Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

1999

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan pesimisme atau tidak, tahun 1999 adalah tahun yang dengan sengit akan menemui pertanyaan: di mana gerangan ramalan-ramalan besar? Lima tahun yang lalu, kira-kira, orang ramai bicara tentang "lepas landas". Indonesia yakin akan sebuah teori—oleh Rostow atau Harto—bahwa sebuah negeri miskin, yang berkembang, pada suatu ketika akan mencapai saat mengasyikkan itu. Dalam kasus Indonesia, "lepas landas" itu diperhitungkan akan terjadi di tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi akan mulai bisa memacu dirinya sendiri—ibarat pesawat terbang yang mencapai lapis tertentu di angkasa dan seakan tak punya lagi hubungan fisik dengan bandar berangkat. Maka Soeharto pun memerintahkan agar Indonesia menyiapkan diri untuk sebuah pesta Olimpiade. Habibie merencanakan membuat sebuah kapal udara pancar gas. Sudwikatmono merencanakan membangun menara tertinggi di muka bumi. Para raksasa usaha properti menanam bermiliar rupiah untuk membangun ruang-ruang baru, semacam pertanda dari perhitungan bahwa akan ada kota, atau negeri, tempat orang bisa memelihara harapan. Teori "lepas landas" adalah sebuah ramalan besar untuk sebuah masyarakat yang memilih jalan pasar. Bagi yang memilih jalan di-luar-pasar, katakanlah "sosialisme", ada ramalan besar lain yang juga punya daya pikat yang besar. Indonesia juga pernah ingin memilih ramalan ini. Orang yakin bahwa sebuah negeri miskin yang berkembang akan dapat mengerahkan seluruh kekuatannya apabila seluruh warganya bersatu, seiya, sekata, dan tidak membiarkan sumber-sumber produksinya diambil manfaatnya oleh mereka yang sudah kaya. Kemerdekaan atau kedaulatan politik penting, ibarat sebuah jembatan emas—gilang gemilang, meskipun hanya sebuah jembatan, alat untuk mencapai sesuatu. Maka, Bung Karno, seorang sosialis, memerintahkan berdirinya The New Emerging Forces, dengan organisasi yang akan menyaingi PBB. Rencana dimulai dengan pesta olahraga yang ingin jadi pesaing Olimpiade, "Games of the New Emerging Forces", atau Ganefo, yang pertama kali diadakan di Jakarta di tahun 1963. Di samping itu, ada persiapan membuat bom atom. Sebuah monumen nasional yang paling megah, dengan emas di pucuknya, sudah berdiri. Pelbagai macam usaha ditanamkan di sini karena percaya bahwa kelak, setelah mobilisasi itu, akan lahir masyarakat yang punya produktivitas tinggi dan segala hal akan terpenuhi. Kelangkaan sirna. Ekonomi berakhir. Semua orang bisa dapat apa yang dibutuhkan. Masyarakat akan mengurus dirinya sendiri, dalam sebuah kota, atau negeri, tempat orang bisa memenuhi harapan. Di hari ini kita tahu ramalan-ramalan besar itu patah. Tidak hanya di Indonesia. Dan dengan kecepatan yang makin mengagetkan. Hanya beberapa tahun setelah Tembok Berlin ambruk—lambang gagal dan jebolnya sosialisme—ya, hanya beberapa tahun setelah para ahli merayakan globalisasi, ekonomi tanpa tapal batas dan liberalisasi, kita menyaksikan sesuatu yang juga jebol: gagasan dasar dari liberalisasi itu sendiri. Ada dua hal yang bisa jadi ilustrasi untuk itu. Yang pertama adalah krisis ekonomi di Asia. Yang kedua adalah ambruknya long-term capital management. Musim panas tahun 1998, perusahaan pengelola dana ini merugi sampai $ 4,8 miliar. Tiba-tiba orang sadar, bahwa ada yang salah dengan perdagangan dunia atas dana yang tak lagi bisa dipegang ini. George Soros pun mengejek kaum "fundamentalis pasar": mereka yang percaya bahwa tak diperlukan regulasi apa pun untuk mengatur apa pun, termasuk pasar uang dunia yang dengan mudah diombang-ambingkan oleh hedge funds. Kebebasan penggunaan dana ini begitu rupa hingga ia jadi semacam misteri. Kita tahu dana ini dihimpun dari ratusan ribuan orang atau institusi yang menyerahkan uang mereka ke para pengelola dana profesional. Ia sepenuhnya berada di tangan para ribuan profesional ini. Kian lama dana itu kian menggunung: di tahun 1960-an tak lebih dari dua juta miliar dolar; kini antara $ 200 dan $ 300 miliar. Jumlah ini masih kecil dibandingkan dengan dana-dana lain yang diperdagangkan di pasar dunia, tetapi kapasitasnya untuk dipakai buat mengeruk dana lain, dengan meminjam, jauh lebih dahsyat. Begitu mudah, begitu tak terdeteksi, begitu riskan. Tiba-tiba sebuah perusahaan runtuh dan sebuah perekonomian nasional kandas. Sebab tak ada kewajiban bagi para pengelola hedge funds untuk melaporkan berapa besarnya utang yang mereka tarik dari bank. Ketentuan bank untuk melapor juga tidak demikian ketat. Aturan apa pun seakan-akan musuh bagi kebebasan pasar. Lagi pula, aturan dengan kekuatan birokrasi negeri mana di pasar global itu? Mungkin sebab itu Soros menulis sebuah buku (jangan lupa, dia pernah jadi murid filsafat Karl Popper) The Crisis of Global Capitalism dan mengatakan bahwa "fundamentalisme pasar" itu mungkin merupakan "ancaman yang lebih besar bagi masyarakat terbuka ketimbang pemerintahan totaliter hari ini". Tetapi tentu kita tak bisa mengharapkan Soros memusuhi kapitalisme. Sebagaimana Keynes, ia ingin menyelamatkan kapitalisme dari kesalahannya sendiri. Sebagaimana Keynes, ia menganjurkan intervensi di sana-sini (resep Soros adalah "keterbukaan", disclosure). Ia juga tak memberi ramalan besar untuk waktu masa depan yang jauh. Di masa depan yang jauh itu "kita semua akan mati", seperti kata Keynes yang termasyhur—bukan dengan pesimisme, tapi dengan pragmatisme. Akankah pragmatisme jadi jalan terbaik? Bisakah pragmatisme mengilhami kita dengan harapan? Baru-baru ini seseorang menulis tentang William James, pemikir pragmatis utama itu: "Ia menciptakan sebuah filsafat harapan yang dengan jelas didasarkan atas premis yang mengerti bahwa akhirnya tidak ada alasan untuk harapan." Tanpa alasan berharap, tanpa alasan bertindak? Nanti dulu. Barangkali penulis Wedatama seorang pragmatis yang layak didengar kembali, untuk menampik pasivisme: "Ngelmu kuwi kalakone kanti laku." Memahami hidup bisa mungkin karena kita menjalani hidup. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus