Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Agus Budiman: "Rumah Saya Dikira Tempat Pembajak Berkumpul"

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Udara dingin masih menyelimuti Washington, DC, di suatu pagi bulan September 2001. Di sebuah ruangan berwarna putih, berkarpet abu-abu, di lantai 15 sebuah apartemen di kawasan Alexandria, tiga bersaudara sedang bersiap-siap memulai hari. Suasana pagi yang tenteram itu tiba-tiba dikoyakkan oleh gedoran keras di pintu. "Siapa?" seorang dari mereka bertanya sembari membuka pintu. Dua tamu itu menjawab singkat: FBI. Dan mereka mengacungkan kartu identitas. Dua polisi federal itu mencari Agus Budiman, anak muda asal Tanjung Duren, Jakarta Barat, yang mereka tuduh sebagai penghubung Muhammad Atta dan kawan-kawannya. Nama Atta pernah menjadi mimpi paling buruk yang melesak ke dalam memori publik Amerika Serikat (AS). Anak muda asal Mesir itu dituding meledakkan menara World Trade Center dalam tragedi 11 September 2001. Dan siapa pun yang pernah berhubungan dengan Atta akan berada dalam radius pengawasan superketat oleh sekuriti Amerika. Agus terkenang betapa waspadanya sikap kedua polisi dari Biro Investigasi Federal (FBI) itu di depan apartemennya. Tangan dan kaki mereka dalam posisi menahan daun pintu sehingga tak bisa ditutup kembali. Seorang dari mereka bertanya, "Apakah Anda Tuan Agus Budiman?" "Ya," jawab Agus. Saat itu dia sudah mengenakan seragam kerjanya sebagai pengantar makanan (delivery boy) dengan nama lengkap tertera di bagian depan. Kedua agen federal itu minta waktu beberapa menit. Agus menyilakan mereka duduk. Ruangan itu masih acak-acakan. Buku berserakan di beberapa tempat. Beberapa kardus yang belum dibuka masih bertumpuk di sebuah sudut. Kaligrafi bertuliskan ayat Kursi yang sudah dibingkai masih tergeletak di lantai. Maklum, penghuninya baru dua bulan pindah ke situ. Mereka belum sempat membereskan semua barang. Pembicaraan di atas ternyata molor menjadi dua jam. Dan kepada Agus mereka menyodorkan sebuah tuduhan seram: dia dituding sebagai penghubung Muhammad Atta, si pembajak pesawat yang menabrakkan diri ke gedung World Trade Center (WTC), New York—enam hari sebelumnya. Wawancara itu bahkan menjadi periode awal dari sebuah prahara yang tak pernah dia bayangkan selama sembilan bulan. Arsitek yang cemerlang dari sebuah universitas di Bremen ini tiba-tiba menjadi "tokoh" dalam media massa Amerika. "Saya merasa dipojokkan (abused) oleh pemberitaan media Barat," ujarnya kepada TEMPO. Pers setempat memang mencapnya sebagai teroris. Rakyat Amerika yang masih marah atas tragedi itu menuntut ia dihukum seberat-beratnya. Dan Agus seperti terlempar dalam ke sebuah zona kehidupan yang tidak pernah dia bayangkan. Dia ditangkap, diinterogasi, dan dilempar ke beberapa penjara federal—Arlington, Pamunkey, hingga Alexandria. "Padahal saya ke Amerika dengan niat baik: ingin mencari pekerjaan sesuai dengan pendidikan saya di bidang arsitektur," katanya dengan suara pelan. Pemuda berusia 31 tahun ini menyimpan sejumlah kenangan yang menyenangkan dari masa remajanya di Ibu Kota. Saat duduk di bangku SMA 46 Jakarta, Agus pernah menjadi finalis cowok idola majalah Gadis. Ia juga aktif berolahraga seperti sepatu roda dan tenis meja. Masa-masa di Jerman menjadi fase pendewasaan bagi Agus, sekaligus menumbuhkan kesadaran religius yang lebih dalam ke dalam kehidupan pribadinya. Dia aktif dalam berbagai organisasi Islam, baik nasional maupun internasional. Setelah sembilan bulan mendekam di bui, pengacara Agus—seorang warga negara Amerika—akhirnya membuktikan Agus tidak bersalah. Dan berakhirlah bulan-bulan yang panjang dan melelahkan. Dua pekan lalu ia menjejakkan kaki kembali ke Tanah Air. Tangis dan pelukan dari seluruh anggota keluarganya menyambut kedatangannya di rumah orang tuanya di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Sepekan kemudian, ia menerima wartawan TEMPO Andari Karina Anom, Nugroho Dewanto, dan Hermien Y. Kleden dari TEMPO. Wawancara berlangsung selama tujuh jam dan berlangsung di dua tempat: di kantor pengacaranya, Sholeh, Adnan & Associates di Jakarta Pusat, serta di beranda hotel Menara Peninsula di Jakarta Barat. Berikut ini petikan wawancaranya. -------------------------------------------------------------------------------- Jadi, akhirnya Anda kembali. Apakah masih ada niat merantau lagi (ke AS)? Mengapa tidak? Jika ada kesempatan yang baik, saya ingin kembali lagi ke sana untuk bekerja. Bagaimana Anda melihat peristiwa itu: tuduhan bahwa Anda menjadi penghubung para teroris yang meledakkan World Trade Center? Saya anggap ini adalah musibah, bukan kejahatan yang saya lakukan. Niat saya kan menjalin hubungan baik dengan siapa saja. Ternyata malah kena musibah yang menyangkutkan saya dari dua segi, yaitu alamat dan pelanggaran kartu identitas. Bagaimana sebetulnya cerita soal alamat itu? Itu alamat lama saya, berseberangan dengan kantor Pentagon. Dan alamat ini yang dipakai untuk mengajukan visa untuk Muhammad Belfas bin Nasser (kenalan lama Agus di Jerman, lihat TEMPO, 30 Desember 2001). Kartu identitas saya sebelumnya memang di alamat itu. Tapi saya tidak pernah tinggal di sana. Adik saya Faisal yang pernah tinggal sebentar di situ. Mengapa alamat itu yang jadi perkara? Karena mereka (FBI) mengira rumah saya adalah sarang orang-orang itu, para teroris itu. Makanya ketika mereka datang, mereka kaget karena di rumah itu cuma ada adik saya yang masih kecil-kecil. Dan waktu itu juga belum ada barang karena kami baru pindahan. Mereka berpendapat rumah itu dipakai untuk markas. Lalu bagaimana pula dengan tuduhan Anda membuatkan identitas palsu untuk Muhammad Belfas? Di pengadilan hal itu ditanyakan oleh hakim. Saya jawab, Belfas adalah seorang ustad yang sering berceramah di Konjen RI di Hamburg. Ketika dia minta tolong menggunakan alamat saya di Amerika untuk membuat kartu identitas dan SIM, saya langsung menolong. Masa, diminta tolong begitu saja saya tidak mau. Di mana muka saya kalau permintaan itu saya tolak? Apa saja inti pembicaraan Anda dengan FBI pada pertemuan pertama, 17 September 2001? Mereka memperlihatkan foto Muhammad Atta dan bertanya apakah saya mengenal orang ini. Saya jawab dengan jujur. Saya kenal orang ini di Jerman sebagai Muhammad El Amir, bukan Muhammad Atta. FBI mewawancarai saya di rumah selama dua jam, saya sampai terlambat bekerja hari itu. Malamnya saya diinterview lagi di kantor FBI dari pukul 12 malam sampai pukul 7 pagi. Mereka mengulangi pertanyaan yang sama seperti di rumah saya pagi harinya. Apa saja pertanyaan itu? Intinya, FBI bertanya tentang alamat yang saya berikan ke pembajak pesawat, yaitu Atta dkk. Saya katakan, saya tidak mengerti apa yang mereka maksud. Apakah selama wawancara itu hak Anda terjamin dengan baik? Menurut saya, ada beberapa pelanggaran. Pertama, saya diinterview tanpa didampingi pengacara. Bahkan ketika membawa saya ke kantor FBI, mereka tidak membacakan hak saya (Miranda warning), yang berbunyi "you have the right to remain silent...," dan seterusnya. Padahal itu adalah prosedur standar yang seharusnya dilakukan sebelum mereka mewawancarai orang. Ada lagi kejanggalan lain? Ketika mereka membawa saya dari rumah ke kantor FBI, tiba-tiba tempat parkir saya di apartemen Alexandria diblok. Padahal itu tidak boleh dilakukan tanpa surat-surat. Lalu informasi yang diajukan ke sidang semuanya berasal dari saya. Tidak ada informasi dari mereka kecuali yang negatif dan memberatkan saya. Selanjutnya, dalam pertemuan kedua, saya dites poligraf (tes kebohongan). Padahal tes itu tak boleh dilakukan tanpa izin. Mereka juga bilang saya tidak perlu didampingi pengacara. Mengapa Anda mendiamkan saja tindakan mereka? Waktu itu saya diam karena tidak mengerti prosedurnya. Saya kan tidak pernah punya catatan kriminal dan tak pernah berhubungan dengan pengacara. Bagaimana perasaan Anda diinterogasi selama berjam-jam? Wawancara pertama pada 17 September. Dalam wawancara kedua, saya merasa capek dan tegang sekali. Sampai subuh saya baru boleh keluar. Mereka mengatakan akan datang lagi untuk menggeledah tempat tinggal saya. Saya bilang, saya tidak bersalah, silakan saja geledah sekarang. Lalu mereka pun mendatangi rumah saya. Berapa lama mereka menggeledah tempat tinggal Anda? Sekitar 20 menit. Yang masuk rumah hanya dua orang. Tapi saya tahu sekeliling rumah sudah dikepung oleh FBI. Karena tidak menemukan apa-apa, akhirnya mereka pulang. Mereka bilang, thanks, you are tough. Mereka juga berkata akan datang lagi bila diperlukan. Saya katakan, silakan kalau mereka mau datang kapan saja, karena saya tak menyembunyikan apa-apa. Padahal saat itu saya begitu ketakutan. Bayangkan, ini bukan polisi biasa, melainkan FBI. Sebelumnya saya cuma tahu FBI dari film-film. Kini saya berhadapan langsung dengan mereka. Apa sih persisnya yang ingin diketahui FBI tentang Muhammad Atta dari Anda? Mereka ingin tahu apakah saya mengenal Muhammad Atta dan ikut membantu kepindahan dia dan kelompoknya ke Amerika. Saya bilang saya memang pernah membantu dia, tetapi cuma membantu angkat-angkat barang sewaktu dia pindah rumah di Jerman. Dan itu terjadi pada 1998. Jadi, tidak ada urusan dengan peristiwa 11 September. Pertemuan saya dengan Atta ketika itu pun kebetulan saja, tanpa direncanakan. Bagaimana awal pertemuan Anda dengan Atta? Waktu saya mau pindah rumah di Jerman, saya minta tolong kepada teman saya seorang Jerman muslim untuk meminjam mobilnya untuk mengangkut barang. Besoknya orang Jerman muslim itu bilang bahwa dia sudah janji meminjamkan mobilnya kepada orang Mesir bernama Muhammad. Dia cuma bilang Muhammad, tanpa nama belakang. Lalu kawan saya itu berjanji akan menanyakan ke si Muhammad apakah mobilnya bisa dipakai oleh saya. Kawan saya itu kemudian menelepon saya, mengabarkan bahwa orang Mesir itu sudah oke. Jadi, Anda dan Atta saling membantu pindahan rumah? Waktu diperkenalkan dia mengaku bernama Muhammad El Amir. Kami memang saling membantu pindahan rumah. Siangnya saya bantu mengangkut barang-barang dia, malamnya dia bantu mengangkut barang-barang saya. Tapi kemudian media memberitakan bahwa sayalah yang membantu dia dan kelompoknya masuk ke Amerika, karena di rumah tempat saya membantu mengangkut barang itu ternyata tinggal orang-orang yang membajak pesawat. Padahal saya tidak tahu sama sekali hal itu. Ketika saya datang, rumah itu dalam keadaan kosong. Barang-barangnya, ya, cuma yang kami angkut itu. Darimana Anda tahu bahwa orang yang Anda bantu pindahan itu memang orang yang sama dengan Atta? Saya mengenal dia dengan nama Muhammad El Amir. Kapan Anda tahu Muhammad El Amir adalah Muhammad Atta? Dari FBI ketika mereka menginterogasi saya. Mereka memperlihatkan fotonya. Bisa diceritakan bagaimana kondisi rumah tempat tinggal Atta yang Anda lihat saat membantu pindahan. Di rumah itu tidak ada barang lain selain yang kami angkut. Bahkan lantainya masih kayu, belum dilapisi karpet. Saat saya datang tidak ada orang lain di situ selain Atta. Makanya saya tidak tahu ketika FBI bilang bahwa rumah itu adalah markas para pembajak pesawat. Seperti apa Muhammad Atta yang Anda kenal? Sepanjang pengetahuan saya, dia orangnya ramah. Kata-katanya sopan. Media asing menggambarkan sorot matanya yang luar biasa. Apa betul? Setahu saya sih matanya biasa-biasa saja. Tidak menyeramkan seperti yang digambarkan di media itu. Seberapa sering Anda berhubungan dengan dia? Pertemuan kami, ya, hanya kebetulan-kebetulan saja. Kami tidak pernah bertemu berdasarkan perjanjian. Dalam kasus ini, apa saja yang dikatakan oleh pengacara Anda, Marc Trash? Dalam sidang ketiga, Marc Trash menyebutkan sebuah sebuah perumpamaan yang menarik. Kalau ada orang membakar bendera di jalan dan kebetulan saya ada di jalan itu, bukan berarti saya mendukung pembakaran itu. Dia juga mengibaratkan kasus ini ibarat sebuah roda (Agus menggambar sebuah roda dengan titik tengah dan jeruji). Titik tengah ini adalah big boss dari semua ini. Jeruji itu ibaratnya Muhammad Atta dan teman-temannya. Ketika roda itu menggelinding, kebetulan saya ada di jalan yang dilewati roda itu. Jadi, saya bukan bagian dari roda, tetapi kebetulan saja terlindas roda itu. Bagaimana Anda menilai pemberitaan di media asing tentang kasus Anda? Banyak pemberitaan mereka yang amburadul dan menyudutkan. Akibatnya, tiap muncul pemberitaan seperti itu, saya langsung dimasukkan ke solitary confinement (ruang isolasi) penjara. Alasannya demi keamanan, padahal itu justru menyiksa saya. Saya cuma diizinkan istirahat selama 1-2 jam dalam 24 jam. Mental saya terganggu karena selalu dalam keadaan tegang. Dalam solitary confinement, saya tidak boleh kontak dengan siapa pun. Saya berada di situ selama lebih dari empat bulan. Anda ditahan di penjara mana? Di beberapa penjara federal di Arlington, Pamunkey, dan Alexandria. Waktu itu cuaca sudah dingin dan saya harus tidur di atas kasur yang amat tipis. Tapi yang paling berat adalah saat dimasukkan ke ruang isolasi itu, yang berukuran 2x2 meter. Lantainya kotor dan bau obat nyamuknya luar biasa. Bagaimana dengan ibadah Anda? Ibadah tetap saya lakukan. Sedangkan waktu solatnya saya kira-kira saja. Patokan waktu saya adalah dari jam orang mengantar ransum makanan. Apa yang Anda lakukan selama di penjara? Saya banyak berzikir dan membaca Qur'an. Yang membuat saya terhibur adalah saya bisa berdakwah kepada teman-teman di penjara. Saya juga bisa azan walaupun cuma di ruangan kecil. Coba ceritakan tentang persidangan-persidangan Anda? Yang paling geger adalah persidangan keempat (di distrik wilayah timur Alexandria). Saya dibawa ke ruang sidang dengan baju tahanan dan tangan diborgol. Para pengawal berpakaian komplet seperti pasukan pengamanan presiden. Jalan-jalan yang saya lewati ditutup. Lampu merah tidak berlaku ketika kami melalui jalan itu. Berapa jauh lokasi penjara ke tempat persidangan? Paling cuma lima menit naik mobil. Tapi pengamanannya sampai seketat itu. Semua orang memandang saya seperti penjahat besar. Dalam sidang itu pengacara saya, Marc Trash, mengemukakan beberapa hal. Pertama, semua info yang dikeluarkan di sidang berasal dari saya. Kedua, saya dikatakan melanggar H1B alias tinggal dan bekerja secara tidak sah di Amerika, padahal itu tidak benar. Saya dikatakan memberikan alamat dan menjalin kontak dengan para pembajak itu. Saya bilang, silakan cek semua e-mail, telepon, surat, dan daftar tamu yang datang ke apartemen saya (setiap tamu harus mencatatkan nama di bagian penerima tamu). Bukankah hakim juga mempertanyakan soal mobil yang dipakai Anda dan Atta di Jerman? Ya, hakim bertanya mengapa saya harus berebut memakai mobil yang sama dengan Atta. Saya bilang, saya tidak berebut. Kebetulan saja kami meminjam mobil dari orang yang sama. Itu saja. Lalu soal tuduhan Anda menjadi penghubung? Saya bilang tak ada bukti apa pun untuk bisa menuduh saya menjadi penghubung. Saya bukan penghubung! Dan saya tak tahu apa-apa soal Atta dan teman-temannya. Kata penghubung itu asing buat saya. Lalu hakim bertanya, mengapa kartu identitas saya sering dipakai oleh Belfas. Saya bilang bahwa dia sering berceramah di Konjen RI di Hamburg. Ketika dia minta tolong untuk menggunakan alamat saya untuk membuat kartu identitas dan SIM, saya langsung mau. Masa, diminta tolong begitu saja tidak mau? Omong-omong, bagaimana awal mulanya Anda ke Amerika? Tadinya kan Anda di Jerman? Setelah lulus kuliah di Jerman, saya ke Amerika dengan modal nol. Saya berusaha tidak dibiayai lagi oleh orang tua, mengingat selama delapan tahun di Jerman sudah dibiayai orang tua. Jadi, saya mau mandiri. Karena tidak punya uang, saya bekerja sebagai kurir mengantar dokumen. Jika ada dokumen yang diantar ke kantor arsitek, saya bertanya apakah mereka butuh arsitek. Apa saja respons yang Anda terima? Mereka biasanya kaget mengapa pengantar surat bertanya begitu. Lalu saya jelaskan saya seorang arsitek lulusan Jerman. Banyak perusahaan sebetulnya menerima lamaran saya, tapi terbentur soal izin kerja yang tak saya miliki. Apakah akhirnya Anda berhasil bekerja sebagai arsitek? Saya kemudian bertemu dengan seorang arsitek muslim keturunan Arab. Setelah melihat resume saya, si arsitek ini mengajak saya melihat proyek yang sedang dikerjakannya. Agaknya dia langsung tertarik pada saya. Dan kami sama-sama bersyukur telah bertemu. Apakah dia juga menjadi sponsor untuk memperoleh izin kerja? Ya. Sebenarnya bulan Juli (2001) izin itu sudah keluar, tetapi belum disampaikan ke saya. Baru bulan September (2001) surat izin itu sampai ke tangan saya. Belakangan hal itu dijadikan dalih oleh petugas bahwa saya melakukan overstay. Padahal selama ini saya tidak pernah overstay karena sering bolak-balik Amerika-Eropa. Satu hal, Anda pernah dituduh sebagai teroris dan penghubung para teroris? Bagaimana perasaan Anda? Saya tidak pernah melakukan kejahatan apa pun. Saya bukan teroris, bukan juga penghubung mereka. Jadi bertanya apa itu arti kata teroris? Apa yang mereka maksudkan dengan pengertian teroris? -------------------------------------------------------------------------------- Agus Budiman Tempat/tanggal lahir: - Banjarmasin, 20 Juni 1971 Pendidikan: - Dipl. Ing dari Hochschule Bremen dan Fachhochschule Hamburg, Jerman, di bidang manajemen arsitektur. Pekerjaan : - Arsitek dan desainer interior Organisasi: - Perhimpunan Pelajar Indonesia, Hamburg dan Koln, Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Hamburg, - Organisasi Pelajar Muslim Internasional (SBMH), International Association for Moslem Students in Europe (IAMSE)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus