Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Selama Delapan Tahun, Saya Kenyang Diintimidasi''

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

"Selama Delapan Tahun, Saya Kenyang Diintimidasi''
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Setiap dokter seakan dilahirkan dengan bakat menyimpan diam-diam berbagai perasaan di dalam hati. Juga Mahar Mardjono, kecuali barangkali untuk satu soal: cintanya kepada almamaternya, Universitas Indonesia. Dalam hal ini, Mahar sepertinya tak pernah berhasil memendam rasa. ''Saya heran, banyak alumni UI yang sudah menjadi menteri dan pejabat tinggi tidak membela kampusnya di masa susah hanya karena takut dipecat," ujarnya dengan masygul suatu ketika. Mahar memimpin Universitas Indonesia selama dua periode, 1973-1982. Itulah masa penuh pergolakan, mengiringi tahun-tahun menjelang berakhirnya ''kebebasan kampus". Banyak peristiwa terjadi dalam periode itu. Pada 1974, misalnya, pecah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari)—kerusuhan yang menyusul demo besar menyambut kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakue Tanaka ke Indonesia. Jakarta geger. Semua mata terarah ke Salemba, tempat aktivis mahasiswa UI dituduh menjadi dalang. Hariman Siregar, antara lain, masuk bui. Empat tahun kemudian, lembaga dewan mahasiswa dihapuskan dari kampus-kampus. Hati Mahar rusuh memikirkan semua itu. ''Apa yang salah bila mahasiswa diberi kebebasan berbicara apa saja, termasuk ketidakadilan, demokrasi, dan politik, di dalam pagar-pagar kampus?" Seakan belum cukup itu semua, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef kemudian muncul dengan program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), yang melarang mahasiswa melakukan kegiatan politik—dan mahasiswa cukup berkonsentrasi pada soal-soal keilmuan. Ayah tiga anak ini kerap berhadapan dengan pihak penguasa dan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Ia diteror kanan-kiri, dikirimi surat kaleng, dan menerima telepon gelap. Rumahnya ditempeli poster yang menuduhnya anggota PKI. Dan di kampus, ia harus menghadapi banyak soal: dari bujet terbatas hingga para kolega yang sulit memahami sikapnya yang sering tak berkompromi dalam hal-hal prinsipiil. Mahar mengakui, ia sering dilanda kesepian di tengah kampusnya sendiri. Tentu saja selalu ada saat-saat menyenangkan: berbicara dari hati ke hati dengan mahasiswa, menemukan dosen-dosen muda yang progresif dan peduli, serta mengajarkan sikap disiplin dan demokratis—yang menurut dia harus dimulai dengan hal-hal kecil—kepada siapa pun dalam lingkungan kampus. Mahar lahir di Semarang, 8 Januari 1923, dan dibesarkan di Pare, Jawa Timur. Sejak kecil, anak kedua dari empat bersaudara ini bercita-cita mengikuti jejak ayahnya, Mardjono Martosoedirdjo, menjadi dokter. Ia lulus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 1952. Spesialisasi neurologi ia selesaikan di Universitas California, San Francisco, tiga tahun kemudian. Gelar doktor diraihnya di UI pada 1963. Guru besar neurologi FKUI (1958-1969) ini adalah pendiri Perkumpulan Ahli Neurologi, Psikiatri, dan Bedah Saraf (1962). Di sela-sela itu, ia menjadi Ketua Konsorsium Ilmu-Ilmu Kesehatan (1985-2988) serta anggota World Federation of Neurology. Ia juga anggota tim dokter untuk dua presiden—Soekarno dan Soeharto—serta pernah memimpin Ikatan Dokter Indonesia (1982-1985). Riwayat Mahar boleh jadi bukan riwayat berwarna-warni. Namun, dalam jalur yang ''sempit"—menjadi dokter semata-mata—ayah tiga anak ini mengembangkan diri seluas mungkin. Keberhasilannya sebagai ilmuwan didukung oleh kehidupan pribadi yang tenang. Pernikahannya dengan Sri Djati melahirkan tiga anak, Ari Indrayono, Ira Indrayati, dan Adi Indrayanto, yang telah memberinya empat cucu. Sampai hari ini, Mahar masih berkantor di lantai dua Bagian Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta. ''Saraf otak manusia harus dirangsang terus-menerus dengan berbagai kegiatan: bekerja, membaca, berkebun, menyetir mobil, atau mengisi teka-teka silang," ujarnya saat memberikan wawancara kepada wartawan TEMPO Andari Karina Anom, Wicaksono, Hermien Y. Kleden, dan fotografer Donny Metri, pekan lalu. Meski usianya sudah melewati 76 tahun, ia tak punya kesulitan menguraikan pikiran dan ingatan dengan jernih, termasuk mengenai berbagai peristiwa di masa-masa yang sudah. Petikannya:

Sudah berapa lama Anda berada di kampus ini?

Dihitung dari waktu kuliah, mestinya sudah 50 tahun lebih. Sewaktu saya kuliah di Geneenskundige Hooge School, Jakarta, bahasa pengantarnya masih Belanda. Saya sempat memberikan asistensi dalam bahasa Belanda. Di zaman Jepang, saya melanjutkan pendidikan ke Ika Daigaku, kemudian meneruskan di Fakultas Kedokteran UI, dan selesai tahun 1952.

Wah, 50 tahun adalah masa yang panjang. Anda mestinya sangat mencintai almamater?

Barangkali mencintai dalam arti menginginkan UI menjadi lembaga perguruan tinggi yang netral tapi juga punya kepedulian sosial. Dia harus bisa memperhatikan semua masalah di masyarakat yang tidak sesuai dengan pandangan demokrasi. Dalam hal ini, saya agak idealistis karena ternyata sebagian mahasiswa tidak tahu apa itu arti demokrasi.

Dan Anda menjelaskannya kepada mereka?

Saya berbicara dalam contoh. Salah satunya dengan membuat rule of conduct antara mahasiswa dan dosen. Jika terjadi apa-apa, mereka sendiri yang bikin aturan itu. Tapi waktu itu ada juga kekuatan luar yang ingin menggunakan mahasiswa.

Kekuatan luar ini maksudnya siapa?

Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo. Dua-duanya mau mempengaruhi mahasiswa. Mereka pikir, karena tidak menonjol, saya bisa dipermainkan. Ali Moertopo menyuruh saya datang menghadap. Saya bilang sama orang suruhannya Ali, kalau dia perlu, dia yang datang ke saya, bukan sebaliknya. Sejak itu, saya, juga mahasiwa, terus dihantam. Kan, mahasiwa itu ada yang memperjuangkan kekuatan moral dan ada yang mementingkan kekuatan politik.

Siapa saja yang kerap Anda ajak berdiskusi soal kampus setelah Anda menjadi rektor?

Tidak ada yang bisa saya ajak bicara waktu itu. Pak Sumantri keburu meninggal. Orang seperti Nugroho Notosusanto menolak ketika saya minta jadi pembantu rektor. Jadi, saya menuruti naluri, intuisi, dalam memimpin universitas. (Belakangan, Nugroho menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.)

Seperti apa, misalnya?

Saya tetap mencoba bersikap demokratis kendati sulit dalam suasana yang tidak demokratis. Bersikap tegas menghadapi pemerintah sejauh menyangkut prinsip. Saya juga menolak provokasi dan intimidasi dalam bentuk apa pun. Selepas peristiwa Malari, misalnya, saya bikin jumpa pers. Saya bilang, jangan ada pihak mana pun ikut campur urusan kampus. Kalau ada yang mau ikut campur, harus berhadapan dengan rektornya. Dan saya bilang, saya bisa tutup kampus ini kalau keadaan kacau.

Anda bilang begitu? Apa tidak ada yang marah?

Syarif Thayeb, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, memprotes. Dia menganggap saya melawan pemerintah. ''Anda tidak punya hak melakukan itu," katanya. Saya bilang, ''Kenapa tidak? Saya punya hak karena saya rektor. Dan saya tidak melawan pemerintah."

Sewaktu peristiwa Malari itu meletus, Anda ada di mana?

Di rumah. Tapi saya tahu mahasiswa sudah bergolak. Saya ditelepon oleh mahasiswa, ''Prof, keadaan sudah ramai. Orang kita ada yang dipakai untuk kerusuhan." Saya langsung datang ke kampus. Hariman dan kawan-kawan saya kumpulkan. Saya tanya, mereka ada di mana saat kerusuhan. Mereka mengaku tidak berada di tempat kerusuhan. Hariman mengatakan, ia berada di Universitas Trisakti saat ribut-ribut itu. Tapi kemudian ia yang dituduh. Sejak itu, mahasiswa diincar terus oleh pemerintah.

Jadi, Anda sudah menduga akan ada penangkapan?

Mau tidak mau, harus ada yang ditangkap walau Hariman dan kawan-kawan tidak ikut apa-apa. Yang menggerakkan seluruh aksi itu kan Pak Ali Moertopo. Setelah kejadian itu, setiap hari saya membuka crisis center. Tapi dosen yang mau ikut cuma Sri Edi Swasono. Yang lain tak acuh saja, padahal suasana makin panas sampai ada yang meninggal. Saat itu, saya betul-betul merasa sendirian. Saya datang ke markas Kopkamtib di Jalan Merdeka Barat. Saya minta mahasiswa jangan ditangkap. Pak Mitro bersikeras mereka harus ditangkap karena subversif. Dalam hati, saya bertanya, yang subversif itu mereka (Kopkamtib) atau mahasiswa.

Anda datang ke sana sendirian?

Ditemani Ali Sadikin. Di sana, saya lihat Jenderal Soemitro sedang main biliar. Ia bilang, Ali Moertopo juga ada di sana. Sudomo bertanya apa yang terjadi. Saya bilang, ''Harusnya you lebih tahu dibanding saya yang baru satu bulan jadi rektor." Selain itu, saya menemui Menteri Kehakiman Ali Said untuk membicarakan soal anak-anak yang ditangkap.

Apakah lobi itu berhasil? Hariman dan kawan-kawan toh tetap dipenjarakan?

Tapi jangan Anda lupa bahwa lobi itu membuat Hariman bisa bolak-balik penjara-kampus selama tiga tahun sampai berhasil menjadi dokter. Pertimbangan saya, mereka tidak bersalah. Pak Ali Said juga mungkin merasa begitu. Hanya, sebagai orang pemerintah, dia harus tunduk.

Apa saja bentuk provokasi yang Anda terima?

Wah, banyak sekali. Sekali hari, si A datang bertamu, membawa pesan ini dan itu. Lain hari, rumah saya digedor tengah malam, ditelepon, rumah saya ditempeli poster bertuliskan PKI, dan lain-lain. Pokoknya, selama delapan tahun itu saya kenyang diprovokasi dan diintimidasi.

Kenapa Anda tidak mencoba kompromi? Apa tidak pernah cemas?

Tidak pernah. Dan saya baik-baik saja. Tensi normal terus. Kalau orang cemas itu, kan, tensinya naik.

Bagaimana hubungan pribadi Anda dengan Ali Moertopo?

Biasa, dalam arti tidak bermusuhan. Mungkin mereka benci kepada saya, tapi menghargai. Ada juga satu-dua insiden. Suatu ketika, Pak Daoed Joesoef mengadakan rapat rektor. Ali Moertopo diundang bicara. Di tengah pembicaraan, ia menuding-nuding saya sebagai dalang penghasut mahasiswa. Alasannya, saya tidak mau mundur dari jabatan rektor setelah peristiwa Malari. Saya jawab, ''Kenapa harus mundur? Kalau mau pecat, silakan."

Apa pendapat Anda tentang program NKK/BKK?

Saya bilang kepada Pak Daoed, konsep itu mungkin baik, tapi bicarakan dulu dengan mahasiswa. Dia menolak. Katanya, dosen dan mahasiswa yang tidak setuju silakan keluar. Dia itu sebenarnya menteri yang baik. Konsepnya kuat: merangsang sisi keilmuan mahasiswa secara optimal. Hanya, caranya sangat kaku.

Anda berdua tidak pernah terlibat konflik?

Ada cerita soal itu. Suatu ketika, setelah peristiwa dengan Ali Moertopo di atas, saya dipanggil Pak Daoed. Begini katanya, ''Kalau Pak Mahar melawan saya, akan saya pecat. Dan kalau itu terjadi, Pak Mahar tidak akan punya pasaran lagi." Saya jawab, ''Barangkali Anda lupa, saya ini neurolog. Begitu Anda pecat, pasaran saya langsung naik. Justru karena saya jadi rektor UI, waktu habis dan pasaran sepi."

Sebagai neurolog, reputasi Anda memang boleh juga. Anda kan dokter dua presiden?

Ha-ha-ha.… Saya memang dokter Bung Karno dan Pak Harto. Sampai sekarang. Sebagai pasien, Bung Karno lebih bersikap sebagai teman. Kami suka mengobrol dalam bahasa Jawa dan Belanda. Pantangannya satu, dia tidak mau dioperasi. Pak Harto lebih tertutup, tidak pernah berbicara apa-apa, apalagi soal politik. Hubungan dengan Pak Harto betul-betul antara dokter dan pasien.

Bagaimana awal mula Anda menjadi dokter Bung Karno?

Suatu hari, Agustus 1965, saya sedang berpraktek di Rumah Sakit St. Carolus. Tiba-tiba sekelompok pasukan Cakrabirawa (pengawal presiden) mengajak saya ke Istana. Bung Karno sedang muntah dan kejang-kejang. Sejak itu, saya menjadi anggota dokter kepresidenan.

Namun, bukankah Anda sempat mundur?

Ya. Penyakit Bung Karno tidak serius, tapi di luar sudah tersiar bahwa Bung Karno mau mati. D.N. Aidit bahkan kemudian mendatangkan sekelompok dokter dari Cina. Anehnya, selama pemeriksaan, saya dan Dokter Soekarman (juga anggota tim dokter kepresidenan) tidak diajak serta. Saya bilang, kalau begini caranya, saya mundur karena saya tidak mau bertanggung jawab terhadap pengobatan para dokter Cina itu. Baru setelah G30S/PKI, saya dipanggil lagi. Waktu itu tahun 1967. Bung Karno sudah di Wisma Yaso.

Berapa lama Anda merawatnya?

Dari 1967 hingga meninggal, 1971. Dia dikurung, tidak boleh ke luar halaman, dan tidak boleh bertemu dengan siapa pun. Itu yang mempercepat kematiannya. Beberapa bulan terakhir, dia menjadi sangat apatis, membisu saja, tidak mau bicara apa-apa.

Apa yang kerap Anda percakapkan dengan Bung Karno?

Beliau lebih banyak membicarakan nasibnya. Suatu ketika, Bung Karno bilang, ''Apa salah saya sampai diperlakukan seperti itu?" Saya heran dan bingung. Masa, dia tidak tahu apa salahnya? Buat saya menarik bahwa orang yang hidup dalam kekuasaan mungkin tidak mengerti keadaan yang sebenarnya.

Apa sebetulnya yang sangat memberatkan kondisinya?

Ya, dikurung itu. Padahal dia kan orangnya extrovert. Suatu ketika, dia menangis tersedu-sedu dan merangkul saya. Katanya dalam bahasa Belanda, ''Jij bent de enige die mij kan helpen. Ik kan het niet meer uithouden. Ik will toch ook graag eens uitgaan, de stad zien" (''Kamu satu-satunya orang yang dapat menolong saya. Saya sudah tidak tahan lagi. Saya kan juga ingin jalan-jalan melihat kota"). Permintaan itu kemudian saya teruskan kepada ketua tim dokter, tapi tidak dipenuhi dengan alasan keamanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus