Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah Pesan, Sebuah Hiburan

Iklan layanan masyarakat tentang pemilu dan antikekerasan yang ditayangkan di televisi ternyata disukai pemirsa. Sebuah iklan pesanan yang sangat mendidik dan menghibur.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ingat Saudara
Kelak di kemudian hari
Negeri kita
ada perubahan
Yang memegang pemerintahan
jangan keliru
Berhati-hatilah saat pemilu......

Ini sebuah pendidikan, mungkin bisa juga disebut hiburan, atau juga sebuah renungan. Tembang Jawa yang dinyanyikan dengan lirik berbunyi "imbauan" ini adalah salah satu dari sembilan rangkaian iklan layanan masyarakat produksi Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa yang ditayangkan di enam televisi di Indonesia.

Iklan layanan masyarakat ini menampilkan seorang lelaki Jawa yang bersila dan nembang dengan teks bahasa Indonesia. Dengan adegan yang statis seperti itu, mata penonton lebih terkonsentrasi pada teks bahasa Indonesia dan tembang Jawa itu, yang menekankan sebuah arah yang kita inginkan di negeri ini: demokrasi. "Kami menginginkan pesan ini membangkitkan kesadaran politik masyarakat Indonesia," tutur Garin Nugroho, yang menyutradarai kesembilan iklan layanan masyarakat ini. Garin tergabung dalam Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa, yang terdiri atas Debra H. Yatim, Yanti B. Sugarda, dan Agus Pambagio, yang didukung oleh kelompoknya masing-masing. Kesembilan iklan ini, yang sebagian sudah ditayangkan di televisi, memang menarik?bukan hanya karena ini sebuah "pesan sponsor" yang tidak terasa sebagai pesan sponsor, tapi juga karena ia dikemas dengan sentuhan sinematik yang rapi dan dialog yang wajar.

Garin memulai hampir setiap adegan dengan mainan jigsaw-puzzle yang melambangkan beragamnya masyarakat Indonesia. Lalu adegan berikutnya bisa beragam, bergantung pada target penontonnya. Ada lagi, juga dalam bentuk oral, visualisasi doa Dayak yang berisi keinginan arah bangsa Indonesia di masa depan. Ada lagi edisi dialog sekelompok remaja perempuan yang mempertanyakan pilihan mereka saat pemilu ("Aku sih lain. Boleh, kan?"); atau seorang lelaki yang dicukur bertanya kepada tukang cukurnya, partai mana yang akan dipilih, dan kamera bergerak menyorot rekannya yang menekankan bahwa kini bukan zamannya dipaksa-paksa lagi. Dalam edisi lain, ada sepasang remaja perempuan yang asyik berceloteh dalam bahasa khas remaja karena bingung mengisi waktu luang. Seekor gajah nyelonong melalui jendela menyampaikan sebuah surat berisi "Jangan lupa pendaftaran pemilu."

Hampir semua rangkaian penyajian pesan ini terasa sangat membumi dan menyentuh persoalan mendasar negeri ini dengan cara yang amat sederhana dan kalimat yang pas. Bahkan lagu Pemilihan Umum yang biasa berkesan formal?dan, sori saja, membosankan?itu tiba-tiba terdengar begitu ramah dan akrab ketika dinyanyikan dalam versi keroncong sambil berjoget.

Tentu saja penyajian yang "membumi" ini tidak lahir begitu saja. Menurut Garin, sebelum film iklan itu mulai dibuat, Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa melalui sebuah proses yang panjang. Ini dimulai dengan mengundang 25 pemikir di bidangnya masing-masing sebagai kelompok think tank yang merumuskan persoalan di Indonesia saat itu. Dari mereka, muncul beberapa aspek penting, antara lain tentang pendidikan politik, hubungan antar-etnik dan agama, dan bahasa kekerasan. Hasil diskusi para pemikir ini kemudian diolah oleh kelompok kerja dan dilemparkan oleh polling center?dipimpin oleh Yanti Sugarda?untuk menjadikan anggota masyarakat (misalnya ibu rumah tangga, mahasiswa, anak jalanan, dan penganggur) sebagai think tank yang melahirkan gagasan, ide, atau kata-kata. Karena itu, menurut Garin, banyak dialog yang digunakan dalam film iklan itu memang asli diambil dari pemikiran anggota masyarakat yang diajak berdiskusi.

Untuk pembuatan film ini, menurut Debra Yatim, mereka melibatkan sekitar 30 pihak, antara lain United States Agency for International Development (USAID) yang ikut menyumbangkan dana. "Ongkos produksi film ini kurang lebih menghabiskan Rp 800 juta," tutur Debra. Maklum, lokasi syutingnya memang banyak diambil di beberapa kota di Indonesia timur.

Tentu saja kelompok kerja ini beserta para pemikir di belakangnya tidak berpretensi menuntut semua pemirsa serta-merta menjadi pemilih yang aktif dalam pemilu yang akan datang. "Paling tidak, kami mengharapkan adanya kesadaran tentang hak masyarakat dalam pemilu," tutur Debra. Ternyata, setelah diadakan sebuah studi oleh Yanti Sugarda, memang iklan layanan ini cukup mengena pada penonton. "Kami mengadakan studi penerimaan masyarakat terhadap iklan ini, antara lain, berdasarkan recall rate (tingginya angka ingatan masyarakat terhadap iklan tersebut). Dan ternyata iklan layanan edisi anak jalanan paling banyak diingat," ungkap Debra.

Ini memang sebuah hasil kerja keras yang panjang (yang masih akan berlanjut). Pesan itu?di tangan kelompok ini?tidak jatuh sebagai sebuah khotbah, tapi menjadi sebuah "hiburan" yang kemudian melekat dan (mudah-mudahan) menggerakkan hati masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus