Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Cholil Mahmud "Efek Rumah Kaca": RUU Permusikan Tak Jelas Mau Bicara Apa

Rancangan Undang-Undang Permusikan menuai respons negatif dari sejumlah musikus dan publik.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cholil Mahmud. TEMPO/Ratih Purnama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rancangan Undang-Undang Permusikan menuai respons negatif dari sejumlah musikus dan publik. Rancangan aturan ini dianggap bermasalah karena hadirnya pasal karet yang termuat dalam Pasal 5 RUU tersebut. Para musikus yang tergabung di dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan juga melihat adanya pasal yang mengekang kebebasan berekspresi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setidaknya terdapat empat poin yang menjadi fokus dari keresahan para musikus itu. Selain pasal karet, adanya poin uji kompetensi bagi pemusik pun menjadi perhatian mereka dan ditambah dengan Pasal 10 yang dianggap berpotensi memarginalkan pemusik independen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu inisiator gerakan ini adalah Cholil Mahmud, vokalis band Efek Rumah Kaca. Ia memulai gerakan ini dengan mengundang berbagai pemusik lintas genre untuk bergabung dalam sebuah grup percakapan WhatsApp dan membahas masalah di dalam RUU ini. Ia juga termasuk musikus yang paling awal membaca draf rancangan aturan tersebut.

Pada Selasa, 12 Februari lalu, anggota koalisi penolak RUU Permusikan bertemu dengan anggota Komisi X DPR RI, Anang Hermansyah; Glenn Fredly, yang mewakili Kami Musik Indonesia; serta band Slank. Pertemuan dilaksanakan di markas Slank di Jalan Potlot III, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Cholil memang tidak hadir dalam pertemuan itu karena sudah kembali ke New York, Amerika Serikat, tempat ia bermukim. Namun dia terus mengikutinya dari jauh dengan saksama. Salah satu hasil pertemuan itu adalah mendesak agar DPR membatalkan RUU Permusikan dan seluruh proses yang tengah berjalan. "Kami keras dalam memiliki sikap, tapi kami menghargai pendapat orang lain," kata Cholil kepada wartawan Tempo, Diko Oktara.

Dalam wawancara melalui Skype pada Kamis pagi lalu itu, Cholil bercerita tentang awal mula munculnya gerakan penolakan RUU Permusikan ini. Termasuk aktivitasnya di Amerika Serikat bersama anak dan istrinya, Irma Hidayana, yang sedang kuliah program doktoral di sebuah universitas. Berikut ini cuplikan wawancara tersebut.

Siapa inisiator pertemuan di Potlot?

Kami berkomunikasi karena ingin tahu juga suaranya Slank seperti apa, dan mereka menyambut itu. Mereka memang ingin menemui pihak-pihak yang kami katakan tidak sepaham karena ada yang menolak dan ada yang ingin merevisi (RUU Permusikan). Slank ingin tahu juga dan jadwal pertemuan pun disepakati. Dari kubu koalisi (melakukan kontak) dengan manajer Slank, ada juga yang menghubungi Anang dan Glenn.

Suasana pertemuannya seperti apa?

Pertemuan itu dimulai sekitar pukul 7 atau 8 malam, selesainya jam 11 malam. Santai (suasananya) sebenarnya. Dari awal kami keras dalam artian sikap, tapi menghargai sikap orang lain. Kami cukup percaya diri karena bekerja untuk membongkar RUU itu dan kami sendiri teredukasi bahwa banyak yang bolong di RUU itu. Kami benar-benar sedikit tidur saat itu.

Kenapa sedikit tidur?

Kami diskusi ke mana-mana. Kami selalu datang wawancara televisi dan radio, sehingga kami sendiri, selain menguasai masalah, juga menjadi tahu prosesnya bagaimana. Jadinya bisa punya data untuk berbicara dibanding kubu yang pro-revisi. Kami juga jelas ada bahannya. Banyak juga yang mungkin tidak terpapar dengan jelas mengenai apa kekurangan RUU Permusikan, akhirnya kami kasih penjelasan. Hari itu, kami banyak sekali acara selain ke Potlot. Ada diskusi di Bandung, ada juga yang diundang Badan Keahlian DPR untuk focus group discussion (FGD).

Apa isi FGD dengan Badan Keahlian?

Mereka minta masukan karena di media sosial ramai. Mereka tahunya sudah cukup mengakomodasi banyak pihak. Kami datang untuk menyampaikan suara kami untuk menolak RUU itu, sembari bertanya kepada mereka kenapa isi RUU-nya begitu. Mereka lalu bercerita kepada kami.

Cerita seperti apa?

Keputusan penolakan tetap ada di DPR, bukan di Badan Keahlian DPR. Selama mereka sudah masuk program legislasi nasional dan tidak ada penarikan, Badan Keahlian akan terus bekerja. Mereka tidak bisa stop itu.

Awal terbentuknya koalisi ini seperti apa?

Di antara teman-teman koalisi, saya termasuk yang awal-awal baca drafnya, tapi tidak pernah bisa duduk untuk membaca dengan cermat isi RUU-nya. Hanya yang ketahuan parah sekali seperti Pasal 5 serta Pasal 50. Waktu itu saya masih di Jakarta. Tanggal 29 Januari pagi masih menemani Glenn Fredly untuk wawancara di CNBC. Saya masih berfokus soal tata kelola industri dan kebebasan ekspresinya dikekang.

Kapan membaca isi RUU Permusikan dengan cermat?

Besoknya (30 Januari) saya pulang (ke New York). Mulai ada kesempatan baca dengan teliti. Saat itu juga, RUU-nya mulai beredar, banyak orang pegang. Dari situ, saya melihat ada teman-teman yang sudah bersuara gitu, lalu saya mencoba mengumpulkan mereka di grup WhatsApp berdasarkan opini pribadinya di media dulu. Kami merasa satu pemahaman bahwa ini tidak benar, banyak yang kacau. RUU ini tidak jelas mau bicarakan apa. Materinya kok luas sekali. Kalau mau bahas soal tata kelola, diubah saja (nomenklaturnya) menjadi tata kelola industri musik. Kalau tata kelola industri itu aturan main soal ekonomi.

Setelah ada grup percakapan itu, apa yang dilakukan?

Dari situ mulai dibicarakan. Persiapkan materi yang kami tolak, hari Jumat (1 Februari 2019) terbentuk, Sabtu (2 Februari) diskusi di dalam (grup), masih 15 orang. Lalu kami mulai mengumpulkan suara dan buat surat pernyataan. Ketika membuat press release, ada 262 orang musikus terhimpun. Kemudian kami membahas daftar inventarisasi masalah. Rabu berikutnya dirilis itu, ternyata hanya empat pasal yang sekiranya tidak terlalu bermasalah karena itu normatif. Selebihnya ada tumpang-tindih. Ada yang tidak jelas mengatur apa. Benar-benar kacau.

Siapa yang membuat grup WhatsApp?

Saya minta tolong Nastasha Abigail (vokal latar Efek Rumah Kaca) dan dimasukkan beberapa orang dari ERK. Tapi buat sense of belonging terhadap gerakannya, beberapa orang ERK keluar dulu. Kalau enggak salah, di awal itu isi grupnya ada Wendi Putranto, Arian (Seringai), Endah Widiastuti (Endah N Rhesa), Danilla Riyadi, Jason Ranti, Kartika Jahja, dan Mondo (Gascaro). Mereka komentarnya di media oke, jadi tidak perlu lagi berdebat setuju RUU atau tidak. Dari sana kami bergerak, mempertajam argumentasi kami.

Anda tahu ada RUU Permusikan kapan?

Saya datang ke acara bedah RUU di Cilandak Town Square. Barangkali sekitar 20-an Januari. Lantas, saya diajak bertemu dengan Ketua DPR oleh Glenn.

Salah satu poin pertemuan Potlot adalah Musyawarah Musik Indonesia, seperti apa itu?

Yang ingin diwujudkan musyawarah, ya, pemetaan ulang permasalahan di industri musik Indonesia. Itu belum terlalu jelas, siapa yang akan selenggarakan, dananya dari mana, paling tidak untuk awalan misalkan benar berhasil dibatalkan (RUU Permusikan). Lalu permasalahan-permasalahan yang timbul selama ini kami mau coba inventarisasi, apa benar itu masalah? Kalau benar, dicari solusinya. Kami tidak ingin prosesnya salah. Hasilnya akan kacau jika prosesnya salah.

Bagaimana pembagian tugas di koalisi?

Rata-rata keinginan pribadi mereka. Ada yang minta khusus untuk terlibat. Normal saja, sesuai dengan keinginan, tak ada paksaan. Ini sukarela semua orang yang merasa akan terkena dampak aturan ini. Ada yang merasa tahu soal peta musik, ada yang soal desain, ada yang buat website. Ada yang media monitoring sampai keuangan.

Nama koalisinya sedikit nakal, siapa yang punya ide?

Ide dari Wendi (Putranto) mungkin, ya. Memang bandel dan lumayan catchy. Itu merepresentasikan kekesalan kami terhadap RUU itu. Barangkali bagi sebagian orang lucu, nakal, tendensius, jorok, tapi secara substansi solid dan secara emosi itu marah, gimmick.

Saat ini Anda tinggal di New York, apakah ada waktu khusus yang disediakan untuk manggung di Indonesia?

Kemarin (akhir Januari, ERK konser) karena lagi liburan sekolah musim panas, Juli-September. Desember kemarin, istri saya mengambil data di Indonesia. Saya juga bisa pulang. Ya sudah, sekalian manggung. Saat sekolah libur saja, nanti pulang lagi.

Kegiatan saat senggang di New York apa saja?

Senggang terus. Mengurus anak, mengurus rumah, lalu baca buku dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Menemani anak belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus urusan sekolahnya anak. Saya juga sudah bisa memasak sekarang, belajar dari YouTube dan diajarkan istri. Tidak mahir juga, sekadar bisa saja.

Di Jakarta, Efek Rumah Kaca membangun Kios Ojo Keos, bagaimana ceritanya?

Kami merasa ada sesuatu hal yang bisa kami lakukan untuk mengangkat derajat keterlibatan terhadap politik, terutama bagi anggota Efek Rumah Kaca. Adanya kios mungkin membuat teman-teman lebih mau belajar macam-macam. Di sana, ada macam-macam acara. Kalau ada orang lain mau belajar bareng, tidak apa-apa juga. Bisa macam-macam arahnya. Elevasi pengetahuan kami soal apa saja, termasuk politik. Kami ikut beri ruang kepada teman-teman yang susah dapat panggung. Kami beli alat, berkontribusi ke komunitas selain dagang juga.

Berapa lama persiapan membuat kios?

Kami ditawari sejak Agustus 2017. Namun baru kami ambil November 2017. Buka pertama kali Mei 2018, tapi halaman daringnya di Instagram ada sejak Januari 2018. Kami tes dulu di Instagram sebelum tokonya jadi.

Perkembangannya sekarang seperti apa?

Lumayan menyenangkan. Maksudnya, kalau secara finansial, belum lah. Secara sosial dan manfaat, kami merasa cukup banyak, terutama bagi kami sendiri. Jadi tahu berbagai macam isu, belajar mengadakan kegiatan, ketemu banyak orang, mengorganisasi sesuatu, termasuk aktivisme. Yang paling nyata soal RUU Permusikan, beberapa orang di kios cukup aktif di grup koalisi nasional.

Baru-baru ini kan ERK juga habis membuat konser "Tiba-tiba Suddenly Rekaman", bagaimana ide awalnya konser dengan penonton yang bernyanyi?

Ruru Radio, yang membuat acara ini, awalnya ingin mengadakan acara lagi sebelum saya balik ke New York. Sebelumnya sudah diadakan dua kali (konser). Mereka yang merancang dan timbul ide sekarang yang menyanyi adalah penonton. Mungkin pertimbangannya berdasarkan pengalaman main di konser Suddenly sebelumnya yang suara penonton lebih keras dibanding suara kami.

Cholil Mahmud

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 28 Juni 1976

Pendidikan:
- S-1 jurusan Akuntansi STIE Perbanas, Jakarta
- S-2 Arts Politics, New York University, Amerika Serikat

Band: Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi

Diskografi:
- Efek Rumah Kaca (2007)
- Kamar Gelap (2008)
- Daur Baur (bersama grup Pandai Besi, 2013)
- Sinestesia (2015)

Penghargaan bersama Efek Rumah Kaca:
- The Best Cutting Edge, MTV Indonesia Award (2008)
- Rookie of the Year, Rolling Stone Indonesia (2008)
- Class Music Heroes (2009)
- The Best Album, Indonesia Cutting Edge Music Awards (2010)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus