Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Blak-blakan dengan Dua Kandidat

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN spanduk, baliho, dan umbul-umbul seolah membalut seantero Ibu Kota dengan celetukan saling sindir, kadang menggoda. Ada kemeriahan di jalanan. Karnaval, pawai iring-iringan, kampanye terbuka, dan, tentu saja, pesta dangdut. Begitulah Jakarta memulai demokrasinya sendiri. Memilih gubernur dan wakil gubernurnya sendiri. Langsung, tak perlu lagi lewat perwakilan di Dewan sebagaimana yang lalu-lalu.

Jika tak ada aral, Rabu pekan ini dimulailah kenduri besar yang, boleh jadi, paling gegap-gempita setelah pemilihan presiden langsung pada 2004. Mereka menentukan siapa gerangan sang DKI-1 dan DKI-2 tanpa tekanan dan intimidasi. Dua kandidat siap dipilih, siap pula menang atau kalah: Adang Daradjatun-Dani Anwar, yang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan pesaing mereka, Fauzi Bowo-Prijanto, yang disokong 19 partai, termasuk PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Anda siap masuk bilik coblosan? Sebelum itu, ada baiknya menyimak dan memperhatikan delapan butir sikap mereka yang kami tanyakan secara blak-blakan. Agar mudah, Fauzi Bowo kami cantumkan inisial FB, sedangkan Adang Daradjatun disingkat AD. Petikannya:

Apakah yakin menang setelah 10 hari berkampanye?

AD: Insya Allah. Terus terang, saya sangat tertarik dengan kegiatan kampanye akhir-akhir ini. Saya rasakan mimik dan penampilan masyarakat yang hadir di tempat kampanye. Mereka sangat tulus. Mereka betul-betul mengharapkan perubahan.

FB: Saya bukan orang yang pandai berhitung dalam hal ini, tapi yang jelas rasa optimistis itu tetap tinggi.

Berapa persenkah peluang untuk menang?

FB: Saya tidak mengandalkan hitungan yang berandai-andai. Coba tanyakan pada Pak Syaiful Mudjani (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, yang sebelumnya menyatakan suara Fauzi unggul). Dia itu ahlinya. Saya cenderung untuk menyerahkan pada ahlinya.

AD: Saya tidak berani pakai persentase, tapi lebih pada insya Allah.

Berapa biaya kampanye dan dari mana asalnya?

AD: Kalau ”habis-menghabis” itu ada bagian logistiknya. Saya sekarang kayak wayang, ujug-ujug disuruh ini-itu. (Juru bicara Adang, Hartono, menyatakan bahwa dana kampanyenya habis Rp 31 miliar. ”Kami manfaatkan itu untuk logistik, kaus, bendera, spanduk, maupun untuk kampanye. Dana itu teraudit. Dari Rp 31 miliar, Rp 5 miliar sumbangan pribadi Pak Adang, Rp 5 miliar sumbangan PKS, dan sisanya sumbangan masyarakat,” kata Hartono).

FB: Pada bagian awal, modal dasar memang dari saya. Mau tahu dari mana? Anda lihat nanti kekayaan saya tahun depan. Ada yang berkurang. Cek ini, jangan lupa.

Soal spanduk yang isinya saling menyerang.

FB: Tanyakan pada merekalah. Saya kan tidak menggunakan cara-cara yang tidak bermartabat seperti itu.

AD: Spanduk dan reklame-reklame dari sana juga menyolok sekali, misalnya, ”Jangan pilih yang lain karena tidak mengerti Jakarta.” Kalau untuk saya yang penting kami fair saja.

Masih ada peraturan daerah (perda) yang mengharuskan adanya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga Tionghoa, meski UU Kewarganegaraan sudah menghapus ketentuan itu. Bagaimana ini?

FB: Proses mengubah perda kan lama. Saya sudah berkirim surat ke Menteri Kehakiman Hamid Awaludin (waktu itu) dan belakangan saya ulangi dan sempurnakan ke Pak Andi Mattalata, Menteri Kehakiman dan HAM yang baru. Ada kesepakatan kami dengan Pak Hamid pada 2007. Saya katakan, ”Pak, tolong buatkan SK Menteri. Kami jamin.” Dengan SK Menteri itu dan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri kami terbitkan KTP-nya tanpa menunggu perubahan perda itu.

AD: Untuk saya, ini mengherankan. Keputusan di atas sudah seperti itu, tapi di bawahnya, kok, tidak segera menindaklanjuti. Kok, tidak ada satu pun pejabat DKI yang meng-counter penjelasan itu. Terus terang, ini kekurangseriusan birokrat dalam mengurusi masalah itu.

Soal sumbangan pengusaha dan partai pendukung.

AD: Sampai hari ini tidak ada (setoran dari pengusaha). Terus terang, saya punya beban berat kalau saya nanti, misalnya, terima dari pengusaha. Itu jadi tanggung jawab moral ke depan kalau ada sesuatu. Baiknya nanti ditanya pada teman-teman di polisi. Dari dulu saya menghindar gitu-gituan karena berat nanti. Kalau kami pegang hal seperti itu, dianggap dekat sama A, terus dekat sama B, terus terang itu berat. Kalau saya memberi jarak yang sama dengan teman-teman, itu hanya supaya saya tidak mau terpengaruh.(Kata Hartono, juru bicara Adang, pihaknya membuat iklan di beberapa media untuk saweran, gaya PKS. Istilahnya galibu, galang dana lima ribu, lima puluh ribu, lima ratus ribu. Hasilnya langsung terkumpul Rp 20 miliar lebih).

FB: Kontribusi partai tidak harus dalam bentuk uang. Kalau dia bikin kegiatan sendiri, bikin poster lambang banteng, kan bantu kami juga. Baca doa juga kontribusi. Kalau ada sejuta-dua juta orang baca Al-Fatihah, luar biasa. Anda terlalu terfokus pada materi. Sayangnya, ini dilakukan oleh sebagian besar bangsa yang saya cintai ini. Harusnya kita lebih menghargai apa pun bentuk kontribusi itu, termasuk yang immaterial, seperti baca doa, bikin tumpeng, nasi bungkus. Kenapa kalau PKS yang bikin itu terus dihargai, tapi saya kok nggak? Seakan-akan ada kebersamaan di antara mereka. Yang jual kebersamaan tuh I—nobody else!

Tentang kekayaan pribadi.

FB: (Ada hibah Rp 20 miliar pada 2004 di antara total hartanya yang Rp 40 miliar). Seluruh hibah yang saya terima ada akta notarisnya, ada buktinya dari mana. Mulai dari awal perjalanan kekayaan saya sampai sekarang. Kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya keragu-raguan, pasti tanya pada saya. Sebagian besar dari nilai kekayaan itu adalah hasil apresiasi. Rumah ini (Jalan Teuku Umar 24, Menteng, Jakarta Pusat) waktu pertama saya daftarkan nilainya berapa? Ini rumah keluarga. Saya nggak tahu belinya berapa. Kalau sejak 1938, bagaimana menghitungnya? Rumah saya nggak ada tambahnya. Pajak saya bisa diperiksa mulai dari saya bekerja di Pemda. Apa yang kurang transparan?

AD: (Kekayaan Adang tercatat sebesar Rp 17 miliar). Saya berani omong gaji naik dari letnan sampai terakhir wakapolri sekitar Rp 4 juta. Saya cuma dapat dari itu saja. Lainnya dapat dari keluarga. Saya beruntung punya mertua. Itu nasib saya saja, karena mertua saya dulu cukuplah. Sampai kemarin juga properti dari mertua.

Soal tudingan korupsi.

FB: Saya tidak pernah melakukannya. Semua tugas saya lakukan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagai penganut agama Islam, saya tahu batas yang halal dan haram. Apakah salah saya kalau saya dilahirkan untuk tinggal di Menteng? Sekali lagi saya serahkan pada ahlinya. Kalau ada indikasi korupsi, pasti KPK yang paling bertanggung jawab merespons.

AD: Saya dikaitkan dalam kasus (pengadaan) jarkom (jaringan komunikasi), 17 rekening perwira Polri (yang mencurigakan), dan proyek SIM. Selama ini saya sudah diperiksa dan tidak pernah ada putusan akhir. Kemarin ada tulisan dari LBH dan dimuat di media-media. Karena saya tidak melakukannya, saya berani bilang silakan periksa. Saya tidak mau menanggapinya. Saya menghadapinya dengan tidak memberi reaksi. Untuk kasus SIM, itu kan temuan Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan yang marinir itu kan? Namanya Letnan Jenderal Suharto. Dia sudah ketemu saya dan sekarang kami baik-baik saja.

l l l

Dr. Ing. H. Fauzi Bowo Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 10 April 1948 Jabatan: Wakil Gubernur DKI Jakarta (2002–2007) Kekayaan: Rp 38,347 miliar (per 31 Mei 2007)

HALAMAN depan rumah tua itu penuh sesak. Pepohonan besar seperti jambu, kelapa, mangga berebut lahan dengan dua sepeda motor gede Harley Davidson dan mobil Toyota Hardtop Land Cruiser. Lebih dari 10 guci antik berjejer di sisi kanan rumah tua yang kokoh itu. Fauzi Bowo, sang empunya rumah, sempat memperingatkan fotografer Tempo untuk berhati-hati saat menata tempat pemotretan. ”Wawancara boleh, foto boleh, tapi…,” kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, gusar.

Kepada Maria Hasugian dan Mohammad Reza Maulana dari Tempo, Rabu pagi pekan lalu, di rumahnya, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Fauzi menjawab sejumlah pertanyaan seputar kekayaan pribadi dan balas budi kepada 19 partai politik pendukungnya jika menang. Berikut petikan wawancaranya.

Anda siap diaudit setelah pemilihan usai?

Saya adalah orang pertama yang akan memenuhi hal itu. Tiga hari setelah pilkada, silakan audit. Tapi bukan diacak-acak seperti sekarang. Tiap hari ditanya berapa duit yang masuk. KPUD juga, saya kira, kurang profesional. Bukankah ada auditor yang melakukan hal itu. Kami jadi bertanya, mau apa nih? Ada nggak motif-motif tertentu?

Adakah usaha lain untuk menambah kekayaan?

Saya nggak punya bisnis. Lain sama yang laen, gitu loh. Saya 24 jam, kalau bisa 30 jam, buat Pemda. Itu niat saya. Saya juga nggak bakal jadi businessman setelah jadi gubernur. Karena prinsip saya: serahkan pada ahlinya. Doing business bukan keahlian saya. Kita harus bisa menempatkan diri sesuai dengan keahlian.

Semasa Anda jadi wakil gubernur, kebijakan Pemda Jakarta sulit diakses. Padahal, untuk membangun sistem informasi tidaklah mahal.

Sistemnya sudah ada kok. Cuma sekarang sistem informasi kami belum sinkron. Sinkronisasinya yang lemah, misalnya Anda bikin izin bangunan atau KTP masih belum bisa. Karena ada ketentuan pemerintah pusat yang mengharuskan itu tidak langsung online. Tapi, langkah awal akan saya lakukan. Kalau kami buka e-government, mau tidak mau publik akan langsung terlibat, meskipun pemakai jasa itu sekarang masih terbatas. Tapi Anda lihat betapa cepat guliran itu bisa terjadi kalau ada kemauan politik.

Bagaimana cara Anda mengakomodasi kepentingan 19 partai politik pendukung jika terpilih menjadi gubernur?

Kami punya kesepakatan, ini perlu dipahami, yaitu kesepakatan untuk membangun ibu kota negara Republik Indonesia ini bersama-sama. Bukan untuk sekelompok orang saja. Kesepakatan itu mendapat dukungan dari semua partai politik yang ada. Apa ini salah? Nggak ada komitmen lain.

Apakah Anda nanti membagikan proyek kepada mereka?

Maaf, nggak usah nunggu lama-lama. Sebentar lagi yang namanya proyek di DKI akan ada yang namanya proyek elektronik. Bagaimana kami mau manipulasi? Sebenarnya tahun lalu sudah saya tawarkan. Software, sistemnya sudah saya siapkan. Yang keberatan siapa kalau itu dilaksanakan secara elektronik dan transparan? Orang supplier. Bahkan tender sudah dimasukkan. Namanya electronic announcement online. Ya, belum bisa online dalam arti real time, karena mereka keberatan. Tapi ini suatu keharusan. Kalau mau mewujudkan pemerintahan yang lebih baik, sistem ini yang harus kita terapkan.

Bukankah pepatah bilang ”tidak ada makan siang gratis”?

Itu betul, tapi dalam konteks ini, yang saya tawarkan itu tadi, kebersamaan untuk menjadikan Jakarta lebih baik. Untuk menata dan mengelola pemerintahan ini dengan lebih baik, good governance.

l l l

Komjen. Pol. (Purn.) Drs. H. Adang Daradjatun Tempat, tanggal lahir: Bogor, 13 Mei 1949 Jabatan: Wakil Kepala Polri (16 Juli 2004–2006) Kekayaan: Rp 17,34 miliar (per 21 Januari 2007)

BERKEMEJA lengan panjang warna putih dipadu celana kain warna hitam, Adang Daradjatun duduk menghadap white board. Mulut kandidat Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012 ini komat-kamit. Ia sesekali memejamkan mata, berusaha meresapi ucapannya sendiri. Adang bukan sedang membaca jampi-jampi supaya menang dalam pemilihan gubernur. Ia tengah berlatih membaca naskah iklan untuk ditayangkan di televisi, meramaikan kampanye putaran kedua dimulai 2 sampai 6 Agustus ini.

”Inilah kalau usia sudah tua. Untung saya cerdas, jadi cepat selesainya,” kata Adang kepada Wenseslaus Manggut, Maria Hasugian, Abdul Manan, Reza Maulana, dan Ramdani dari Tempo, Rabu siang pekan lalu. Tak sampai 30 menit, Adang menyelesaikan casting di satu ruang di lantai 4 Hotel Sari Pan Pacific di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Bekas Wakil Kepala Polri ini mengaku menikmati kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang baru pertama kali digelar. Nukilannya:

Bagaimana Anda mengusung isu keberagaman?

Logikanya gampang. Mungkin bisa lihat dari kepribadian saya, bekas seorang birokrat, 58 tahun hidup di Jakarta. Jakarta adalah ibu kota negara, berasal dari beragam suku, agama. Ya maaf, konyol juga kalau kami tidak membaca situasi kebhinekaan. Untuk PKS juga rugi dong, pasti tidak mendapatkan simpati juga.

Apakah izin hiburan dibuka hingga larut malam sebagai bentuk kompromi PKS demi memenangkan Anda?

Ini menarik, memang. Sebetulnya PKS dari dulu terbuka. Mungkin saja karena tadi itu, orang sudah ngecap, jadi untung cap itu cepat kami baca. Jadi, kami cepat mengubah untuk bisa lebih dekat.

Bagaimana PKS menghadapi kubu Fauzi yang didukung oleh 19 partai politik?

Saya berbicara tentang simpati. Kalau berbicara 19 partai banding 1 partai, sudah jelas, bagaimanapun, kalau mau dihitung eksak, kami pasti kalah. Selama ini kami memberikan kampanye-kampanye yang jelas, memberikan masukan-masukan, keterbukaan. Mudah-mudahan masyarakat bersimpati.

Tapi bukankah PDS dan PDIP tidak semuanya mendukung Fauzi-Prijanto?

Saya terbuka saja. Waktu saya bersama PKS, saya kan bukan orang politik. Aduh asyik nih akan ketemu empat kandidat yang akan bersaing. Pikiran saya waktu itu, Partai Demokrat sudah pasti pilih langsung karena ada 16 suara, PDIP juga. Golkar gabung dengan partai kecil. Makanya, kenapa saya bilang independen bagus: karena saya pikir tadi ada empat orang yang akan bersaing untuk maju dan itu sangat membangun demokrasi. Pilihan rakyat jadi banyak. Tapi saya tidak tahu, kok ada koalisi partai yang begitu hebat. Saya tidak berpikir ke arah sana. Kami akan fight dengan senang.

Benarkah pengusutan kasus SIM yang kabarnya melibatkan Anda sudah ditutup?

Sebetulnya tidak ditutup. Akhirnya dia (si pengusut) sendiri bingung tidak ada buktinya. Masak, mau menuduh saya dari tahun 1992? Ya nggak mungkin. Waktu itu anggaran belanja, apa istilahnya itu? nonbujeter, kan di tangan Direktur Lalu Lintas. Asisten Perencanaan Polri (dijabat oleh Adang Daradjatun) sama sekali tidak pegang apa-apa. Jadi, waktu itu, karena saya sendirian saja, saya tidak bisa apa-apa. Beratlah musuh waktu itu. Ya, saya perwira muda waktu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus