Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak yang belum tahu, salah satu putri terbaik bangsa menduduki jabatan penting di sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia adalah Enny Sudarmonowati, yang pada 2018 terpilih sebagai Presiden International Co-ordinating Council of the Man and the Biosphere (ICC-MAB) Programme UNESCO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lembaga ini, Enny, yang juga menjabat Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bertugas menentukan sebuah wilayah layak dijadikan kawasan cagar biosfer atau tidak. Setiap tahun, ia bersama anggota menyeleksi puluhan hingga ratusan usulan yang masuk dari banyak negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun ini, Indonesia patut senang karena ICC-MAB menetapkan dua kawasan, yakni Togean Tojo Una-Una di Sulawesi Selatan dan Saleh-Moyo-Tambora (Samota) di Nusa Tenggara menjadi cagar biosfer baru. Keputusan itu diambil dalam sidang ICC-MAB ke-31 yang dipimpin Enny pada 17-21 Juni lalu, di kantor UNESCO di Paris, Prancis.
Saat penetapan itu, Enny bercerita, delegasi Indonesia yang berjumlah 46 orang-terbanyak dalam sejarah sidang UNESCO-melakukan perayaan dengan meriah. Perwakilan pemerintah daerah yang hadir memakai baju daerah dan membawa alat musik tradisional.
Penetapan ini menyusul 14 cagar biosfer lain yang sudah ditetapkan beberapa tahun lalu. "Tapi jumlah ini masih kurang. Saya ingin Indonesia punya 50 cagar biosfer sampai 2045 nanti," kata Enny saat diwawancara reporter Tempo, Praga Utama, dan fotografer Nurdiansyah, di kantornya, di LIPI, Kamis lalu.
Dalam wawancara selama hampir satu jam, Enny menjelaskan manfaat yang akan dirasakan Indonesia dengan keberadaan cagar biosfer. Tak hanya demi kepentingan konservasi flora dan fauna, kata Enny, konsep cagar biosfer juga akan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.
Bagaimana proses penetapan status sebuah kawasan sehingga masuk daftar cagar biosfer UNESCO?
Kawasan yang ingin dimasukkan ke daftar diajukan oleh pemerintah negara anggota program Man and the Biosphere (MAB) UNESCO. Di Indonesia, lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mengurusi hal ini adalah LIPI. Kebetulan saya juga jadi ketua komitenya. Mulanya usulan kawasan yang akan dijadikan cagar biosfer datang dari pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan LIPI). Tapi, sejak 2014, ketika saya jadi ketua Komite Nasional untuk Program MAB, saya mulai mendorong usulan kawasan cagar biosfer datang dari pemerintah daerah.
Mengapa?
Karena konsep cagar biosfer itu kan terdiri atas tiga bagian: zona inti (kawasan konservasi utama), zona penyangga, dan zona transisi. Biasanya, zona inti adalah hutan lindung atau taman nasional yang wilayahnya dikuasai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan zona penyangga dan zona transisi, yang luas wilayahnya lebih besar, dikuasai pemerintah daerah, sehingga ada kepentingan pemerintah daerah juga di sana.
Apa yang harus dipersiapkan pemerintah daerah kalau mau mengusulkan wilayahnya masuk program ini?
Ketika suatu wilayah akan diusulkan, pemda membentuk tim untuk menyusun dossier (dokumen) yang diperlukan sekaligus rencana manajemen 10 tahun ke depan, serta menentukan zonasi dan batas-batasnya yang jelas. Syarat ini dari UNESCO. Ini melibatkan semua pihak. Lalu menentukan zonasi dan batas-batasnya. Setelah lengkap, dokumen dikirim ke komite untuk ditelaah oleh badan penasihat ICC-MAB. Jika dinilai oke, baru saya bersama Wakil Ketua ICC-MAB lain membahas apakah nominasi akan direkomendasikan ke dalam sidang atau tidak.
Selanjutnya, barulah penetapan dilakukan di sidang tahunan, di hadapan 34 negara anggota dan observer. Masing-masing akan menyampaikan pandangannya atau keberatan. Kalau semua setuju, saya ketuk palu untuk menetapkan cagar biosfer baru. Dalam sidang kemarin, selain menetapkan dua cagar biosfer baru di Indonesia, kami menetapkan 13 kawasan dari berbagai negara. Sekarang total ada 701 cagar biosfer yang tersebar di 124 negara.
Apa pentingnya keberadaan cagar biosfer bagi Indonesia?
Cagar biosfer adalah konsep paling ideal karena konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan digabungkan. Artinya, masyarakat yang ada di sekitar kawasan ikut terlibat.
Apa bedanya dengan konsep taman nasional, cagar alam, atau hutan lindung?
Pada paradigma taman nasional atau hutan lindung, sering terjadi konflik dengan penduduk, karena ruang gerak masyarakat untuk mencari penghasilan jadi terbatas. Sebab, area yang ditetapkan sama sekali tidak boleh dirambah. Sederhananya, konsep man and biosphere ini mengharmonisasi manusia dengan lingkungannya, dengan semangat memanusiakan manusia yang hidup di sekitar kawasan konservasi. Landasannya adalah tiga pilar utama, yakni konservasi, pembangunan berkelanjutan, dan riset.
Bagaimana penerapannya di lapangan?
Setelah disetujui, pemerintah daerah bersama stakeholder lain membentuk semacam badan pengelola atau konsorsium yang diketuai pihak pemerintah daerah dengan wakil ketuanya kepala taman nasional setempat sebagai pengelola zona inti. Nanti anggota badan atau konsorsium bisa dari swasta, lembaga swadaya masyarakat, universitas, hingga pemuka adat. Masyarakat sekitar mendapatkan pendampingan dalam mengelola obyek wisata di zona penyangga dan zona transisi, serta mendapatkan pelatihan untuk mengelola produk dan jasa berdasarkan potensi yang ada. Ini menjadi sumber penghasilan masyarakat, sehingga mereka tak merambah zona inti yang merupakan area konservasi.
Bukankah konsep serupa ada pada program kehutanan sosial Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup?
Semangatnya sama, tapi kelebihan cagar biosfer adalah rekognisi internasional karena setelah ditetapkan, suatu kawasan akan menjadi bagian dari jaringan cagar biosfer sedunia. Perhatian internasional menjadi lebih tinggi, nilai jualnya juga jadi lebih baik. Status cagar biosfer dapat dimanfaatkan menjadi semacam sertifikasi untuk produk dan jasa yang dijual di kawasan. Misalnya sebuah resor atau hotel bisa melakukan branding dengan cagar biosfer asalkan menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan. Begitu juga dengan produk perhutanan dan pertanian yang berasal dari sana, bisa dijual dengan harga lebih tinggi di pasar internasional setelah mendapatkan branding cagar biosfer.
Apakah cagar biosfer di Indonesia sudah berhasil menjalankan konsep itu?
Kami memulai dengan pembuatan logo pada setiap lokasi cagar biosfer. Logo ini yang kemudian jadi trademark yang bisa dimanfaatkan oleh UKM dan pengusaha untuk branding dan pemasaran. Sejauh ini Cagar Biosfer Cibodas, Jawa Barat, salah satu yang terbaik. Mereka sudah punya lima produk yang bisa dipasarkan dan berhasil menggandeng beberapa hotel dan homestay.
Selain itu, Cagar Biosfer Taka Bonerate di Sulawesi Selatan dan Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah mulai melakukan branding cagar biosfer dalam pemasaran aneka produk perhutanan dan perkebunan melalui usaha kecil dan menengah masyarakat setempat. Produk mereka bagus-bagus, dari madu hutan, kenari, melinjo, hingga aneka keripik yang diproduksi secara ramah lingkungan. Di luar negeri, branding cagar biosfer sudah menggunakan fee. Artinya, pengusaha yang ingin melakukan branding di produknya harus membayar. Tapi di Indonesia masih kami gratiskan.
Apa upaya Anda agar semakin banyak kawasan di Indonesia yang mendapatkan status cagar biosfer?
Indonesia mengikuti program ini sejak 1977. Waktu itu pemerintah mengusulkan empat lokasi (Cibodas, Pulau Komodo, Tanjung Puting, dan Lore Lindo). Kemudian menyusul dua lokasi (Leuser dan Siberut) pada 1981. Sejak saat itu, Indonesia tak punya cagar biosfer baru, hingga pada 2009 Sinarmas mengusulkan Giam Siak Kecil-Bukit Batu di Riau yang merupakan bagian dari wilayah hutan industrinya. Ini jadi terobosan, karena pihak swasta menjadi pengusul. Sejak saat itu, Indonesia menjadi percontohan buat negara lain. Maka, ketika saya ditunjuk menjadi ketua komite nasional, saya langsung membuat peta jalan dengan target Indonesia punya 50 cagar biosfer pada 2045.
Jumlah itu berdasarkan jumlah taman nasional milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mencapai 54 lokasi. Tapi cagar biosfer juga bisa berupa wilayah perairan, dan ada banyak kawasan konservasi perairan milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang juga bisa dijadikan cagar biosfer. Cagar Biosfer Samota jadi contoh pertama kawasan perairan KKP yang mendapatkan status itu. Makanya kami mendorong agar pemerintah daerah terus aktif mengusulkan wilayahnya dijadikan cagar biosfer.
Daerah mana lagi yang akan mengusulkan wilayahnya menjadi cagar biosfer?
Untuk tahun depan kami mempersiapkan tiga wilayah, yakni Merapi-Merbabu-Menoreh di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah; Karimun Jawa di Jawa Tengah, dan Bunaken di Sulawesi Utara. Dokumennya sedang dipersiapkan untuk diajukan ke ICC-MAB sebelum tenggat 30 September nanti. Saya menargetkan Indonesia bisa mendapatkan minimal dua cagar biosfer baru dari UNESCO setiap tahun. Supaya pemerintah daerah tertarik, komite memfasilitasi penggunaan nama kabupaten dalam nama resmi cagar biosfernya, misalnya Rinjani-Lombok, Betung Kerihun Danau Sentarum-Kapuas Hulu, sehingga muncul kebanggaan bagi masyarakat.
Tapi status cagar biosfer tak menjamin kawasan hutan lebih terlindungi, Giam Siak misalnya, yang sempat diserobot perkebunan ilegal?
Selain perambahan hutan, Giam Siak sempat terkena kebakaran hutan. Namun kami juga punya argumentasi bahwa dengan adanya status cagar biosfer, justru penanganan dan pencegahan perambahan atau kebakaran hutan jadi lebih baik. Kalau tidak, bisa saja kerusakan lebih parah. Memang tetap ada hal-hal yang sulit dikontrol, seperti perambahan ilegal. Karena itu, pemerintah juga jadi lebih hati-hati karena disorot internasional.
Kawasan konservasi idealnya tidak dirambah. Jika sebelum penetapan cagar biosfer sudah ada perambahan, kepala daerah membuat surat pernyataan bahwa zona intinya tidak akan diganggu. Kalau di zona penyangga dan zona transisi, aktivitas pertambangan atau hutan produksi masih boleh ada asalkan ada jaminan menerapkan praktik berkelanjutan.
Sebagai seorang ilmuwan, apa manfaat keberadaan cagar biosfer bagi kepentingan dunia ilmiah?
Bedanya cagar biosfer dengan status World Heritage yang juga dikeluarkan oleh UNESCO adalah salah satu syaratnya soal keberadaan keanekaragaman hayati yang unik dan perlu dikonservasi. Pulau Komodo kan jelas, ini satu-satunya di dunia. Kemudian di Togean ada spesies tarsius dan monyet Macaca togeanus yang khas. Ini jadi sumber penelitian yang menarik. Penelitian ilmiah di kawasan cagar biosfer juga akan lebih mudah dalam hal mencari pendanaan, karena karya tulis hasil penelitiannya pasti mendapatkan rekognisi secara internasional.
Apakah penelitian di cagar biosfer sudah banyak dilakukan?
Belakangan justru banyak temuan menarik, misalkan di Wakatobi dan Giam Siak Kecil, peneliti bioteknologi menemukan microalgae yang berpotensi untuk produksi biodiesel dan farmasi. Beberapa spesies koral dan spons di sejumlah wilayah perairan juga sedang diteliti untuk obat antikanker. Di cagar biosfer lain, penelitian pemanfaatan energi terbarukan dari tenaga angin, arus laut, dan matahari juga sedang berjalan. Banyak lembaga penelitian dan universitas negara lain yang terlibat, sehingga memperluas koneksi bagi para peneliti Indonesia.
Prof. Dr. Enny Sudarmonowati
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo