Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

'Koalisi Megawati dan Saya Lebih Realistis'

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari Minggu yang dini. Matahari belum siap "bertugas" dan tampak masih malas membangunkan warga Jakarta yang nyenyak didera kelelahan. Tapi Amien Rais telah sibuk merogoh kantong untuk mencari kunci dan membuka pintu kantornya di Jalan Menteng Raya 62. Ia melirik arlojinya dan meminta maaf karena memberikan waktu wawancara sedini itu kepada wartawan Tempo. Pagi itu, ya sepagi itu, jadwal Amien memang luar biasa padat. Dia sudah ditunggu oleh kelompok Walubi yang ingin bersilaturahmi di kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah itu. Kemudian, Amien siap terbang ke Yogyakarta. Secara otomatis, ia memilih sebuah kursi yang diapit oleh dua bendera: bendera Merah Putih dan Muhammadiyah, disaksikan lukisan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Secara otomatis pula dia menjawab pertanyaan-pertanyaan Tempo dengan jawaban yang cerdas, lancar, dan komprehensif.

Meski Partai Amanat Nasional (PAN) mempunyai departemen hubungan masyarakat (humas), agaknya sang Ketua telah melakukan pekerjaan itu dengan baik karena Amien bisa berbicara tentang PAN tanpa mengesankan sebuah propaganda yang menjengkelkan. Bahkan, ia mengakui dengan rendah hati kemampuan finansial PAN yang terbatas, sehingga, "PAN belum seperti Majalah Tempo, yang sudah bisa melakukan jajak pendapat. Namun, kami mempunyai rencana untuk bikin polling agar tahu kekuatan PAN," ujarnya bergurau ketika ditanya mengapa partainya tidak melakukan sebuah jajak pendapat.

Seandainya benar ia akan menjadi Presiden RI keempat, Indonesia--untuk pertama kalinya--akan memiliki seorang presiden yang sangat fasih berbicara dan cerdas menghadapi publik. Tentu bukan hanya itu modal Amien ketika untuk pertama kalinya ia menyentak Indonesia dengan pernyataan kesediaan dicalonkan sebagai Presiden Indonesia tahun 1998-2003, saat ia didaulat dalam diskusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), September 1997. Selain ia juga seorang cendekiawan, ia seorang pemimpin umat yang memiliki akar yang mengaku pernah "berguru" kepada Mohammad Natsir--pendiri dan ketua Partai Masyumi yang terakhir.

Lahir di Solo, 26 April 1944, Amien Rais mengaku semula bercita-cita menjadi wali kota. Adalah ibunya yang menginginkan dia menjadi kiai. Ternyata, setelah menyusuri pendidikan dasar dan menengahnya di Muhammadiyah Solo dan kuliah di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Amien lebih dikenal sebagai ahli politik Timur Tengah karena tesis doktornya di Universitas Chicago melakukan studi tentang The Moslem Brotherhood in Egypt. Bersama Nurcholish Madjid dan Syafi`i Ma`arif (kini Ketua Umum PP Muhammadiyah), Amien menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Chicago. Ini sebuah fenomena baru bagi kalangan muda Islam waktu itu, yang biasanya mengambil pendidikan di lembaga tradisional semacam pesantren atau di kampus negara-negara Timur Tengah. Pada saat itu, ceramahnya kerap menghantam rezim pemerintahan ketika itu, yang menurut dia sangat tidak bersahabat dengan dunia Islam.

Setelah menjadi pengkritik pemerintah yang cukup tajam, Amien memasuki fase "bulan madu" dengan rezim. Pada 1990, kala ICMI berdiri, pria ini duduk sebagai ketua dewan pakar, yang menjadikannya dekat dengan Ketua Umum ICMI dan Menteri Negara Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie. Tapi "bulan madu" itu tidak menghalanginya untuk bersuara lantang. Pada 1993, kala Sidang Tanwir Muhammadiyah, dosen Hubungan Internasional UGM itu kembali menembus tabu politik di Indonesia. Gagasannya tentang suksesi mengentakkan publik karena ia melontarkannya ketika Soeharto, presiden saat itu, masih memiliki daya cengkeram yang luar biasa kukuh.

Sewaktu kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, kevokalan Amien tak lantas berhenti--tak hanya soal politik, tapi juga ke masalah ekonomi dan pembagian rezeki nasional. Kasus Chandra Asri, Busang, dan Freeport menjadi sorotan yang membuat para penguasa tak nyaman. Hasilnya adalah sebuah kenyataan: Amien Rais terpental dari jabatan Ketua Dewan Pakar ICMI.

Ketika gerakan reformasi mencapai puncaknya Mei lalu, gedung ini sarat dengan hilir-mudiknya para aktivis gerakan prodemokrasi. Terutama di ruang kantornya di lantai dua, Amien Rais kerap menerima kedatangan kawan seperjuangan. Ada yang berkunjung untuk berkonsultasi tentang pola gerakan yang akan dipilih, ada yang menyampaikan satu-dua patah informasi, dan ada yang menunjukkan dukungan kepada gerakan yang dipimpinnya. Tak kurang dari tokoh seperti Nurcholish Madjid, Malik Fadjar, dan Albert Hasibuan datang berkunjung ke tempat itu. Semua dengan satu tema: menjatuhkan Soeharto. Berbagai konferensi pers di gelar di tempat itu. Salah satunya adalah tentang pembentukan Mara, Majelis Amanat Rakyat, yang menjadi cikal-bakal pembentukan PAN. Rapat akbar yang digagasnya 20 Mei 1998 lalu memang gagal, tercegah oleh sisa ambisi Soeharto. Tapi, 24 jam kemudian, penguasa Indonesia selama 32 tahun itu tumbang. Dan Amien menjadi simbol kemenangan reformasi. Kini, setelah mendirikan sebuah partai inklusif dan majemuk bernama PAN, Amien memulai sebuah fase baru dalam perjalanan politiknya. Dalam Rapat Kerja Nasional PAN di Bandung, Desember silam, salah satu keputusan yang dikeluarkan adalah PAN resmi mencalonkan Amien Rais sebagai presiden. Mungkinkah ia menang dalam pemilu, melihat dukungan terhadap PDI dan Megawati begitu kuat?

Dalam dua kali pertemuan--karena kesibukannya yang makin bertambah--Amien menjawab pertanyaan Leila S. Chudori dan Hardy R. Hermawan dari TEMPO. Berikut ini petikan wawancaranya.


Apa tanggapan Anda tentang manuver Gus Dur yang mendatangi mantan presiden dan menawarkan dialog nasional?

Saya tidak setuju dengan manuver Abdurrahman Wahid, yang mendatangi Soeharto dan menawarkan dialog nasional. Bagi saya, itu ada substansi untuk membawa kembali Soeharto ke pentas politik nasional. Itu berbahaya sekali. Sebab, kita tahu, Soeharto di masa lalu adalah lokomotif KKN dengan gerbong yang sangat panjang. Jadi, itu akan sangat berbahaya. Tapi saya setuju kalau dialog nasional diadakan oleh kampus-kampus besar seperti UGM, UI, ITB, ITS, dan Unair.
Manuver itu sudah tipikalnya Gus Dur. Saya khawatir, dia tak tahu secara pasti dengan apa yang dia inginkan. Saya mengartikan ini ibarat pertunjukan wayang kulit. Apa pun temanya, dalam wayang kulit selalu ada babak goro-goro. Selalu ada session di mana Buto Cakil, Buto Terong, Buto Rambut Geni, dan Buto Galiuk menyegarkan malam yang sudah larut. Dalam tafsiran saya, Gus Dur itu seperti membuat goro-goro saja karena mencampurkan Habibie, Wiranto, Soeharto, ditambah Abdurrahman Wahid. Itu seperti mencampurkan aktor-aktor dalam satu kubu yang pro-status quo, dan pasti akan ditentang sebagian besar rakyat Indonesia. Karena itu, sekalipun saya punya kode etik bahwa sesama pemimpin umat tak boleh saling mengkritik, untuk kali ini saya terpaksa memberikan komentar bahwa langkah-langkah dia, sekalipun katanya untuk menghindari revolusi sosial, sudah di luar kerangkanya.

Mengapa perseteruan diam-diam antara NU dan Muhammadiyah yang sudah berlangsung seabad itu belum juga selesai?

Pertama, apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid tidak selalu representatif mewakili NU. Jadi, kalau saya mengkritik Abdurrahman Wahid, itu tidak sama sekali berarti saya mengkritik NU. Saya sering ke Jawa Timur, keluar masuk pesantren, memberikan ceramah. Ternyata, banyak kiai NU yang mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Gus Dur. Mengenai perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, saya setuju dengan keterangan almarhum Subchan Z.E. (tokoh NU di awal Orde Baru yang berpikiran kritis sejak 1970-an--Red.). Dia mengatakan, sesungguhnya perbedaan NU-Muhammadiyah terutama bukan pada akidah, bukan pada masalah perbedaan ritualisme. Sesungguhnya memang ringan saja, yakni masalah (doa) Qunut, selawatan, tahlilan, haul, manakiban, atau barzanjen. Selain itu, semuanya sama. Saya juga sering memberikan ceramah dan khotbah Jumat di Masjid As-Shabar, masjid NU di Jawa Barat, tanpa ada keberatan apa pun, seperti juga banyak orang NU yang Jumatan di masjid Muhammadiyah tanpa ada keberatan apa pun.
Sesungguhnya, di level akar rumput, kerja sama NU-Muhammadiyah juga sudah makin intensif, terutama di Ja-Teng dan Ja-Tim. Hanya, memang ada satu-dua pemimpin NU dan Muhammadiyah yang berbeda dalam melihat politik. Menurut saya, tradisi Muhammadiyah atau khususnya tradisi Masyumi ingin share dalam kepemimpinan nasional, bukan sekadar makmum atau pengikut. Tapi, mungkin, sebagian kalangan NU itu berpikirnya, asal sudah diikutsertakan dalam kekuasaan, itu sudah lebih dari cukup. Menurut saya, tradisi kepemimpinan yang benar adalah untuk ikut dalam power sharing (pembagian kekuasaan), ikut dalam leadership sharing, dan tidak hanya sekadar nunut urip. Tapi saya melihat jelas sekali bahwa di kalangan NU yang muda terdapat perubahan sikap mental yang sangat progresif. Orang seperti Ulil Abshar Abdalla, atau Ahmad Sahal, atau Masdar F. Mas'udi sudah lain dengan seniornya. Istilah Nurcholish Madjid, mereka itu sudah keluar dari terowongan. Nah, dari fenomena itu, nantinya Muhammadiyah dan NU akan mengalami konvergensi dan bertemu pada satu muara, sehingga perbedaan yang makin tipis itu akan segera hilang.

Ketika Anda mendirikan dan memimpin PAN, yang tak berasaskan Islam, Anda punya risiko dianggap berkhianat kepada kalangan Islam. Padahal, belum tentu juga Anda akan diterima sepenuhnya oleh kalangan non-Islam. Mengapa Anda berani mengambil risiko ini?

Dalam bahasa agama, ini dinamakan ijtihad politik. Ijtihad itu lebih serius dan lebih berbobot dibandingkan dengan eksperimen. Sebab, ijtihad mengandung tanggung jawab moral yang sangat besar. Dalam paradigma Islam, orang berijtihad itu tak pernah akan rugi. Sebab, kalau ijtihadnya benar, pahalanya dua. Dan kalau keliru, pahalanya satu. Nah, teman-teman inspirator PAN ingin mencari suatu breakthrough bahwa PAN adalah sebuah partai dengan wajah Indonesia, wajah yang majemuk, yang bersumberkan pada moral keagamaan dan kemanusiaan. Tapi, risikonya, itu adalah sesuatu yang baru. Seorang tokoh muslim, seorang santri jekek (militan--Red.), bergabung dengan kalangan nonmuslim, kalangan Tionghoa, Kristen Protestan, Katolik, juga Hindu dan Buddha. Buat teman-teman muslim yang berpikir lebih luas, itu bukan halangan. Tapi, saya juga bisa paham, sementara teman yang memang berpikirnya lebih fiqih oriented merasa keberatan. Bila diingat bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, dan dalam muamalah makna pergaulan sesama manusia, sesama anak-cucu Adam, muslim boleh bekerja sama membangun masyarakat dengan anggota masyarakat lain yang nonmuslim, maka itu menjadi tak masalah sama sekali.
Selama ini, ada keanehan dalam cara berpikir sementara rekan saya sendiri. Mereka memperbolehkan kita bersama-sama dengan nonmuslim dalam menjalankan kehidupan bernegara dan kehidupan berekonomi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Tapi, dalam kehidupan berpartai ada yang nonmuslimnya, kok, tiba-tiba menjadi tidak boleh. Saya punya kesulitan untuk memberikan pemahaman masalah ini.

Mengingat reputasi dan ketokohan Anda selama ini, bukankah lebih mudah bagi Anda untuk membuat partai dengan asas Islam? Apalagi, sejak reformasi, tokoh-tokoh Islam seperti Ahmad Soemargono atau yang lain lebih leluasa muncul. Bagaimana?

Ya, memang, terus terang, saya pernah berpikir untuk bergabung dengan Partai Bulan Bintang dan saya pernah berpikir bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan. Dua-duanya adalah partai Islam. Tapi, di samping penerimaan mereka yang masih ada reservenya, saya juga kemudian berpikir lebih jauh. Kalau saya bergabung dengan partai Islam, saya hanya akan mendapatkan captive market (pemilih tetap--Red.) meski captive market saya bisa juga besar. Kalau saya hanya mengulang meraih captive market, kita akan kembali ke politik aliran seperti tahun 1950-an, yang terbukti tidak produktif, sementara kita mau membuka halaman baru sejarah bangsa ini. Memang ada orang yang menakut-nakuti saya, kalau saya mendapatkan pengikut satu orang Tionghoa dan dua umat Nasrani, saya akan kehilangan pengikut 10 muslim dan 20 muslimah. Namun, setelah saya melihat deklarasi PAN di mana-mana, ternyata kehadiran masyarakat muslim itu berjubel. Tapi, untuk membuktikannya, kita lihat setelah pemilu nanti.

Meski Anda menyatakan pendukung PAN banyak sekali, kami punya kesan bahwa PDI Mega yang akan muncul sebagai pemenang utama. Bagaimana Anda melihat kemungkinan itu?

Kalau melihat posko PDI yang setiap kilometer ada di sepanjang jalan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, itu memang mendorong kita untuk meloncat pada kesimpulan bahwa PDI partai yang sangat besar. Tapi, jangan lupa, penampilan-penampilan yang bersifat kampanye seperti itu belum tentu berkorelasi positif sebagai kekuatan riil sebuah partai. PDI Megawati akan masuk ke empat atau lima partai terbesar, tapi belum tentu dia akan menjadi yang terbesar. Silent majority tak bisa dipandang enteng. Mereka yang turun ke jalan tak pernah melebihi tujuh persen dari masyarakat riil yang ada.

PAN meminta jatah ABRI di DPR 15 kursi. Padahal, mahasiswa meminta tak ada lagi ABRI berpolitik. Apa latar belakang keputusan PAN itu?

Memang, keputusan itu diambil dengan berat, tapi kita harus realistis. Maunya, ABRI tidak usah lagi turut serta dalam kehidupan sosial politik kita. Namun, ABRI itu juga manusia seperti kita, yang punya kepentingan. Di tengah hujatan kepada ABRI yang demikian dahsyat dan frontal itu, jika peran ABRI dinolkan, saya khawatir muncul ketegangan yang tidak perlu. Kalau misalnya ABRI kita beri 15 kursi, itu akan menjadi jalan tengah yang menyenangkan kedua belah pihak. Kalau kita mau empati kepada ABRI, kita kan tahu, mereka mintanya 55 atau paling tidak 40. Jadi, ini barangkali semacam kompromi terbaik. Istilah mutlak-mutlakan itu juga tidak terlalu baik.

Anda yang menggeluti konsep Ikhwanul Muslimin. Apakah dalam tindak politik Anda saat ini konsep itu juga dilontarkan?

Begini, sahabat saya, Ir. A.M. Luthfie, salah seorang ketua PAN, pada minggu pertama kelahiran PAN berkata kepada saya, "Bung Amin, di luar, banyak orang melihat fenomena yang menarik. Dulu, ketika Syafrudin Prawiranegara masuk ke Masyumi, orang berkomentar dia adalah orang PSI yang masuk ke Masyumi. Nah, Amien Rais dianggap sebagai orang Masyumi yang masuk ke PSI." Saya terperangah dengan kata-kata ini. Sebab, saya tak bisa mengingkari, saya seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Masyumi, dan sampai sekarang saya masih pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), ikut Dr. Anwar Harjono. Kemudian, Keluarga Bulan Bintang, terutama yang tua-tua, sebagian besar masih menganggap saya sebagai kader. Saya tak pernah juga mengingkari, ketika saya pulang dari Chicago pada 1980-an itu, saya banyak memberikan ceramah dari materi yang saya pelajari di Mesir dan saya renungkan di Amerika. Namun, jangan lupa, pada 1981, saya sudah menulis sebuah artikel tentang pemikiran saya bahwa tidak ada negara Islam di Indonesia. Kemudian, Nurcholish Madjid membuat korespondensi dengan Mohammad Roem tentang tulisan saya itu, dan sekarang sudah diterbitkan sebagai buku.
Pada 1981, ketika saya pulang dari Amerika, saya sudah mengatakan konsep Islamic state tidak cocok untuk konteks Indonesia, tapi mungkin cocok untuk konteks Mesir, Pakistan, atau Libya. Saat itu, saya sudah menyadari bahwa kemajemukan bangsa kita itu dari segi latar belakang ras, suku, etnik, agama, dan tradisi adalah suatu kenyataan hidup yang tak bisa kita elakkan. Jadi, sejak awal 1980-an, cara berpikir saya tentang negara Indonesia memang dilandaskan pada keyakinan bahwa Indonesia hanya bisa survive dan tahan bantingan zaman kalau tetap setia kepada ke-bhinneka-tunggal-ika-an itu. Kalau dari segi itu, saya insya Allah akan konsekuen. Tapi saya juga tidak ingin mengulang sejarah. Pada 1980-an itu, memang saya sempat mengalami trauma juga karena Soeharto melakukan pemojokan terhadap umat Islam, sehingga dia lebih memberikan porsi kekuasaan kepada non-Islam secara agak berlebihan.

Apa contoh sikap Soeharto yang memberikan porsi kekuasaan kepada non-Islam secara agak berlebihan?

Contohnya, pada kabinet di era Soeharto, pernah ada 9 sampai 10 orang menteri umat Kristen. Yang kemudian bisa dimaklumi, ini menohok rasa keadilan umat Islam. Saya, pada saat baru pulang ke Indonesia, diberi tahu oleh teman-teman saya tentang kondisi ini. Dan saya akui, itu cukup mempengaruhi langkah saya saat itu.

Kalau orang-orang itu, apa pun agama, suku, dan gendernya, memang ahli di bidangnya, mengapa tidak?

Pada dasarnya, saya percaya pada dua hal, demokrasi dan meritokrasi. Jadi, kalau pertanyaannya jika nonmuslim mampu, mengapa tidak? Tapi muncul juga pertanyaan lain: kalau memang muslim mampu, mengapa tidak? Karena itu, sejak 1994-1995, saya sudah mengukir sebuah istilah bahwa Indonesia hanya akan selamat dan berjaya jika pemimpin nasionalnya merupakan sebuah tim yang mencerminkan koalisi yang besar dan bersih, clean and grand coalition. Negara sebesar Indonesia, dengan persoalan nasional yang sedemikian berat, tidak mungkin ditopang dan dipikul oleh satu kelompok kekuatan politik saja.

Untuk menghadapi kekuatan Golkar yang cukup lumayan, apakah Anda melihat ada kemungkinan koalisi dengan PDI Mega?

Ketika saya melontarkan gagasan koalisi Amien-Mega, itu bukan untuk konsumsi politik sementara, tapi ada substansinya. Sebab, biasanya, yang namanya koalisi terdiri atas pilar-pilar bangsa yang lebih banyak perbedaannya, baik nuansa maupun letaknya. Kalau saya berkoalisi dengan Yusril atau dengan Deliar Noer, akan muncul kesan sama-sama Islam modernis dan sama-sama satu kubu sehingga yang muncul adalah koalisi satu pihak. Sebab, Indonesia yang besar ini tidak bisa disangga dengan satu pilar. Tapi, kalau saya berkoalisasi dengan Megawati, itu lebih realistis karena ada dua pilar menyangga negara yang besar ini. Memang, saya tahu, secara ideologis, orang akan mengkritik koalisi Amien-Mega, termasuk dari kalangan saya sendiri. Tapi, dilihat dari politik riil, itu yang paling baik.

Kalaupun koalisi itu terjadi, bagaimana bentuknya?

Maksud Anda, siapa yang nomor satu? Menurut saya, saya yang nomor satu.

Dalam pandangan Anda, sebenarnya bagaimana sosok Megawati sebagai salah seorang calon pemimpin nasional?

Menurut saya, Mbak Mega masih harus terus belajar, tapi harus dengan proses yang cepat, untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa menunjukan independensinya. Ia bisa melakukan pemilihan terhadap berbagai alternatif kebijakan secara independen dan tidak usah terlalu bergantung pada para penasihatnya.

Ada sebagian kalangan Islam menyatakan kekuatan nonmuslim masih berupaya mencari jalan merebut kekuasaan. Dan tokoh yang menjadi musuh Islam itu disebut-sebut, masih, Benny Moerdani dengan segala pengaruhnya. Pendapat Anda?

Saya ingin lebih jernih melihat persoalannya. Menurut saya, di Indonesia ini, sekali seorang pemimpin keluar dari lingkaran kekuasaan, dia tidak pernah bisa kembali lagi. Pengaruh kekuasaannya akan mengalami kemerosotan yang sangat drastis dan dramatis. Jadi, tentu Benny sekarang dan Benny yang dulu amat sangat berbeda. Benny sekarang menjadi warga negara biasa, yang diawasi oleh negara. Sulit dibayangkan jika Benny masih bisa menentukan merah birunya Indonesia.
Nah, kalau sekarang lantas dimunculkan huru-hara yang bermuatan SARA, saya yakin itu sangat artifisial. Selama kita hidup merdeka, 50 tahun lebih, tak pernah konflik antarumat beragama itu sekeras dan seintensif sekarang. Ini jelas ada pemasang skenarionya. Sespontan-spontannya rakyat, saya yakin, tak bisa melakukan kerusuhan secara sistematis seperti itu. Apalagi daya rusaknya juga sangat hebat. Peristiwa di Solo dan Jakarta itu jelas sangat well-planned dan well-managed.

Apakah Anda melihat gerakan Ikhwanul Muslimin sudah muncul di Indonesia dan turut terlibat sebagai kekuatan politik tertentu? Misalnya, Partai Keadilan itu bagaimana? Dan bagaimana Anda melihat fenomena KISDI dan Ahmad Soemargono?

Memang, di dunia mana pun, fundamentalisme itu ada. Ada fundamentalisme Yahudi, fundamentalisme Hindu, fundamentalisme Kristen. Dalam Islam, mungkin yang disebut fundamentalisme itu adalah kelompok masyarakat Islam yng memegang agamanya secara normatif dan sangat tekstual. Mereka tidak menghendaki adanya reinterpretasi dan tidak menginterpretasikan ajaran agama dengan kehidupan masyarakat modern. Sementara itu, semestinya agama Islam jelas untuk setiap pemeluknya selalu melakukan reinterpretasi.
Apakah di Indonesia sudah ada kelompok yang mirip Al ikhwan al muslimin? Saya kira ada, tapi sedikit sekali. Islam di Indonesia, main stream-nya itu moderat. Kalau pola Partai Keadilan, tidak persis (Ikhwanul Muslimin). Yang jelas, teman-teman di PK itu mengonfrontasikan ajaran Islam dengan konteks Indonesia. Dan itu berbeda dengan negara-negara Islam atau negara Arab yang lain. Sementara itu, fenomena KISDI dan Ahmad Soemargono memang merupakan sesuatu yang khas, tapi tetap biasa. Saya kenal baik dengan Ahmad Soemargono. Saya sering diundang ceramah di Al Azhar. Menurut saya, dia tidak berbahaya karena kevokalannya itu tak mungkin menyulap masyarakat main stream--yang moderat--menjadi seperti dia.

Menurut Anda, bagaimana mengatasi kerusuhan berbau SARA yang akhir-akhir ini terjadi, seperti peristiwa di Kupang dan Ketapang?

Itu agak lain. Saya kira, kita harus mengakui, di daerah Kupang memang ada kantong-kantong Kristen fundamentalis. Tapi, seperti yang pernah diungkapkan pada waktu saya berangkat ke Amerika bersama tokoh Nasrani, aparat kemanan juga tak serius dalam menangani hal itu. Mereka selalu saja terlambat. Padahal, kalau mencegah aksi mahasiswa, mereka selalu gesit. Pandangan kami tentang kerusuhan di Probolinggo hingga pembakaran bermacam-macam gereja ternyata sama. Itu semua ada dua akar masalahnya. Pertama, kesenjangan sosial yang sangat mendalam. Kedua, kondisi rakyat itu yang mirip rumput kering, yang mudah terbakar. Untuk yang kedua ini, mungkin kesalahan politik Orde Baru. Yang jelas, kesalahan politik Soeharto dan Habibie juga bahwa selalu terjadi keterlambatan yang tidak masuk akal dalam menangani masalah tersebut. Makanya, menurut saya, pemerintah memikul dosa politik dan dosa moral. Sebab, sudah sekian lama perusakan rumah ibadah berlangsung dengan pola dan teknik yang sama, tapi itu tak pernah membuat aparat kemanan menjadi lebih pandai. Saya khawatir karena kerusakan itu sangat sistematis, berlangsung mendadak, dalam rentang yang lebih luas, rapi, dan seragam.

Bagaimana pandangan Anda tentang ICMI saat ini? Apa masih bisa dipandang sebagai kekuatan kelompok Islam?

ICMI itu adalah suatu toko serba ada yang sangat heterogen. Spektrum keanggotaannya terdiri dari santri yang sangat taat sampai orang Islam yang mungkin sembahyangnya hanya sekali--ketika pergi ke masjid untuk salat Jumat. Tapi, yang menarik, karena heterogenitasnya, ICMI tidak akan jatuh menjadi organisasi yang menjalankan radikalisme atau fundamentalisme. Jadi, tolak tarik berbagai elemen dalam tubuh ICMI itu menyebabkan setiap kebijakan dari ICMI itu sifatnya setengah bias.

Mengapa Anda dulu bersedia terlibat di dalamnya, padahal kelompok ini identik dengan pusat kekuasaan?

Waktu itu, kami tak pernah mengesankan ICMI akan menjadi kendaraan politik bagi seseorang. Malah, waktu itu, justru saya dan teman-teman merasa excited karena ICMI akan lahir. Sebelumnya, berkali-kali kami ingin membentuk organisasi yang tidak terlalu kaku yang mewadahi kaum intelektual muslim di negara ini, tapi aparat keamanan selalu menghalangi dan bahkan membubarkan kami. Pada waktu tahun 1987, keinginan kami selalu tak terlaksana karena Benny Moerdani selalu menghalangi secara tegas.
Sekitar tahun 1987, teman-teman yang hanya berkumpul saja digerebek aparat kemanan. Para doktor dan para profesor dipermalukan dengan digelandang oleh aparat keamanan yang berpangkat sersan, dengan alasan tak ada izin. Malah, kelahiran ICMI saja saya nilai sangat dramatis. Tapi Benny Moerdani saat itu akhirnya tunduk kepada bosnya, Soeharto, yang memang bertujuan memanfaatkan ICMI. Sebelumnya, kondisi seperti ini hampir tidak mungkin.

Kenapa Anda begitu yakin bahwa itu adalah kerjanya Benny? Apakah saat itu upaya menghalangi ICMI dilakukan Benny secara terbuka?

Oh, sangat terbuka. Pada saat awal pendiriannya di tahun 1990, Benny sempat menekan aparat keamanan di Jawa Timur dan kepala kepolisian daerah (kapolda)-nya untuk menggagalkan pembentukan ICMI. Namun, saat itu Kepolisian RI mengizinkan, berhubung Soeharto mau datang dan mau memberikan sambutan di pembukaan.

Mengapa Anda akhirnya berhenti dari ICMI?

Ya, karena itu sudah berlalu, bisa saya kemukakan ceritanya. Begini, ketika (Menteri Negara Riset dan Teknologi saat itu) Habibie di Jerman, menunggui istrinya yang akan dioperasi jantung, ada seorang pejabat yang menyuplai bahan-bahan kepada Soeharto. Bahan itu dikumpulkan dari tulisan saya, pidato saya, dan kliping koran yang disusun sedemikian rupa sehingga hanya menampilkan sisi saya yang sangat berani terhadap Pak Harto. Kalau saja bahan-bahan itu dibuat secara seimbang, mungkin Soeharto tak akan semarah itu. Pada waktu itulah Jaksa Agung Singgih--atas perintah Soeharto--memanggil saya ke Kejaksaan Agung di Jakarta dengan tuduhan subversi.
Tapi, akhirnya, saya tidak dipanggil ke Jakarta. Sebuah tim dari Kejaksaan Agung dikirim ke Yogyakarta untuk menanyai saya. Selanjutnya, tim Kejaksaan Agung itu menanyai saya. Setiap jawaban dicatat. Namun, bentuknya bukan berita acara pemeriksaan (BAP), melainkan berita acara wawancara (BAW). Pertanyaan terakhir itu adalah apakah saya mau minta maaf kepada Soeharto. Jawaban saya, "Saya akan mempertahankan seluruh ucapan saya di berbagai media dan koran karena saya tak merasa bersalah." Reaksi pihak tim kejaksaan itu, "Pak Amien, kalau begitu, kami berat untuk pulang ke Jakarta. Gimana jalan tengahnya supaya kami bisa pulang ke Jakarta dan tak perlu ke sini lagi?" Akhirnya, saya katakan, "Sudah, begini saja. Saya tidak mau menyebut nama Soeharto, tapi secara umum saya mau mengatakan, sebagai seorang beragama, kalau ternyata berbagai pernyataan, ungkapan, dan wawancara yang pernah saya lakukan menyinggung perasaan seseorang, saya minta maaf." Akhirnya, jawaban itu dianggap cukup oleh tim kejaksaan.
Setelah itu, Habibie pulang dari Jerman. Kami bertemu dan dia mengatakan, "Pak Amien, Pak Harto amat sangat marah kepada Anda. Bagaimana baiknya?" Sebagai orang Jawa, saya segera tahu akibatnya kalau saya mengambil jalan konfrontasi dengan Soeharto. Lalu, saya mengatakan, "Begini saja, Pak Habibie. Saya lebih baik mundur saja dari Ketua Dewan Pakar ICMI, dan kepentingan makro ICMI tidak terhambat oleh tindakan saya." Lalu, saya pernah mengatakan kepada Habibie, "Tolong beri tahukan kepada Pak Harto, saya boleh turun dari ICMI, tapi jangan ganggu saya di Muhammadiyah." Nah, waktu itu, seorang sumber yang memberikan cerita yang autentik mengatakan, urusan Muhammadiyah akan langsung ditangani oleh Soeharto.
Tak lama sebelum saya mundur dari ICMI, ada lagi cerita autentik bahwa Soeharto menyuruh seorang menteri memikirkan bagaimana agar saya bisa dilengserkan dari Ketua PP Muhammadyiah. Jadi, benar kiranya isu bahwa Soeharto, kalau sudah memandang seseorang sebagai musuh, sebisa mungkin akan menghabisinya. Dari teman saya di Muhammadiyah, saya tahu ada beberapa orang, di antaranya dari Muhammadiyah, yang diundang rapat oleh sang menteri itu. Mereka membicarakan cara bagaimana saya diturunkan. Tapi kesimpulannya: upaya itu sangat sulit. Orang di Muhammadiyah tidak punya potongan atau jahitan untuk bisa dipengaruhi dari luar untuk berbuat jahat. Pertama, rapat itu mempelajari kemungkinan mengadakan muktamar istimewa untuk menggusur saya, tapi ternyata sangat sulit. Lalu, dicoba kemungkinan sidang tanwir istimewa, yang tingkatnya lebih rendah dari muktamar, tapi juga ternyata sulit. Itu mustahil karena ketua wilayah Muhammadiyah se-Indonesia tidak ada yang mau sepakat dengan cara-cara seperti itu. Dan setelah pertemuan Harmoko itu, karena semuanya sulit, tak ada pertemuan lagi.
Tapi, karena kejadian itu, saya makin geram dengan Soeharto dan merasa yakin kalau dia memang sudah tak layak lagi dipercaya sebagai pemimpin nasional. Dulu, saya dengar cerita autentik, pada waktu sebelum muktamar, Soeharto meminta laporan tentang Muktamar Muhammadiyah kepada seorang pejabat tinggi. Pada saat itu, dia berkata, "Apa harus Amien Rais yang menjadi Ketua Muhammadiyah?" Pejabat tinggi itu hanya mengatakan akan mempelajarinya dulu. Kemudian, dalam laporannya, dinyatakan bahwa upaya mengalahkan Amien Rais sangat sulit karena Amien sangat populer di Muhammadiyah. Hal itu terbukti, sewaktu pemilihan, saya meraih suara yang hampir aklamasi: 98,5 persen mendukung saya. Hanya 1,5 persen yang menolak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus