Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berry Juliandi ikut gerah dengan banyaknya hoaks yang beredar seputar pandemi. Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) ini mengatakan informasi yang salah itu sangat mengganggu upayaupaya yang sudah dilakukan di garis depan dalam mendukung mitigasi dan pengendalian pandemi. "Hal ini membuat kerja ilmuwan lebih berat. Kami tidak bisa berbuat apaapa kecuali mengklarifikasi secara keilmuan," kata dosen Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Dian Yuliastuti dari Tempo yang mewawancarainya melalui sambungan telepon aplikasi pesan, kemarin, ia juga bercerita tentang komunitas ilmuwan yang kekurangan komunikator, kegiatan ALMI, kesehariannya, hingga perilaku masyarakat dalam mengelola informasi. "Sekarang masyarakat banyak yang menerima informasi yang sesuai dan cocok dengan dirinya," ujar doktor neurosains molekuler dari Nara Institute of Science and Technology, Jepang, itu. Berikut ini petikan wawancaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana cara Anda dan komunitas ilmuwan menghadapi begitu banyak hoaks belakangan ini, termasuk munculnya Hadi Pranoto yang mengaku sebagai ilmuwan?
Dalam kasus Hadi Pranoto, melihat dari apa yang dia klaim, ya kami senyumsenyum saja. Bila menilik dari keterangan kata per kata yang disampaikannya menunjukkan bahwa dia bukan ilmuwan atau bagian dari komunitas ilmiah. Makanya kami bikin bantahannya paling dengan rilis, media sosial, atau dengan wawancara jika ada jurnalis yang bertanya.
 Anda kaget dengan munculnya ilmuwanilmuwan gadungan semacam ini?
Kami tidak kaget karena sepanjang sejarah keilmuan kita memang ada hal seperti ini, over claim. Biasanya halhal seperti ini akan hilang begitu saja dari pembicaraan atau konteks pengembangan keilmuan. Sebab, eksistensi ilmuwan bergantung pada koleganya. Mau dia klaim, selama tidak mendapat pengakuan pihak lain, komunitas ilmiah, ya tidak akan diakui di percaturan komunitas sains.
Komunitas Anda tidak mempersoalkan mereka?
Kami ilmuwan tidak mengurus orangnya. Mau mengaku sebagai profesor, dokter, terserah karena nanti akan terungkap juga kebenarannya, baik dari institusi maupun kolega perhimpunannya. Soal klaim doktor lulus dari universitas, bisa pemimpin perguruan tingginya yang bicara. Soal klaim obat, tinggal para ahli yang kompeten beramairamai memberikan pandangan yang benar sehingga masyarakat bisa mendapatkan bantahannya.
Lalu apa dampak buruknya?
Yang susah ini mengatasi efeknya, dari konten apa yang disampaikan. Ada efek negatif yang muncul dari klaim tersebut. Kami ilmuwan jadi harus ketempuhan, mengoreksi informasi yang salah ini. Klaim itulah yang perlu kita kendalikan.
Bagaimana mengatasi hal seperti ini?
Seharusnya pemerintah mempunyai aturan untuk influencer yang melakukan wawancara mencari narasumber, melakukan kerja "jurnalis" harus diberi panduan. Hal ini tidak terkait dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tapi perluasan definisinya. Kalau jurnalis kan jelas, ada aturan ketentuan etika dan kerjanya. Seharusnya pemerintah punya otoritas yang terkait dengan halhal tentang sains. Ada juru bicara dari otoritas tertinggi sains di negara. Seperti kasus kalung yang diklaim bisa menangkal Covid19 itu atau kejadian Hadi Pranoto seharusnya bisa dijelaskan.
Iya, kalung itu malah dari Kementerian Pertanian, bukan dari otoritas sains?
Justru halhal seperti itu harus diluruskan. Ketika nanti sudah ada juru bicara, kalau ada yang bikin pernyataan yang salah atau salah bicara, hal itu bisa dijelaskan duduk perkaranya. Memang butuh ilmuwan yang pintar berkomunikasi untuk menjelaskan itu. Kalau tidak, ya susah memang. Ini akan menghemat sumber daya karena sudah ada pihak otoritatif yang mewakili ilmuwan.
Belakangan ilmuwan banyak hadir di webinar, fenomena apa ini?
Pandemi memudahkan kami menyebarkan berbagai ilmu atau pengetahuan melalui forum secara online, yang dulu enggan dilakukan karena lebih senang bertemu langsung dan berbiaya mahal. Anugerah pandemi, kami dapat menyebarkan ilmu pengetahuan di forum dengan biaya rendah dan bisa mendatangkan berbagai ilmuwan dari berbagai tempat dan bidang.
Sebagian ilmuwan memilih jalan sunyi…
Betul sekali. Kebanyakan peneliti, yang betulbetul peneliti, biasanya mengambil jalan sunyi, tidak suka ekspose di media massa. Mereka lebih berkutat dengan pekerjaannya. Mereka ini biasanya lebih senang diundang ke acara forum ilmiah, webinar, atau diskusi dibanding datang ke acara yang bukan core di bidang pekerjaannya.
Jika melihat situasi pandemi saat ini di Indonesia, apakah kebijakan yang ada sudah didasarkan pada sains?
Ada beberapa yang belum berbasis data sains, ada yang sudah. Tapi memang data sains belum menjadi arus utama. Ada arus utama yang lain, seperti kebijakan yang didasarkan pada ekonomi. Misalnya, untuk pandemi ini kita harus berkonsentrasi pada pengendalian pandemi, supaya ekonominya dapat, kesehatannya juga dapat.
Saat ini kebijakan pemerintah berfokus pada ekonomi dan kesehatan kuratif atau pengobatan. Untuk pencegahan sudah ada juga, tapi pesanpesan yang disampaikan seperti soal masker, jaga jarak, dan cuci tangan menjadi bertentangan dengan pesan lain, seperti new normal atau kebiasaan baru. Ada ketidakjelasan pesan, ada hal yang bertentangan. Prokesehatan dan proekonomi. Kalau tidak dirumuskan dengan benar, ya tidak dapat duaduanya.
Bagaimana dengan menyeleksi kualifikasi dan kompetensi ilmuwan yang bicara?
Kualifikasi terkait dengan pendidikannya. Sangat berbeda dengan kompetensi, yang didasarkan pada rekam jejak dan pengakuan dari pihak lain, seperti kolega, lembaga, atau badan sertifikasi.
Nah, masyarakat telanjur terkesima oleh omongan hebat, pembawaannya, dan gelar lalu viral. Orang jadi malas mengecek siapa dia. Kasus Anji kemarin mungkin dia juga malas ngecek. Nah, filternya ini dari pemberi wahana, jangan beri peluang yang seperti ini.
Sekarang masyarakat banyak yang menerima informasi yang sesuai dan cocok dengan dirinya, memperkuat kepercayaannya. Apalagi didukung dengan algoritma media sosial yang didesain sesuai dengan kebutuhan seseorang, kepercayaan, dan kebiasaannya. Jadi, seseorang ini menjadi hidup seperti katak dalam tempurung. Maka itu, mulailah ubah perangai ilmiah dari pendidikan dini, jangan pendidikan tinggi. Susah mengubah karakter kalau sudah di pendidikan tinggi. Kalau mau jadi bangsa yang maju, mulai dari pendidikan dasar. Pemerintah harus benahi ini.
Bagaimana dengan kemampuan komunikasi ilmuwan di Indonesia?
Kebanyakan ilmuwan kita memang tidak mempunyai kemampuan komunikasi yang baik. Jurnalis komunikasinya baik, tapi keilmuannya terbatas. Kita butuh science communicator, bisa ilmuwan yang dilatih berkomunikasi dengan baik atau jurnalis yang belajar sains. Dan itu bisa dilakukan duaduanya.
Menurut pengamatan Anda, mengapa ilmuwan kita susah berkomunikasi?
Karena kultur. Pendidikan ilmuwan dibangun di atas keraguankeraguan. Ilmuwan orang yang belajar dan selalu ragu. Sedangkan jika dia harus bicara, yang harus disampaikan di depan umum adalah hal yang fixed, pasti. Nature pendidikan seperti ini. Di beberapa universitas ada yang tidak membiarkan ilmuwan bicara, ada yang menyampaikan dari hasil penelitian ilmuwan.
Indonesia ini kekurangan komunikator sains.
Apa yang dilakukan ALMI untuk membumikan penelitiandan membuat masyarakat mempercayai sains?
Kami mempunyai program Scientist Goes to School. Jadi, semua anggota ALMI pergi ke sekolah masingmasing, almamaternya itu yang utama. Setelah itu, baru ke beberapa sekolah yang dipilih oleh ALMI. Mereka akan mengajarkan topik terkait dengan sains secara populer. Kami juga ada diskusi sains populer. Selain itu, kami merambah media sosial, ada konten YouTube bernama Kok Bisa, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Apa yang dilakukan ALMI selama masa pandemi?
Selama masa pandemi, ALMI bekerja sama dengan ilmuwan muda lain di luar ALMI membentuk Indonesian Young Scientist Forum (IYSF). IYSF rutin memberikan rekomendasi perihal berbagai kebijakan ke pemerintah lewat Kantor Staf Presiden, Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan, BNPB, dan instansi lainnya. Ada yang diambil, tapi lebih banyak yang tidak. Ada beberapa yang diambil dengan modifikasi atau diambil tapi terlambat.
Anda sendiri?
Saya sebagai juru bicara IYSF juga rutin memberikan wawancara kepada media massa dan sudah puluhan liputannya di media massa. Kami juga mengadakan penelitian selama masa pandemi, judulnya "Building Resilience Against Pandemic in Indonesia Using Distinctive Local Resource and Knowledge." Itu hasil kerja sama IPB, ITB, Universitas Negeri Semarang, dan Poltek Payakumbuh. Mitra luar negerinya adalah University of Nottingham, Inggris.
Selama masa pandemi ini sepertinya Anda lebih sibuk?
Ya, memang lebih padat, karena harus mengajar, ada webinar, dan juga mengurus administrasi di kampus. Sebab, saya duduk di struktural, sehingga bergiliran ke kantor, harus mengurus kurikulum, SPP mahasiswa, lalu meeting daring. Kadang berbarengan. Jadi, dua alat nyala, satu pakai Zoom, satu lagi pakai aplikasi lain.
Bagaimana cara meluangkan waktu dengan keluarga?
Harus disempatkan, biasanya setelah jam kerja. Memang harus mengatur waktu karena sering juga ada webinar atau diskusi malam. Kegiatan bersama keluarga biasa dilakukan karena di rumah ada hidroponik, ikan, dan hewan lain. Kami sekeluarga barengbareng mengurus itu. 
Aktivitas lain?
Kami bikin kegiatan yang edukatif, kerajinan tangan, misalnya belajar merajut, belajar musik, dan mengajari anak bermain piano dan gitar. Ada unsur pendidikan, tapi tetap santai. Kalau bosan, kami coba ke luar rumah, tapi tetap taat protokol kesehatan. Kebetulan kemarin Taman Safari sudah buka, kami ke sana, tapi tetap di mobil, tidak turun. Bisa menikmati pemandangan, tapi juga tidak menyalahi protokol kesehatan.
Anakanak Anda bertanya tentang Covid19?
Iya, mereka juga sering dapat tugas dari sekolahnya. Tapi sering dengar atau lihat bapaknya lagi diskusi, webinar, atau diwawancarai, mereka bertanya. Saya berusaha menerapkan perangai ilmiah juga ke anak sendiri, ini tantangan memang. Jadi tantangan untuk mengendorse, tapi harus sudah dibuktikan dulu ke anak, hehehe.
Masih menjalani hobi?
Ya, hobi saya membaca. Buku favorit saya The Origin of Species karya Charles Darwin. Kalau bermusik itu untuk mengajari anakanak. Kebetulan anak saya penyanyi cilik dan bintang iklan. Istri saya penulis buku. Jadi, klop, hehehe.
20
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo