Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbekal dana pribadi dan donasi masyarakat, dokter spesialis anak dari Surakarta ini memberikan bantuan layanan kesehatan untuk anak-anak pengungsi Rohingya.
Penyakit ganas hingga kematian mengintai anak-anak pengungsi Rohingya yang sulit mengakses layanan kesehatan.
Kebutuhan air bersih dan lingkungan sehat sangat diperlukan anak-anak pengungsi Rohingya.
Seperti melawan arus, Ardi Santoso, dokter spesialis anak dari Surakarta, memutuskan pergi ke Aceh. Tujuannya cuma satu: ingin memberikan layanan kesehatan bagi anak-anak pengungsi Rohingya yang ditampung sementara di beberapa lokasi di provinsi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masifnya penggambaran buruk terhadap etnis Rohingya yang kabur hingga ke Indonesia membuat nuraninya bimbang. Alasan sederhananya, para pengungsi tersebut juga manusia yang layak dibantu. "Mereka juga muslim. Sesama muslim harus membantu," kata Ardi saat dihubungi Indra Wijaya dari Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, Ardi pergi ke Aceh pada 25-26 Desember lalu. Selama dua hari, ia memaksimalkan pemberian bantuan berupa layanan kesehatan bagi anak-anak pengungsi. Tentu dia berangkat tidak dengan tangan kosong. Ardi membawa persediaan obat untuk anak. Obat-obatan dan segala keperluan itu didapatkan dari donasi masyarakat.
"Jadi saya memang buka donasi lewat yayasan saya, Yayasan Ardi Santoso Indonesia. Selama satu pekan terkumpul sekitar Rp 20 juta," kata Ardi.
Setidaknya, ada tiga lokasi pengungsian yang ia sambangi, yakni di Yayasan Mina Raya di Padang Tiji, Kabupaten Pidie; Desa Pagu; dan di Gedung Balee Meuseuraya Aceh di Banda Aceh. Dari situ, ia mendapat informasi bahwa penyakit batuk, pilek, dan kulit menjadi masalah utama anak-anak pengungsi Rohingya.
Kini Ardi semakin bertekad memberikan bantuan kepada anak-anak pengungsi Rohingya. Tentunya melalui koordinasi dengan Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Selain itu, ia sedang mempersiapkan penyaluran bantuan untuk anak-anak Palestina yang terkena dampak serangan militer Israel.
Ardi juga bercerita tentang ikhtiarnya memberikan edukasi kesehatan anak lewat media sosial. Saat ini ia aktif di Instagram dengan jumlah pengikut sebanyak 798 ribu. Adapun di kanal YouTube, ia memiliki 42 ribu pengikut. Berikut ini wawancara Tempo dengan Ardi Santoso.
Bagaimana ceritanya Anda memutuskan berangkat ke Aceh untuk membantu pelayanan kesehatan bagi anak-anak pengungsi Rohingya?
Pertama, karena mereka juga muslim, tapi beritanya kok simpang-siur. Saya bertanya-tanya apakah benar seperti itu? Saya melihat mereka kasihan sekali, tidak dibantu. Palestina saja dibantu. Kenapa yang ini tidak dibantu?
Jadi awalnya saya juga ragu. Saya sudah bicara dengan keluarga tentang rencana saya hendak ke Aceh. Keluarga juga meminta saya hati-hati soalnya masih kontroversial. Ya sudah, saya cari-cari informasi dulu dari teman-teman dan lihat berbagai informasi yang benar di media sosial, termasuk dari sejarawan.
Akhirnya saya paham bahwa para pengungsi itu muslim dari Myanmar. Ya sudah, saya putuskan berangkat. Sembari menunggu persiapan, saya buka donasi karena kebetulan saya punya yayasan sendiri, namanya Yayasan Ardi Santoso Indonesia. Niat saya, siapa yang mau titip untuk mereka. Lalu saya unggah di media sosial. Ternyata respons yang menghina itu banyak sekali. Saya agak drop juga. Jadi berangkat atau tidak, ya?
Lalu?
Selanjutnya, saya berdiskusi dengan keluarga. Akhirnya saya tetap putuskan berangkat langsung. Selanjutnya, saya tanya-tanya kepada pihak UNHCR di sana, kondisi di lapangan seperti apa. Saya tanyakan apa saja kekurangan mereka. Ya sudah, saya putuskan berangkat sendiri tanpa donasi.
Ternyata, saat saya cek rekening yayasan, banyak juga yang memberikan sumbangan. Banyak yang menitip bantuan, akhirnya saya semakin bulat berangkat. Dari informasi UNHCR, yang paling dibutuhkan adalah obat-obatan. Ya sudah, saya siapkan. Bismillahirrahmanirrahim, saya berangkat. Tidak peduli dihujat orang banyak.
Ardi Santoso saat memberikan arahan kepada pengungsi Rohingya di rubanah Gedung Balee Meuseraya Aceh, Kota Banda Aceh, 26 Desember 2023. Dok.Pribadi
Berapa donasi yang terkumpul dan Anda belanjakan apa saja?
Donasi dalam satu pekan itu ada Rp 20 jutaan dan ini terus berjalan. Semakin ramai saya dihujat, ternyata semakin banyak yang ikut menyumbang lewat saya. Jadi saya sempat berpikir kok enggak searah, ya? Banyak yang hujat saya di media sosial, tapi banyak juga yang ikut menyumbang. Apakah yang menghujat itu buzzer? Saya enggak tahu. Ya sudah, saya belanjakan obat-obatan. Sebagian sisanya masih saya tahan karena untuk kepentingan berikutnya. Sebab, problem ini masih panjang.
Banyak warganet yang bertanya mengapa Anda tidak membantu sesama orang Indonesia?
Kan masyarakat kita ada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan), ada puskesmas. Sedangkan mereka pengungsi Rohingya enggak punya apa-apa. Makanya layak untuk dibantu.
Apa yang Anda temukan selama berada di Aceh?
Saya sampai bandara langsung ke Pidie, dua jam perjalanan. Lokasinya di Yayasan Mina Raya di Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Seperti gedung bekas sekolah. Menurut saya, itu enggak layak karena kumuh, tapi mau bagaimana lagi. Cuma tempat itu yang menerima mereka sebagai tempat penampungan sementara.
Ternyata di sana sudah ada UNHCR dan IOM. Mereka sudah mendampingi dan memberikan klinik kesehatan. Makanan juga sudah beres. Artinya, saya enggak perlu memberi bantuan. Akhirnya saya pergi ke penampungan di pesisir pantai di Desa Pagu.
Apa yang Anda temukan di desa tersebut?
Di sana saya kaget karena ini satu kelompok berisi 130-an orang, kebanyakan anak-anak, tapi sudah lima kali dipindahkan. Mereka ditolak masyarakat di sekitar sana. Mau dipindahkan ke Yayasan Mina, sudah tidak muat.
Pengungsian di Desa Pagu itu sempat mencekam. Karena itu, orang-orang dari UNHCR dan IOM meminta saya berhati-hati kalau di sana. Kalau bisa, parkir mobil cari yang aman, yang mudah pergi jika situasi tidak kondusif. Saya sempat heran, ini saya mau bantu apa mau perang? Kok, menakutkan sekali?
Ternyata di lokasi enggak seperti yang dikhawatirkan. Di lokasi pengungsian itu, ada rumah kosong, lalu dipakai untuk menampung mereka, termasuk dua gedung sekolah. Enggak layak, tapi mau bagaimana lagi.
Apakah Anda sempat berjumpa dengan warga lokal yang berjaga di lokasi pengungsian?
Saya sempat ngobrol dengan orang-orang desa yang menjaga pengungsian. Saya izin mau memberikan pengobatan kepada mereka. Yang menjaga itu sempat mukanya enggak enak. Saya enggak boleh bawa bantuan selain obat-obatan karena takutnya bikin warga desa iri, malah bisa ramai.
Ya, akhirnya saya bisa masuk memeriksa anak-anak di pengungsian itu. Tempat memeriksanya juga enggak layak. Saya bahkan sambil berdiri untuk memeriksa mereka. Anak-anak banyak yang sakit batuk, pilek, dan kulit.
Saya sempat bertemu dengan lurah di desa itu. Saya mengeluhkan soal sampah yang berserak di lokasi pengungsian. Saya tawarkan bantuan untuk membersihkan. Lalu saya keluhkan air di kamar mandi pengungsian karena sangat minim. Akhirnya Pak Lurah melunak dan memperbolehkan kami berikan bantuan untuk pengungsi Rohingya.
Ardi Santoso saat memberikan bantuan kesehatan kepada anak-anak pengungsi Rohingya di rubanah Gedung Balee Meuseraya Aceh, Kota Banda Aceh, 26 Desember 2023. Dok.Pribadi
Apa yang Anda lakukan sebelum meninggalkan lokasi pengungsian?
Sebelum pergi, saya sempat titipkan sesuatu untuk desa itu. Saya anggap itu seperti sumbangan untuk kas masjid di sana. Harapan saya, bantuan yang saya bawa itu juga untuk warga desa yang sudah menerima para pengungsi Rohingya.
Alhamdulillah, Pak Lurah desa itu mengabulkan permohonan saya agar puskesmas setempat bersedia memberikan bantuan kesehatan bagi yang kondisinya gawat. Akhirnya pihak puskesmas keesokan harinya datang dan memberikan layanan kesehatan. Semuanya ditanggung IOM.
Jadi sebenarnya kebutuhan makan, kesehatan, dan lainnya sudah ditanggung oleh UNHCR dan IOM. Mereka cuma butuh tempat untuk berlindung yang aman sembari menunggu pendataan oleh UNHCR untuk ditindaklanjuti karena Indonesia tidak menandatangani Konvensi 1951. Mau tidak mau, pengungsi Rohingya tidak bisa lama-lama di sini. Paling bisa ditujukan ke negara ketiga. Jadi mereka cuma butuh tempat penampungan sementara. Tapi, kalau tempatnya enggak kondusif, ya, lama-lama mereka bisa sakit.
Apa yang Anda lakukan pada hari kedua?
Selanjutnya saya baru ke Banda Aceh, di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA). Saya lakukan pemeriksaan di situ, bahkan sempat makan siang bareng mereka. Saya cek isu yang ramai selama ini, apakah benar mereka enggak mau terima makanan dari kita. Saya cek sendiri mereka mau makan makanan seadanya. Lalu soal kabar mereka mogok makan, saya cek ternyata mereka puasa. Maklum, bahasa mereka asing dan enggak banyak yang paham. Jadi kemungkinan ini cuma salah komunikasi.
Apakah Anda juga mengalami kendala bahasa saat memberikan pelayanan kesehatan kepada pengungsi Rohingya?
Iya, tapi beruntung saya di Banda Aceh bertemu dengan anak usia 16-18 tahun yang bisa bahasa Inggris. Saya bisa komunikasi dan tanya ke dia mengapa pengungsi pergi ke sini. Jawabannya, di sana enggak aman. Bahkan orang tua mereka masih di Bangladesh. Dia ingin sekolah. Dia belajar bahasa Inggris di pengungsian di sana.
Berkat bantuan dia, saya bisa berkomunikasi dengan para pengungsi dan saya obati mereka. Sempat obat yang saya bawa kurang sehingga saya belikan dulu. Saya berkoordinasi dengan IOM dan UNHCR agar mereka dipotong rambutnya. Saya agak cerewet di situ. Pokoknya mereka harus mandi, harus bersih.
Mereka keluhkan air bersih yang sedikit. Ya sudah, saya sampaikan ke UNHCR agar membantu mereka. Air bersih itu penting lho buat mereka. Tolong diperhatikan. Tapi terbentur oleh aturan pemerintah daerah. Polisi pun seharusnya menjaga mereka sesuai dengan aturan.
Saya juga minta teman-teman Rohingya tidak berbuat aneh-aneh. Sebab, saya paham mereka terusir di mana-mana dan tidak diterima di sini dengan alasan yang rumit juga. Saya minta mereka tunjukkan ke orang Indonesia bahwa kalian baik. Kalau berbuat aneh-aneh, kalian akan semakin jelek di mata orang Indonesia.
Jadi sebenarnya bagaimana kondisi kesehatan anak-anak pengungsi Rohingya?
Ya, itu, batuk, pilek, demam, dan sakit kulit. Ini terjadi karena mereka tidak diurus. Sakit kulitnya sangat-sangat parah. Ada kasus seluruh badan kena scabies (kudis). Itu adalah kasus hewan (parasit) yang masuk ke kulit. Itu bisa menyerang seluruh badan. Bisa dari kutu dan sebagainya. Bagaimana mereka bisa kena scabies? Tempat tidurnya tidak bersih, seadanya, dan air bersih enggak ada.
Saya sempat bingung mau bagaimana karena obat scabies harus dioleskan setiap pekan sekali. Setelah itu harus mandi besar, mandi bersih seluruh badan. Saya sempat berkoordinasi dengan UNHCR untuk membantu ketersediaan air, tapi yang penting ada yang menggerakkan. Setiap Jumat, mandi besar yang benar-benar bersih. Pokoknya setelah oleskan obat.
Apa bahayanya jika penyakit anak-anak pengungsi Rohingya tidak terobati?
Ya, kalau batuk dan pilek tidak tertangani, bisa jadi pneumonia. Kalau scabies, bisa semakin parah dan mengurangi kualitas hidup anak, misalnya tidak mau makan, bahkan bisa infeksi parah. Bisa sampai kematian lho kalau kondisi lingkungan semakin buruk.
Apa yang bisa Anda lakukan selanjutnya untuk anak-anak pengungsi Rohingya?
Saya sempat menelepon PP IDAI (Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia) lewat dokter Piprim Basarah Yanuarso. Saya minta tolong agar ada dokter anak yang membantu. Akhirnya beliau berkoordinasi dengan IDAI Aceh agar bisa mengirim dokter anak ke pengungsian.
Tapi, beberapa hari setelah itu, ada kabar bahwa sekelompok mahasiswa mengusir pengungsi di Gedung BMA. Bagaimana tanggapan Anda?
Betul. Sehari setelah itu, saya dapat kabar dari UNHCR bahwa tempat pengungsian mereka digeruduk mahasiswa. Saya sedih betul karena pengobatan mereka belum selesai. Banyak anak yang sakit batuk, pilek, dan sakit kulit. Itu tidak manusiawi sekali perlakuannya.
Sekarang, pasca-kejadian pengusiran oleh mahasiswa itu, saya enggak tahu lagi bagaimana kondisi mereka. Bagaimana mengupayakan pengolesan salep dan mandi besarnya itu. Jadi khawatir saya kondisi kulit mereka semakin parah. Ini darurat karena enggak ada yang pikirkan ini, kasihan. Mereka anak-anak, lho.
Bagaimana serangan komentar negatif dari warganet terhadap unggahan Anda tentang bantuan untuk anak-anak pengungsi Rohingya?
Siapa sih yang tidak terganggu kalau dikata-katain? Tapi saya sengaja tidak menutup kolom komentar. Tapi, dari warganet, saya percaya penilaian tentang buruknya literasi Indonesia. Ya, ini buktinya. Saya enggak mau tanggapin mereka. Saya tidak akan menggadaikan iman dan ilmu saya hanya demi popularitas duniawi. Saya enggak peduli dengan jumlah pengikut saya di media sosial.
Tapi, kalau saya lihat, malah jumlah pengikut saya bertambah. Di Instagram, misalnya. Sebelum saya unggah soal Rohingya itu, jumlah pengikut saya 740 ribu sekian. Sekarang malah naik jadi 799 ribu sekian. Itu cuma masalah angka. Saya enggak mau pikirkan jumlah pengikut itu.
Anda juga kumpulkan donasi untuk Gaza. Bagaimana perkembangannya?
Alhamdulillah, untuk donasi Gaza, antusiasmenya tinggi sekali. Lumayan banyak uangnya, mencapai Rp 400 juta dalam waktu tiga bulan. Saya coba upayakan bisa masuk ke Gaza lewat Kedutaan Palestina. Tapi, melihat banyaknya bantuan dari Indonesia yang masih tertahan tidak bisa masuk ke Gaza, akhirnya kami coba bekerja sama dengan JHCO, lembaga swadaya masyarakat dari Yordania. Jadi beberapa penyaluran bantuan dari Baznas juga bekerja sama dengan JHCO.
Di Yordania, ada juga lokasi pengungsian warga Palestina sebanyak 6.000 orang. Jadi nanti kami bisa memberikan donasi ke sana dan tetap usahakan bisa masukkan bantuan ke Palestina lewat JHCO. Sebab, setahu kami, JHCO bisa masuk sampai ke Gaza. Bahkan bisa bikin rumah sakit lapangan di Gaza. Saat ini sedang bikin MoU (nota kesepahaman) dengan JHCO. Rencananya akhir Januari saya akan ke Yordania.
Anda sangat aktif di media sosial dengan memberikan edukasi kesehatan. Sejak kapan?
Sejak 2011 saya aktif di media sosial. Dulu saya aktif di Twitter, lalu sekarang pindah ke YouTube, Instagram, dan Facebook. Saya masuk ke media sosial karena masyarakat kita itu eranya digital, era lima detik, dan literasi rendah. Lagi pula, kalau saya menjelaskan di ruang poliklinik, itu saya capek. Jadi saya berikan penjelasan masif lengkap dengan propaganda positif lewat media sosial.
Sebab, begini, masyarakat kita susah disuruh baca. Orang tua diminta baca buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) itu susah banget. Itu pasti enggak dibaca. Lalu dari mana mereka belajar itu? Ya, dari media sosial. Nah, di situlah yang saya sasar. Tentu dengan bahasa awam yang mudah dimengerti, tapi masih bisa saya pertanggungjawabkan secara medis.
Anda kerap memakai filter lucu dan unik saat memberikan edukasi di media sosial. Apakah sengaja?
Iya, itu bagian dari propaganda saya dalam menyampaikan edukasi kesehatan anak. Padahal di kehidupan asli saya sangat jauh dari kesan pemakaian filter di media sosial itu. Selain tentang kesehatan fisik, saya bikin pesan kepada orang tua agar jadi orang yang baik dalam membesarkan anak. Sebab, anak-anak tidak sekadar tumbuh kembang fisik, tapi juga perilakunya. Orang tua harus punya bekal yang bagus untuk mendidik perilaku anak. Jadi dokter anak itu berkontribusi membentuk karakter anak lewat orang tuanya.
Bagaimana perjalanan karier Anda sebagai dokter anak? Mengapa pilih spesialisasi anak?
Cita-cita saya memang ingin jadi dokter anak. Sebab, menurut saya, anak itu kertas putih yang bisa kita bentuk apa saja. Makanya masa depan itu, ya, anak-anak. Adapun saya lulus kedokteran anak pada 2011 di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Saat ini saya berpraktik hanya di Klinik Utama Kasih Ibu Sehati. Saya aktif di organisasi manajemen rumah sakit.
Seperti apa penyakit yang mengintai anak saat ini?
Jelas yang ramai saat ini ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) sampai pneumonia misterius itu. Padahal sejatinya enggak misterius karena memang terjadi lonjakan jumlah kasus pneumonia akibat pengaruh krisis iklim. Jadi krisis iklim ikut mempengaruhi mutasi virus dan bakteri. Intinya, bakteri dan virus bisa berkembang dengan lebih ganas, tapi kita tidak mengimbangi itu dan justru malah lepas masker setelah masa pandemi. Ya sudah, mudah terinfeksi penyakit itu. Jadi anak mudah batuk-pilek, apalagi saat sekolah. Kuncinya cuma satu, yaitu protokol kesehatan dan etika saat batuk.
Bagaimana Yayasan Ardi Santoso Indonesia berkiprah?
Yayasan ini baru berdiri pada 2023. Sebenarnya yayasan ini berfokus untuk urus anak-anak, terutama asal Palestina. Sebab, selain mengenai kesehatan, kami memikirkan masa depan mereka. Sekarang bertambah dengan anak-anak Rohingya. Saya juga sedang siapkan bantuan berupa beasiswa kuliah, tapi saya berikan pendampingan karakter juga. Jadi tidak sekadar diberi beasiswa, lalu dilepas begitu. Harapannya, ketika lulus, dia bisa lebih baik untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain.
Apakah ada rencana berkunjung ke Aceh lagi untuk memberikan bantuan layanan kesehatan bagi anak-anak pengungsi Rohingya?
Insya Allah ada. Saat ini jarak jauh dulu karena akhir Januari besok saya berfokus ke Palestina.
Apa hobi Anda?
Hobi saya traveling, baca buku, dan kegiatan sosial. Kalau buku, saya suka buku ilmu pendidikan kesehatan anak. Ya, sesuai dengan pekerjaan saya. Lalu sekarang baca-baca buku politik karena saya sadar hidup semakin keras, makanya saya pelajari semua itu. Saya juga kerap baca buku marketing soal personal branding. Ini sangat berguna untuk membentuk karakter.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo