Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laptop atawa komputer jinjing bukan lagi barang mewah. Kebutuhan akan pentingnya informasi dan tuntutan untuk menggunakan teknologi modern menjadi alasan utama kenapa seseorang membeli komputer jinjing. Dengan laptop orang bisa mengerjakan banyak hal, terutama yang menyangkut tulis-menulis, di sembarang tempat. Bisa di ruang tunggu bandar udara sambil menanti pesawat yang delay, bisa di pondok kecil di tengah-tengah sawah. Bahkan jika ingin membuka wawasan dengan membuka akses ke internet, tinggal dihubungkan dengan telepon genggam yang sudah ada programnya. Dunia ada di laptop, begitu menurut Tukul Arwana, pelawak-presenter di layar kaca.
Tukul berhasil menyebarkan virus pemakaian laptop, sekaligus menyindir orang yang memakai komputer lipat ini hanya untuk gagah-gagahan. Seorang pendeta di Bali dikenal kepopulerannya karena memberikan ceramah agama dengan membawa laptop. Setiap kali mengutip ayat suci, ia langsung ”kembali ke laptop”. Perilaku ini kemudian ditiru pendeta lainnya sehingga muncul guyonan di masyarakat, ”Banyak sekali pendeta tukul.” Namun, ini tetap sisi positif dari sebuah laptop.
Seorang anggota Dewan di Pulau Jawa merasa perlu membeli satu lagi laptop karena jatah dari kantor sering dipinjam cucunya untuk ”main game”. Setelah punya satu lagi, barulah ia merasa tenang saat tugas ke luar kota, yang sering didampingi istrinya. Kenapa bisa? Sebabnya, pada saat ia ketemu konstituen di lapangan, istrinya betah ditinggal di hotel mendengarkan musik MP3, ya, dari laptop itu.
”Sihir laptop” bisa untuk berbagai keperluan, menambah ilmu, memperbanyak teman, memperlancar kerja, mengoleksi gambar cabul, atau menyimpan adegan syur. Laptop bisa sama bentuknya. Yang membedakannya adalah fungsi, harga, dan siapa pemakainya. Jika pendeta saja membawa laptop, maka kalah gengsi kalau ada anggota DPR yang tidak memiliki ”benda ajaib” itu. Jika Tukul dalam acara Empat Mata menggunakan laptop untuk membaca pertanyaan yang diajukan kepada tamunya, kenapa anggota DPR begitu terlambat untuk mempunyai laptop agar pertanyaan atau pendapatnya dalam sidang tidak belepotan? Sudah selayaknya anggota Dewan memiliki laptop untuk menunjang kerjanya. Kalau begitu, kenapa mesti ribut-ribut?
Yang membikin ribut bukan soal perlu atau tidaknya laptop bagi anggota Dewan, tetapi bagaimana barang itu dimiliki. Dalam zaman yang serba mudah untuk mencicil komputer, baik yang dijinjing maupun yang dipanggul—dengan bunga nol persen lagi—amit-amit, anggota Dewan mendapatkan laptop dengan uang rakyat. Ini masalahnya, dan terus terang: memalukan.
Anggota Dewan sudah digaji tinggi, mendapat tunjangan macam-macam, ada uang saku tatkala membahas rancangan undang-undang—meski itu menabrak aturan. Kadang kala mendapat voucher dari menteri dan Dewan di daerah baru saja mendapat rapelan. Tak masuk akal kalau tak mampu mencicil laptop, kalah dengan pendeta atau mahasiswa. Kalau semua perangkat kerja dibebankan pada APBN dan APBD, nanti mereka bisa minta dibelikan jas, dasi, sepatu, atau celana dalam—telepon berikut pulsanya kan sudah masuk dalam tunjangan komunikasi. Mending kalau mereka rajin mengikuti sidang, nyatanya yang bersidang kursi kosong.
Menjadi wakil rakyat seharusnya punya modal, setidaknya modal rasa malu dijadikan bulan-bulanan kritik. Bayangkan, urusan laptop saja sampai riuh begini. Memangnya, tak ada kerja lain yang bermanfaat untuk rakyat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo