Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa penyegelan situs makam Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, pada 20 Juli lalu, oleh pemerintah daerah (pemda) Kuningan menarik perhatian publik. Pemda beralasan bahwa makam tokoh Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah, dan istrinya, Ratu Ermalia Wigarningsih, di Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, itu tidak memiliki izin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi Kanti Setianingsih, tokoh Sunda Wiwitan, bersama Juwita, kakaknya, dan anggota Komunitas Sunda Wiwitan lainnya bergerak melawan penyegelan makam orang tua mereka itu. “Kami di komunitas sudah mencoba mengajukan izin, tapi tidak ada regulasi. Mereka mengasumsikan itu tugu, bukan makam,” kata anggota Komnas Perempuan tersebut kepada Dian Yuliastuti dari Tempo, Senin pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satpol PP Kabupaten Kuningan menyegel Tugu Batu Satangtung di area bakal pemakaman Curug Goong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, 20 Juli 2020 siang. TEMPO/ROMMY ROOSYANA
Dewi Kanti menunjukan kolom agama dalam KTP-nya di Kantor Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Pada Perempuan, Jakarta, 28 Juli 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Dalam perbincangan lewat sambungan telepon itu, Dewi Kanti juga menceritakan upaya komunitas penganut kepercayaan leluhur Nusantara itu mengupayakan kesetaraan dan keadilan, kesibukannya di Komnas Perempuan, hingga kesehariannya.
Peristiwa penyegelan situs kemarin sangat memukul Komunitas Sunda Wiwitan?
Peristiwa meledaknya tragedi penyegelan itu puncak. Kami mencoba dialog, tapi tidak setara karena mereka menunjukkan kuasa relasi. Sebetulnya, pemerintah pusat sendiri sudah ada apresiasi terhadap desa kami sebagai ikon Desa Pancasila. Orang tua kami juga mendapatkan Anugerah Kebudayaan, kajian manuskrip adat juga ada di Perpusnas dan banyak sekali. Ini berbanding terbalik dengan perlakuan pemda Kuningan.
Anda di mana waktu terjadi penyegelan?
Kami ada di Kuningan. Mereka menghitung waktu, on time. Ada teguran pertama dan kedua. Kami di komunitas sudah mencoba mengajukan izin, tapi tidak ada regulasi. Mereka mengasumsikan itu sebagai tugu, bukan makam. Ya, jadinya seperti itu.
Bagaimana perkembangannya setelah Komnas HAM turun tangan dan munculnya petisi daring untuk mendukung Komunitas Sunda Wiwitan?
Kami terus mendorong mediasi dan dialog dengan pemda. Langkah ini mulai terasa progresnya. Dukungan DPD dan jaringan mempercepat proses dialog. Kami juga sudah berkoordinasi dengan pemda Kuningan. Kami bersepakat, langkah penyelesaian harus berdasar konstitusi. Sekretaris Daerah Kuningan menjadi Ketua Panitia Pengakuan Masyarakat Adat. Selama belum ada mediator, tidak terjadi dialog yang setara.
Siapa yang menjadi mediator?
Sejauh ini kawan-kawan DPD PDI Perjuangan. Karena kasus ini sudah menjadi perhatian nasional dan internasional.
Bagaimana dampak peristiwa itu pada komunitas?
Bukan hanya berdampak pada kami, anak biologis. Terus terang hal itu sangat memukul kami. Saya perlu waktu menguatkan perasaan saudara-saudara, ibu-ibu, dan remaja. Saling menguatkan. Syok, saudara dan ibu adat enggak bisa marah, cuma menangis. Proses ini membuat kami lebih kuat. Mungkin kami dianggap aneh, tapi ke depan akan jadi contoh. Ketulusan dan guyub kehidupan itu modal. Kegotongroyongan dalam kemurnian hati. Lepaskan atribut keagamaan untuk kemanusiaan. Itu yang enggak dilihat masyarakat umum. Mudah-mudahan ini jadi pelajaran berharga.
Anda berbagi tugas dengan saudara yang lain?
Kami sudah berbagi tugas. Juwita (kakak) dan pendamping adat mengurus masalah ini. Ini juga transformasi kepemimpinan perempuan, kolektif kolegial. Kami berdelapan, tujuh perempuan dan satu laki-laki. Kami mengoptimalkan fungsi kepemimpinan.
Apa yang Anda petik dari kasus ini?
Hmm... Kasus ini lagi-lagi menunjukkan pola pikir masyarakat belum clear. Masih belum cukup ruang untuk memahami dan mengerti tentang perbedaan. Sebenarnya kami saat ini dalam kondisi antara siap dan tidak siap untuk membangun dan menata permakaman orang tua. Kami tidak berpikir ada pertentangan. Itu tanah kami. Masyarakat lokal tidak ada masalah, bahkan terlibat dalam pembangunan dan bergotong-royong. Di kampung, kami bersaudara meski beragam agama.
Apa yang diajarkan orang tua Anda?
Orang tua kami menganjurkan kerukunan pada laku dan kerja bersama, termasuk kami, delapan bersaudara. Kakak pertama menjadi pendeta, jatuh-bangun berevolusi menemukan titik spiritualitas berbeda. Orang tua kami mengajarkan pengertian yang sama, bukan sekadar pengakuan. Pengertian oleh nilai kemanusiaan, ketuhanan. Kakak kedua beragama Katolik, ketiga muslim. Kami tidak merasa ada persoalan. Hubungan dialog, santai, bercanda di meja makan, bukan lewat ketegangan untuk pembenaran masing-masing. Itu yang diajarkan orang tua, mencerminkan leluhur kami, leluhur Nusantara yang memberi ruang untuk bertemu.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017 yang bahwa negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan, apakah kurang kuat implementasinya?
Betul. Sekarang ada batu ujinya dengan persoalan yang masih muncul ini. Jadi, masih perlu ada pembenahan dan perlindungan. Masih ada kegalauan dan keraguan dalam menginterpretasikan agama dan kepercayaan. Ada penyeragaman terhadap agama dan kepercayaan setara. Implementasinya terjebak pada legal formal yang administratif, bukan esensi kemanusiaan. Harusnya negara hadir pada pelayanan publik yang setara dan tidak diskriminatif.
Jenis diskriminasi yang masih sering dialami?
Kebanyakan secara administratif dan terutama pada perempuan dan anak-anak. Misalnya, perempuan butuh aspek pemulihan nama baik dari stigma diskriminatif dari kejadian yang dialami sebelumnya. Dicap sesat.
Apa dampak stigma itu?
Dampak stigma, terutama pada perempuan, seperti status hukum perkawinan itu perlu ditegaskan, ada kejelasan. Sehingga jelas hubungan keperdataan suami-istri, anak. Sejauh ini yang perlu didorong adalah ruang-ruang dan hak pemulihan korban. Bagaimana dengan perempuan adat yang jauh dari akses. Di Komnas Perempuan terdapat 115 dokumentasi laporan kasus dari para perempuan penghayat. Kami prediksi masih ada potensi kasus terkait dengan perempuan adat dan sumber daya alam hingga UU Minerba yang penting dievaluasi.
Bagaimana mengadvokasi 115 kasus itu?
Komnas Perempuan mengawal terus, mendialogkan kebijakan diskriminatif ini agar pelan-pelan terurai. Di KP, ini bidangnya Gugus Kerja Sub-Komisi Kebinekaan. Sementara saya di Sub-Komisi Pemantauan. Hal ini berkaitan dengan persoalan sumber daya alam dan perempuan adat. Pembangunan sering melewatkan hal-hal itu, sering abai.
Bagaimana pengalaman Anda dan keluarga menghadapi diskriminasi?
Itu sudah bagian dari sejarah hidup saya. Pada 1980-an, badai bagi komunitas kami, jatuh-bangun distigma. Waktu saya SD itu sedang hangat-hangatnya. Untuk mempertahankan keberlangsungan komunitas, ayah pernah masuk Katolik, pernah distigma komunis. Pada 1980, keluar dari Katolik dan dikriminalisasi. Ini berdampak pada kami, dipaksa dikumpulkan ke ruang guru. Namanya waktu itu masih kecil mana bisa berdebat dan mikir macam-macam, jadinya, ya nangis saja. Kakak saya waktu SMA tidak naik kelas gara-gara berdebat dengan guru PMP yang menstigma kami. Pelarangan adat waktu itu diumumkan di upacara bendera.
Kolom agama di KTP bagaimana?
Yang saya alami di KTP milih strip. Kalau negara mau mendefinisikan agama dan kepercayaan setara, harusnya muncul di KTP. Apa pun yang diyakini warga harus diakui. Saya pernah kehilangan dompet dan lapor polisi untuk bikin surat kehilangan. Tapi saya tidak bisa mendapatkan surat kehilangan itu karena tidak bisa dicetak. Sebab, salah satu kolom agama tidak diisi. Mudah-mudahan sekarang tidak ada.
Dokumen lain masih terhambat?
Warga yang saya pantau soal Jamkesmas tak ada masalah. Namun akta perkawinan belum clear. Yang lain lebih ke pemulihan mekanismenya seperti apa, tapi belum ada ruang. Tidak didaftarkan. Anak-anak terutama terbelenggu dengan stigma. Bahkan ada anak yang sudah besar, tapi nama pada aktanya masih belum muncul nama bapaknya.
Apakah ada pemaksaan mengikuti agama tertentu?
Belum ada lagi. Tapi pemaksaan busana sejauh ini masih bisa diatasi. Ini kasuistis. Itu sebabnya lembaga HAM mengawal rekomendasi.
Bagaimana dengan pendidikan anak-anak Sunda Wiwitan di tengah pandemi?
Mungkin ini saat yang baik untuk mencari pola paling efektif bagi pengajaran yang baik. Mungkin harus ditumbuhkan kemandirian lokal untuk mendefinisikan pentingnya pendidikan dalam perspektif kebudayaan lokal. Sebelum pandemi, ada dawuh untuk mengupas padi bulir demi bulir bukan ditumbuk.
Bagaimana dengan seren taun?
Itu pernah kami alami pada 1980 seren taun (upacara adat panen padi masyarakat Sunda setiap tahun) dilarang. Padahal ini penguatan batin. Kami melawan tidak dengan kekerasan, tapi dengan budaya. Ini lebih khidmat.
Tahun ini seren taun tetap dilaksanakan?
Rencana pada Agustus ini dengan pola berbeda, lebih ke ruang-ruang diskusi, bagaimana kesenjangan informasi pengetahuan yang disosialisasikan untuk masyarakat lebih didekatkan. Syukuran secara komunitas ada, tapi terbatas di ruang internal. Buat kami malah lebih khimat, esensinya bukan tontonan, melainkan juga tuntunan. Satu sisi bagi pemda ini menjadi aset wisata, tapi bagi kami ini tuntunan untuk menyelamatkan aset lingkungan. Biasanya ritual dan ekspresi seni budaya.
Concern kami merawat seni tradisi yang hampir punah, memberi pengetahuan kepada masyarakat. Seperti kami mengangkat tradisi Ronggeng Gunung yang hampir punah. Ronggeng Gunung memperlihatkan ruang perempuan berjuang pada masa penjajahan. Seni-seni itu diorong muncul lagi.
Oh ya, apa saja kegiatan Anda kini di Komnas Perempuan?
Lebih banyak webinar, rapat kantor, duduk di meja bisa lebih dari 10 hingga 12 jam. Bahkan pernah 18 jam. Orang sekarang jadi mengajak rapat daring. Lebih banyak membaca buku kebijakan. Dulu advokasi di lapangan, sekarang melalui institusi lebih ke sistem.
Anda suka main kecapi?
Saya nyaris enggak punya ruang bermain kecapi lagi. Kalau lagi iseng, butuh jeda main kecapi sambil nembang. Itu bekal dari orang tua. Di lagu itu juga ada tuntunannya. Ketika kesel, vibrasi denting kecapi bertemu suara itu pemulihan. Saya mengalami banget, enggak sekadar lagu yang ditembangkan, tapi ada energi dan vibrasi keselarasan.
Hobi lain?
Hobi lain seni, menyanyi, bermain alat musik, dan berenang. Tapi saat pandemi begini enggak bisa keluar rumah. Ada kolam ikan seuprit yang ditata jadi kolam renang untuk quality time bersama bocah-bocah keluarga biar terhibur, meriung-riung.
Anda bungsu dari delapan bersaudara, biasa manja di rumah?
Saya ini bungsu yang melayani senior malah. Tomboi, sering diledek kakak, enggak main boneka, tapi oprek elektronik. Saya melihat ayah yang sering bongkar-pasang mesin mobil dan berkesenian. Jadi, keingintahuan, ngoprek, dan berkesenian ini terinspirasi dari ayah. Diketawain dan diisengin kakak. Tapi tetap nurut perintah kakak. Dekat dengan ayah, ini yang bikin saya pertama dari anak-anaknya yang bisa bawa mobil dan antar-jemput kakak, ha-ha-ha.
Biodata
Nama: Dewi Kanti Setianingsih
Lahir: Bandung, 3 Juli 1975
Jabatan:
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (2020-2024)
Pengalaman Organisasi:
- 1998-sekarang: Yayasan Tri Mulya Tri Wikrama (d/h: Yayasan Tri Mulya) Lembaga Pendidikan dan Pelestarian Kebudayaan Nusantara, Kuningan, Jawa Barat.
- 2001-2010: aktif di Yayasan MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama) Jakarta.
- 2002-2018: aktif di Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP) Jakarta.
- 2003-2006: mendirikan Paguyuban Anti-Diskriminasi Agama, Adat Kepercayaan (PAKUAN) Jawa Barat bersama Jaringan Pemuda Antar-Iman.
- 2008-2013: aktif di DPP HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME)
- 2006-sekarang: anggota Perkumpulan ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)
- 2014-sekarang: Girang Pangaping Adat Karuhun Sunda Wiwitan
- 2017-sekarang: Ketua Yayasan Tri Mulya Tri Wikrama
Penghargaan:
- Penerima Australia Award Fellowship dalam program Indonesian Women Human Rights Defender (IWHRD) Mei–Juni 2014, Queensland University of Technology (QUT) Brisbane.
- Penerima Penghargaan Perempuan Penggiat Perdamaian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, April 2017
- Dinobatkan sebagai Pekerja Binadamai dari Tanah Pasundan melalui Program Respect and Dialogue (READY) di Jawa barat dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo