidak boleh. Lantas, saya bilang ke kepala staf saya, mobil itu biar saja nanti dibayar oleh Tentara Teritorium VII setempat. Bilang saja sama Letnan Parman, komandan pelabuhan. Tapi, perintah itu belum sampai ke Parman, datang mobil pertama dan masuk kapal. Parman melarangnya. Soeharto mendengar itu, lalu memukul Parman. Cuma itu saja. Belakangan, tahun 1970-an, ada cerita beredar bahwa saya pernah memukul Soeharto. Bagaimana ini?

Katanya, Anda pernah menolak bintang gerilya?

Saya tidak pernah minta. Buat apa sih minta? Sembilan tahun lalu saya sakit di rumah sakit karena kanker. Bekas ajudan saya, Yogie S.M., berbicara ke Soeharto ketika dia berkunjung ke Bandung. Yogie mengatakan, "Kawilarang sakit keras. Kata orang, dia sudah mau meninggal nih. Kawilarang belum menerima penghargaan bintang gerilya, padahal dia punya nama besar." Jadi, waktu di rumah sakit itu, saya memperoleh bintang gerilya. Saya pernah bilang kepada teman, mungkin kalau saya tidak, saya tidak diberi bintang gerilya, ha-ha-ha?..

Anda katanya enggak mau dimakamkan di Kalibata, Jakarta?

Saya dulu pernah bilang, kalau saya meninggal, saya tidak mau dimakamkan di Kalibata. Sebab, menurut saya, banyak penyeleweng dan koruptor di makam Kalibata. Saya lebih suka dimakamkam di Bogor atau Sukabumi karena waktu perjuangan dulu, rakyat di sana mengenal saya semua.

Ngomong-ngomong, kenapa tidak ada anak-anak Anda yang mengikuti jejak, mengingat Anda militer tulen?

Ketika anak saya Edwin Kawilarang tamat SMA pada 1973 dan kemudian ingin masuk ke Akademi Militer, saya melarangnya. Sebab, militer itu susah.? Kalau menjadi militer yang benar, dia sulit memperoleh uang. (Edwin belakangan menjadi salah satu eksekutif Bimantara Group?Red)

Tapi, kalau jadi tentara, kan bisa jadi presiden?

Ya, sekarang, kalau menjilat-jilat, ya, baru bisa. Jadi, kalau sudah bertekad menjadi tentara, ya, jadilah tentara yang benar.

Memang ada tentara yang benar dan yang tidak benar?

Ha-ha-ha. Mau mancing-mancing saya? Tugas sebagai tentara, ya, harus vox populi vox dei, menghormati suara rakyat sama dengan suara Tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus