Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Candra Darusman: Pemerintah Harus Mengedepankan Inovasi

Di usianya yang tak lagi muda, ditambah kesibukannya sehari-hari bekerja untuk World Intellectual Property Organization

27 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Candra Darusman: Pemerintah Harus Mengedepankan Inovasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di usianya yang tak lagi muda, ditambah kesibukannya sehari-hari bekerja untuk World Intellectual Property Organization (WIPO/badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah hak cipta dan kekayaan intelektual), Candra Darusman membuktikan bahwa dia masih layak disebut sebagai salah satu komposer dan pencipta lagu terbaik Indonesia. Pada September lalu, album terbaru Candra berjudul Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman mendapatkan dua piala dalam acara Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards). Album yang diluncurkan pada Maret lalu itu menggondol dua penghargaan untuk kategori Album Terbaik-Terbaik dan Album Pop Terbaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Materi pada album ini sebetulnya lagu-lagu lama yang diambil dari album Indahnya Sepi (1981) dan Kekagumanku (1983), serta sebagian lagu dari album Chaseiro-grup musik yang digawangi Candra pada 1970-1980-an. Namun semuanya diaransemen ulang dan digubah, sehingga pas dengan karakter penyanyi yang membawakannya. Hanya satu lagu baru yang dimasukkan dalam album ini, yang dinyanyikan Candra sendiri, berjudul "It’s Amazing".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Memang dirancang agar setiap lagu sesuai dengan ciri khas setiap penyanyi yang dilibatkan," kata pria berusia 61 tahun itu. Sederet penyanyi, seperti Marcel Siahaan, Glenn Fredly, Sheila Majid, hingga Danilla Riyadi, membawakan lagu-lagu Candra yang populer pada 1980-an. Tak cuma itu, ia juga melibatkan banyak komposer papan atas, seperti Addie M.S., Tohpati, Nikita Dompas, dan Erwin Gutawa, sebagai penata musik.

Pekan lalu, sebelum kembali ke kediamannya di Singapura, Candra menyempatkan berbincang dengan Praga Utama dan fotografer Nurdiansyah dari Tempo. Sehari sebelumnya, Candra menghadiri acara Homecoming Day para alumni Universitas Indonesia. Dalam acara itu, Candra mendapatkan penghargaan Ikatan Alumni UI (Makara Award) selaku penggagas Jazz Goes To Campus. Saat wawancara dengan Tempo, Candra ditemani Panji Prasetyo dari perusahaan rekaman Signature Music Indonesia yang memproduseri album Candra.

Maret lalu, Anda meluncurkan album baru, Juli Anda konser tunggal, dan akhir Oktober ini Chaseiro pentas. Apakah ini semua bagian dari comeback seorang Candra Darusman di kancah musik Tanah Air?

Sebetulnya album Detik Waktu sudah dirancang sejak 2017. Idenya muncul dari Panji Prasetyo selaku salah satu pemilik Signature Music Indonesia. Mereka yang berbaik hati memberikan kembali kesempatan kepada saya untuk berkarya.

Panji: Sebetulnya album ini kami rancang sebagai kado ulang tahun Mas Candra yang ke-60 pada Agustus tahun lalu. Kebetulan Mas Candra juga sedang menyusun buku Perjalanan Sebuah Lagu yang berisi cerita sejarah beliau berkarya dan persoalan hak cipta di Indonesia. Setelah ngobrol, akhirnya ide itu diseriusi.

Apa konsep album ini?

Kami tidak mau album ini sekadar nostalgia lagu-lagu lama buatan saya. Kami sengaja mengumpulkan talenta-talenta musik Indonesia yang berkualitas. Dan kami tak memberi sekat antara musikus independen atau mainstream. Makanya kami juga melibatkan Mondo Gascaro, White Shoes & The Couple Company, hingga Afgan, Sheila Majid, dan Fariz R.M. Bakat musik Indonesia kan sangat banyak dan bagus-bagus.

Bagaimana proses pemilihan musikus dan penyanyi yang terlibat?

Saya tidak terlibat langsung karena tinggal di Singapura. Diskusinya lebih banyak antara Panji dan Nikita Dompas. Saya sekadar memberikan masukan begitu musik dasar sudah jadi. Dikirim via WhatsApp, saya dengarkan. Kalau ada yang kurang atau berlebih, saya berikan saran.

Apa yang Anda rasakan ketika bekerja dengan para musikus muda itu? Adakah perbedaan cara kerja? Apa saja masukan Anda kepada mereka?

Sebetulnya saya terbuka untuk setiap aspirasi para musikus. Tapi, secara umum, saya hanya meminta musiknya tidak 100 persen elektronik, tetap memasukkan unsur alat musik akustik. Semua instrumen dimainkan live, tidak menggunakan mesin, supaya sentuhan emosionalnya kuat. Toh, saya tak menutup diri dengan unsur elektronik.
Dalam lagu Lautan Kenangan yang dibawakan Maliq & D’Essentials, misalnya, mereka banyak menggunakan bebunyian dari synthesizer. Saya sekadar mengingatkan agar tak terlalu banyak, lalu saya beri saran di bagian akhir lagu diberi unsur terompet. Hasilnya kan jadi lain, ada rasa garamnya-lah, ha-ha-ha….

Dalam AMI Awards, album ini mendapatkan dua penghargaan bergengsi. Apa maknanya buat Anda?

Saya sempat terkejut karena di AMI kami mendapatkan 7 nominasi pada 7 kategori. Sayangnya, sewaktu diumumkan, saya sedang tak di Indonesia. Jadi yang menerima Panji dan kawan-kawan. AMI Awards buat saya mirip penghargaan Oscar untuk film. Pemilihan pemenangnya dilakukan rahasia dan oleh banyak orang, yakni 600 anggota AMI. Tanpa ada pesanan dari siapa-siapa.
Buat saya, penghargaan ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih memberikan penghargaan kepada produksi musik yang digarap secara serius. Ini memberikan harapan kepada para musikus yang kerap mengeluh: zaman sekarang musiknya payah. Album inilah jawabannya, bahwa kalau Anda melakukan secara serius, apresiasi dan penghargaan itu ada.

Ya, banyak yang berkomentar musik zaman sekarang rasanya monoton dan itu-itu saja...

Setelah AMI, saya mendapat banyak komentar dari beberapa musikus senior. Mereka bilang, selamat kalian berhasil lepas dari tren musik elektronik zaman sekarang. Hal itu membuktikan, sebetulnya para musikus masih punya kemungkinan untuk menembus perusahaan rekaman meski berbeda selera dengan tren yang ada. Selera musik masyarakat Indonesia tidak monoton, kok.

Bagaimana dengan penjualan album ini sampai sekarang?

Panji: Bagus dan masih berjalan. Saat ini sudah tembus 10 ribu. Kalau mau dibandingkan dengan album pop lain tentu penjualan segitu, ya kalah jauh. Tapi, untuk album semacam ini, sudah prestasi lumayan.

Candra: Alhamdulillah. Itu 10 ribu penjualan CD, lo ya, di zaman digital seperti sekarang. Dengan capaian itu dan sambutan hangat dari pendengar musik, yakin tidak mau comeback?

Kalau comeback, saya harus full time di musik. Sedangkan saya kan masih bekerja, di luar negeri pula. Tapi saya pelan-pelan menyiapkan banyak proyek terkait dengan musik. Salah satunya konser Chaseiro pada 28 Oktober nanti. Kami akan menampilkan Chaseiro All Star yang terdiri atas tujuh penyanyi muda berbakat Indonesia. Kami sadar diri usia sudah semakin tua, kami ingin meneruskan semangat Chaseiro ini ke generasi muda. Judul konsernya saja "Dunia Di Batas Senja" karena kami memang sudah di usia senja, ha-ha-ha….

Di acara Homecoming UI, Anda mendapatkan penghargaan sebagai penggagas Jazz Goes To Campus (JGTC). Sekarang acara festival musik serupa sudah banyak, bahkan ada yang sampai dibuat di gunung. Apakah Anda merasa misi membawa musik jazz menjadi lebih inklusif sudah berhasil?

Ya, JGTC itu festival jazz paling tua di Indonesia, muncul sebelum Java Jazz dan Jak Jazz. Saya bersyukur karena sekarang festival lain bermunculan. Ini perkembangan yang menggembirakan. Buat musikus, ramainya acara seperti ini jadi kesempatan untuk tampil dan hidup. Harus diakui banyak musikus menggantungkan penghasilannya dari pertunjukan ketimbang rekaman. Musik jazz sendiri sampai sekarang masih minoritas, tapi saya senang semangat JGTC menular.

Sampai tahun ini, Anda sudah 18 tahun bekerja untuk WIPO. Hal apa yang bisa diterapkan di Indonesia untuk mendorong kemajuan industri musik?

Hak cipta dan kekayaan intelektual itu tidak melulu soal musik. Hak atas kekayaan intelektual (HAKI) adalah modal penting yang membuat suatu bangsa bisa maju. Sistem HAKI yang baik di suatu negara bisa mendorong inovasi dan kreativitas. Selama di WIPO, saya mempelajari negara mana yang berhasil menerapkan sistem ini sehingga bisa maju.

Contohnya?

Cina. Dulu mereka dikenal sebagai bangsa pembajak karya orang lain. Tapi sekarang mereka sudah naik kelas menjadi negara inovator. Cina sekarang sudah bisa memproduksi teknologi dan inovasi sendiri, sehingga mereka sekarang sudah sadar akan pentingnya sistem HAKI. Malaysia, Thailand, dan Vietnam juga sudah mengarah ke sana. Inovasi dan kreativitas jadi strategi pembangunan mereka, didukung oleh sistem HAKI yang kuat.

Artinya sistem HAKI yang kuat akan mendorong munculnya inovasi.

Anda menangkap maksud saya. HAKI itu dua sisi, perlindungan dan insentif. Dengan adanya perlindungan atas HAKI, inovator akan berlomba-lomba dalam berkarya.

Bagaimana agar Indonesia punya sistem HAKI yang kuat?

Saya menyarankan agar pemerintah periode berikutnya punya menteri koordinator inovasi. Tugasnya adalah menarik simpul-simpul dari berbagai sektor untuk menjadi lokomotif kemajuan bangsa. Sekarang ada menko perekonomian, tapi inovasi juga harus diutamakan. Kita harus mulai membangun sistem HAKI untuk mendorong munculnya banyak inovasi yang bakal menjadi motor pertumbuhan.

Kabarnya Anda diminta melanjutkan masa jabatan sebagai Deputi Direktur WIPO Asia-Pasifik?

Saya pensiun pada 2022 mendatang, tapi bisa diperpanjang sampai 2025. Tapi saya memilih kembali ke Indonesia. Bukan karena capek, tapi ingin membantu organisasi (Yayasan Karya Cipta Indonesia yang didirikan Candra) lagi. Enaknya, kalau di Indonesia, saya yang mengatur waktu, bukan orang lain.

Bagaimana soal tren layanan musik digital? Banyak musikus yang komplain karena pembayaran royaltinya tak adil.

Layanan musik streaming seperti Spotify dan Apple Music membuktikan bahwa, kalau karya musik tersedia secara legal di Internet, masyarakat mau kok membayar untuk berlangganan. Pada dasarnya manusia itu baik. Soal keadilan buat musikus, sebetulnya perusahaan layanan sudah jelas menyatakan mereka hanya mengambil keuntungan 30 persen. Sebesar 70 persen urusan perusahaan rekaman. Ini sudah jelas, kok pernyataan mereka. Sekarang tinggal organisasi penyanyi dan pencipta lagu berunding dengan organisasi produser. Pembagian honor, ya kesempatan masing-masing antara artis dan perusahaan rekaman. Makanya, penting adanya organisasi musikus yang kuat. Organisasi musikus dan industri rekaman harus berembuk supaya jangan ada lagi kecurigaan atau ketidakpuasan di antara mereka. Rumusan pembagian honor di zaman rekaman analog itu sudah tak bisa dipakai. Dulu 7-8 persen untuk pencipta lagu, 10-12 persen untuk penyanyi. Ini sudah beda karena mata rantai produksi dan distribusi analog sudah beda. Dulu butuh biaya untuk distribusi, pemasaran, dan toko. Sekarang kan langsung, kasihlah lebih ke pencipta lagu, kasihlah ke penyanyi lebih besar.

Candra Marzuki Darusman

Tempat, tanggal lahir: Bogor, 21 Agustus 1957

Pekerjaan : Musikus, perwakilan Indonesia untuk WIPO

Grup musik: Chaseiro, Karimata

Instrumen: Kibor, piano, gitar

Tahun aktif: 1978-sekarang

Diskografi

Album Solo
Indahnya Sepi (1981)
Kekagumanku (1983)

Album Kompilasi

Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman (2018)

Album Bersama Chaseiro
Pemuda (1979)
Bila (1979)
Vol. 3 (1981)
Ceria (1982)
Persembahan (2001)
Retro (2011)
Retro 2 (2014)

Album Bersama Karimata
Pasti (1985)
Lima (1987)
Biting (1989)
Karimata-Dave Valentin (1990
Jezz (1991)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus