Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN asal Indonesia dijual. Anak-anak di bawah umur diperbudak, dipaksa menjadi pelacur. Kabar buruk semacam ini mesti segera diakhiri. Kita berharap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dua pekan lalu disahkan DPR, membuat para pelaku kejahatan perdagangan manusia di negeri ini jeri dan kapok.
Sangat memprihatinkan melihat data bahwa kejahatan perdagangan orang di Indonesia terbilang tinggi. Menurut organisasi dunia yang menangani masalah anak, United Nations Children’s Fund (UNICEF), rata-rata setiap tahun 100 ribu perempuan dan anak-anak Indonesia diperdagangkan. Kebanyakan korban dijadikan pekerja seks di dalam maupun di luar negeri.
Aparat hukum memang tidak tinggal diam, tapi terlalu sedikit kasus yang diperiksa. Setiap tahun tak sampai seratus kasus yang diperiksa polisi. Dari angka itu, yang diproses ke pengadilan tak sampai separuhnya. Yang dihukum jumlahnya juga sedikit. Itu pun dengan hukuman yang ringan. Hakim hanya memvonis satu hingga dua tahun penjara. Bahkan sebagian pelaku lolos dari dakwaan lantaran aparat sulit mengumpulkan bukti yang kuat.
Aturan hukum untuk kejahatan jenis ini memang lemah. Aparat hukum biasanya mengacu pada Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Celakanya, pa-sal itu tidak mengatur secara terperinci kejahatan ini. Hanya disebutkan: ”Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam pidana penjara paling lama enam tahun penjara”.
Jelas saja pelaku kejahatan perdagangan orang, yang menangguk untung besar dari bisnis berdagang manusia itu, tidak takut berhadapan dengan aparat hukum. Dengan uang besar di tangan, aparat hukum mudah diajak ”main mata”. Di luar KUHP memang ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Tapi, selain hanya melindungi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, undang-undang ini tidak membentengi anak-anak dari tindak pidana perdagangan orang.
Kini, dengan Undang-Undang Perdagangan Orang, siapa pun yang terlibat penjualan orang, baik untuk dijadikan pelacur maupun dieksploitasi sebagai tenaga kerja, bisa dijebloskan ke bui. Mereka yang hanya membujuk, menyimpan, menyekap, memakai, atau sekadar sebagai sopir yang mengangkut para korban, ikut terkena hukuman.
Orang tua yang meminta anaknya menjadi pelacur—seperti yang terjadi di Indramayu, Jawa Barat, dan dikenal sebagai tradisi luruh duit—bisa dijerat dengan undang-undang baru ini. Petugas kelurahan yang mengeluarkan KTP palsu juga tidak luput dari jaring undang-undang perdagangan orang.
Dibandingkan dengan KUHP, hukuman untuk mereka yang terlibat pun jauh lebih berat. Selain ada hukuman minimal, yakni tiga tahun penjara dan denda Rp 20 juta, pelaku bisa dipenjara hingga seumur hidup dan denda sampai Rp 5 miliar. Jika kejahatan itu menyangkut korporasi, selain hukuman pidana, denda ditetapkan berlipat sampai tiga kali. Pemerintah juga diberi wewenang mencabut izin usaha perusahaan pelaku kejahatan.
Makin lengkaplah aturan hukum Indonesia untuk mencegah dan menjerat pelaku tindak pidana perdagangan orang. Tinggallah sekarang kesungguhan aparat hukum untuk menegakkan aturan baru ini. Suap, ”main mata” dengan pelaku, hanya akan merusak aturan hukum yang sudah diperbaiki, dan itu mendorong kejahatan kemanusiaan yang keji. Dengan dalih apa pun, siapa pun di negeri ini wajib menolak penjualan dan eksploitasi seorang manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo