Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Evy Ayu Arida, komodo, yang sedang ramai dibicarakan, bukan sekadar lambang keunikan fauna Indonesia. Menurut Kepala Pusat Riset Zoologi Terapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), itu, komodo seperti kotak pandora yang menyimpan banyak misteri. Maklum, hewan bernama latin Varanus komodoensis itu sudah hidup sejak jutaan tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun riset tentang komodo masih sangat minim di Indonesia. Evy menyebutkan ada banyak sebab. Salah satunya soal perizinan. “Komodo dianggap masalah yang strategis dan politis. Jadi, tidak mudah mendapatkan izin penelitian tentang komodo,” kata Evy kepada wartawan Tempo, Indra Wijaya, di kantornya di Cibinong, Kabupaten Bogor, Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum lagi persoalan hanya ada sedikit peneliti yang tertarik pada reptil. Sebab, bagi sebagian orang, reptil menggelikan dan beberapa di antaranya dianggap berbahaya. “Dari kesan reptil itu menjijikkan, berbahaya, dan haram. Haram itu maksudnya setiap orang, ketika melihat ular, pasti menganggapnya jahat. Mungkin sebenarnya yang jahat kita duluan, lalu ularnya membalas.”
Isu komodo mengemuka beberapa pekan terakhir karena kontroversi harga tiket masuk Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur menjadi Rp 3,75 juta. Harga sebelumnya Rp 5.000-7.500 untuk warga Indonesia dan Rp 150-225 ribu untuk warga asing. Namun kenaikan harga tiket itu ditunda dan baru berlaku pada 1 Januari 2023.
Namun Evi tidak masuk ke soal kontroversi tiket itu. Selain soal minimnya penelitian, ia bercerita awal mulanya mempelajari reptil, lalu berfokus meneliti komodo, kuatnya unsur kepentingan di luar sains pada komodo, juga soal penulisan sastra yang sudah lama menjadi kegemarannya. Berikut ini petikan wawancaranya.
Sejak kapan Anda terjun ke dunia reptil?
Saya terjun ke dunia reptil sejak 2000 ketika direkrut sebagai CPNS di LIPI (kini BRIN). Sebenarnya enggak suka juga dengan reptil. Tapi, saat itu, kepala balai saya menjelaskan bahwa saat itu kekurangan peneliti reptil. Kala itu, formasi pegawai yang tersedia di LIPI untuk posisi peneliti reptil dan amfibi. Jadilah saya masuk. Saya sudah janji saat wawancara akan mempelajari reptil. Jadilah saya 22 tahun di dunia reptil.
Anda merasa geli atau jijik tidak dengan reptil?
Memang. Saya sempat memprotes ke pimpinan mengapa saya ditempatkan di reptil. Geli rasanya. Lalu saya diminta belajar dulu. Tapi penasaran juga mengapa pimpinan saya berkeras menempatkan saya ke reptil. Okelah, saya coba dulu pada reptil yang tidak geli. Saya pilih kura-kura dan penyu. Tapi kok lama-lama bosan juga. Apalagi kura-kura dan penyu itu hewan yang lambat. Jadi, semakin lama saja rasanya. Lalu saya belajar pegang-pegang cicak. Ternyata enggak apa-apa. Lalu saya cari kadal. Ternyata lucu juga, ya. Seru, begitu. Lalu ke ular yang tidak berbisa. Kalau ular berbisa, sampai sekarang pun saya masih ngibrit, ha-ha-ha. Jauhin saja. Jangan dimainkan.
Apa menariknya reptil?
Satu ya, kalau dari visi saya setelah 22 tahun, ini adalah hewan yang jarang diungkap karena dianggap menjijikkan. Terlebih, ada yang berbisa. Jadi, pengungkapan satwa reptil masih sedikit, walaupun dalam 5-10 tahun terakhir mulai banyak buku herpetologi (mengenai satwa reptil dan amfibi) yang hidup di Sumatera, di gunung ini dan itu. Di YouTube juga mulai populer tokoh-tokoh yang dekat dengan reptil.
Sejauh ini, bagaimana penelitian reptil di Indonesia?
Masih tertinggal, karena itu tadi, banyak orang jijik dan geli pada reptil. Saya punya pengalaman dengan beberapa mahasiswa. Ada yang berani, tapi kebanyakan penelitiannya tidak akan dekat dengan reptil. Mereka memilih topik yang aman. Jadi, kalau dibilang tertinggal, ya, memang jauh tertinggal.
Evy Ayu Arida memegang anak buaya di Sungai Meranti, Riau, 2015. Dok. Pribadi
Apakah ada alasan lain mengapa riset tentang reptil dihindari?
Dari kesan reptil itu menjijikkan, berbahaya, dan haram. Haram itu maksudnya setiap orang, ketika melihat ular, pasti menganggapnya jahat. Mungkin sebenarnya yang jahat kita duluan, lalu ularnya membalas. Atau reptil besar seperti buaya dan biawak karena ukurannya jumbo, jadi dianggap berbahaya. Padahal, kalau reptil bertemu dengan manusia pun, seperti di perumahan, kebanyakan mereka menghindari manusia. Kalau kasus biawak masuk rumah itu memang dia cari makan di dapur. Kalau orang itu buang sampah sembarangan, apalagi yang amis-amis, pasti biawak datang karena bau amis itu makanan dia.
Apa kerugian jika riset reptil Indonesia tidak tergali?
Sayang sekali, karena kita sudah sering dengar dan baca di publikasi bahwa Indonesia itu negara biodiversitas. Artinya, punya jenis hewan dan tumbuhan yang banyak. Tapi banyak yang belum digali. Kita tahu, tapi kita belum tahu manfaatnya. Mungkin yang digali jenis reptil tidak menjijikkan. Padahal bisa jadi reptil yang wujudnya menjijikkan itu punya manfaat bagi kita.
Bagaimana mengubah stigma negatif tentang reptil?
Mungkin perlu diteliti dari aspek sosial mengapa masyarakat masih takut pada ular. Padahal sejatinya hewan ini tidak berkaki dan tidak bertangan. Mengapa sangat dianggap berbahaya?
Apa fungsi reptil untuk alam?
Sama dengan jenis hewan di alam liar, pasti punya fungsi masing-masing. Kalau reptil, jadi predator di tengah rantai makanan. Artinya, reptil ada pemangsanya. Kita perlu tahu juga bahwa di dunia ini ular dijadikan sebagai lambang kesehatan atau obat. Jadi, sebenarnya ular memang punya manfaat.
Sejak kapan Anda meneliti komodo?
Saya tertarik pada komodo pada 2006. Saat itu ada proyek tentang komodo. Saya mulai di situ karena melihat komodo sebagai jenis reptil yang strategis dari segi wisata, ilmu, dan sosial-budaya. Komodo hanya ada di Indonesia, di pulau-pulau tertentu. Dan kebanyakan yang meneliti itu dari luar negeri. Karena itu, saya melihat ada kesempatan berkontribusi.
Saat itu meneliti tentang apa?
Sederhana. Tentang filogeografi, atau persebaran hewan berdasarkan kekerabatannya. Ada beberapa populasi komodo di dalam dan di luar Taman Nasional. Jadi, teorinya, yang jaraknya berdekatan itu, ya, berkerabat. Persebaran nenek moyang komodo itu dari timur ke barat. Berdasarkan fosil yang ditemukan di Australia di Queensland sampai ke Flores. Nah, sekarang ada mahasiswa saya yang sedang meneliti osteologi atau sistem pertulangan komodo dibanding dua jenis biawak lain di Indonesia. Penelitian itu akan melihat seberapa banyak kesamaan antara fosil dan komodo yang masih hidup saat ini.
Mengapa peneliti komodo di Indonesia lebih sedikit dari peneliti luar negeri?
Peneliti luar negeri pasti menembus perizinan yang sangat lengkap. Peneliti dalam negeri pun begitu. Seharusnya peneliti dalam negeri tidak serumit (untuk peneliti asing) itu perizinannya. Sehingga penelitian tentang masyarakat yang hidup di dekat habitat komodo dan jenis-jenis hewan yang hidup di habitat tersebut ada.
Peneliti tentang komodo agak sedikit karena komodo dianggap masalah yang strategis dan politis. Jadi, tidak mudah mendapatkan izin penelitiannya. Izin penelitiannya menjadi ranah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mungkin ada (peneliti) yang ingin, misalnya, merendahkan Republik ini dengan mengatakan komodonya tidak sehat dan lain-lain. Ada pihak yang menjadikan penelitian sebagai penghakiman sebuah negara.
Izin ketat mungkin untuk menghindari ekses negatif dari penelitian luar?
Bicara soal komodo memang tidak mudah. Dapat dilihat dalam berbagai aspek. Saya pernah ikut asesmen tentang reptil yang terancam punah dari IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Berdasarkan asesmen itu, sepertinya sudah banyak pihak yang menginginkan komodo harus terancam punah. Mungkin dengan status komodo terancam punah akan bagus karena bakal mendapatkan perhatian khusus, termasuk pendanaan untuk riset sampai kampanye wisata.
Bukankah memang komodo terancam punah?
Saya melihat data dari Taman Nasional bahwa populasi komodo turun-naik, dan ini wajar jika dilihat dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Jadi, data ini tidak mencerminkan komodo terancam punah. Banyak yang mempertanyakan sikap saya. Tapi saya jelaskan bahwa ini kan berdasarkan data survei. Jadi, naik-turun. Ada kalanya naik, ada kalanya turun. Fluktuatif. Melihat persebaran komodo yang endemik, bisa dilihat dua hal, yakni keunikannya dan keterancamannya. Jadi, orang menganggap tinggal di pulau-pulau kecil sebagai hal yang terancam. Padahal dari dulu jumlah komodo, ya, segitu-segitu saja, yakni 2.000 ekor, naik jadi 3.000, lalu kembali 2.000 ekor lagi. Ketika meneliti komodo, banyak hal di luar sains yang kadang membumbui.
Seekor komodo melintas di depan pemandu wisata di Pulau Rinca, kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, 14 Oktober 2018. TEMPO/Tony Hartawan
Berarti Anda tidak setuju komodo disebut terancam punah?
Saya akan mengesampingkan dulu perasaan saya. Saya pernah rapat, duduk satu meja dengan beberapa orang, lalu saya sodorkan data populasi komodo. Mereka malah bertanya mengapa saya bisa berpikir komodo tidak terancam punah. Mereka tetap beralasan komodo terancam punah karena hanya hidup di pulau-pulau kecil di Flores. Terkadang, logika kita terpengaruh oleh hal-hal itu. Ini pendapat pribadi saya. Kita tahu terancam punah atau tidak, ya, dari data.
Makanya waktu itu saya agak terkejut juga komodo dianggap terancam punah atau endangered (status genting) oleh IUCN karena satu publikasi ilmiah menyatakan bahwa populasi komodo terancam oleh perubahan iklim. Hanya satu publikasi itu yang diterima dari lima hal syarat terancam punah. Data perubahan iklim juga cuma diambil di beberapa lokasi, tidak di semua pulau yang dihuni komodo. Sampel ini hanya diambil di satu pulau kecil.
Saya pikir lebih logis lagi yang terancam punah di pulau kecil bukan cuma komodo. Semuanya yang ada di pulau itu. Komodo masih bisa eksodus ke pulau lain ketika air laut naik terus ke pulau. Jadi, ini seperti pertemuan antara sains dan kepentingan. Saya setuju melindungi komodo, tapi ada hal yang perlu dikritik. Apakah dengan melindunginya nanti komodo betul-betul terlindungi?
Seberapa besar misteri yang belum digali dari hewan ini?
Masih banyak sekali. Saya pernah baca hasil riset peneliti luar negeri, tapi saya lupa tahun berapa. Mereka ambil sampel dari komodo di kebun binatang. Dari darah komodo itu ada semacam struktur kimia yang menginspirasi pembuatan obat anti-inflamasi atau antiradang. Struktur kimianya dari darah komodo, lalu diberi nama DRGN1 yang disingkat dari dragon, nama lain komodo. Saya berharap hal ini ditemukan oleh putra-putri Indonesia, tapi kita masih tertinggal lagi.
Apa keunikan lain komodo?
Ada lagi satu penelitian, lagi-lagi dari luar. Ini tentang kulitnya. Jadi, komodo kalau menggigit mangsanya menimbulkan luka dan infeksi sampai mati baru dimakan komodo setelah beberapa hari. Tapi, ketika komodo menggigit komodo, tidak timbul luka ini. Rupanya karena di kulit komodo ada semacam tulang. Kalau dilihat, kulit biawak berbeda. Di kulitnya ada penulangan. Jadi, kalau digigit, tidak langsung ke kulit lunak. Antara sisik dan sisik itu ada penulangan. Jadi, seperti baju zirah tentara Romawi.
Soal pemanfaatan, sebaiknya komodo boleh dijadikan obyek wisata?
Saya orang yang pro dengan pemanfaatan. Jadi, yang diberikan Tuhan di muka bumi, ya, boleh dimanfaatkan, tapi dengan bertanggung jawab. Wisata komodo yang selama ini dilakukan mungkin kurang bijak. Sebagai contoh, memberi komodo makanan secara berulang ini bisa mengubah kebiasaan satwa. Nanti, ketika sudah terbiasa diberi makanan oleh manusia, bisa terbiasa. Padahal sejatinya hewan ini liar dan predator. Kalau komodo terlalu jinak, apakah bisa dibilang komodo menarik lagi? Kalau jinak seperti anjing, ya, dragon atau naganya hilang.
Taman Nasional semakin ramai. Apakah bisa berefek negatif terhadap komodo?
Saya tidak punya data soal ini. Contoh, di Pulau Rinca awalnya saya takut, kalau bertemu dengan komodo, mereka akan menyergap. Ternyata tidak juga. Karena komodo di sana sudah terbiasa berinteraksi dengan manusia. Mereka tidak asal menerkam orang. Tapi, ketika batas etika itu dilanggar, misalnya komodo dicolok-colok atau ditimpuk, itu wisata yang tidak bertanggung jawab. Kalau ada semacam pembatasan dengan menaikkan harga tiket wisata komodo itu mungkin untuk mengerem turisme massal. Tapi mungkin sudah fenomena sosial kalau harga apa pun dinaikkan, pasti protes. Padahal, kalau harga tidak dinaikkan pun, belum tentu kita akan pergi ke sana. Mungkin tidak punya waktu untuk ke sana.
Ihwal konflik manusia dengan reptil, bagaimana menurut Anda?
Dinas Pemadaman DKI Jakarta sering menemukan ular besar di tengah kota, di permukiman padat penduduk, seperti ditemukan di plafon dan sebagainya. Padahal selama ini dianggap ular besar hanya hidup di hutan. Tapi masih masuk akal ular itu ada di permukiman karena banyak tikus di situ. Jadi, yang dia serang adalah tikus sebagai makanannya itu. Yang ia cari bukan manusia, melainkan tikus.
Kasus teror ular sempat heboh di berbagai wilayah di Jabodetabek. Salah satu yang ramai adalah teror kobra...
Itu bukan teror. Ular punya masa kembang biak rutin setiap tahun. Biasanya, awal musim hujan menetas telurnya. Di perumahan-perumahan itu biasanya kurang diperhatikan tindakan preventif kalau ditemukan ular bagaimana. Ular kecil itu biasanya mencari tempat untuk tinggal. Sering kali manusia juga menumpuk barang. Lalu kobra anakan itu bersembunyi di sana karena pepohonan sudah jarang. Lalu, ketika terjadi pertemuan dengan ular, disebut teror. Padahal ularnya sudah ada di situ sejak dulu. Berkembang biak di situ, hanya habitatnya berubah menjadi seperti sekarang.
Masih sering menemukan ular di hutan atau tempat lain?
Kadang-kadang di rumah. Kebetulan rumah saya di perumahan baru di utara Kota Bogor. Saya juga menemukan beberapa ular, ada kobra, weling, dan ular cabe yang kecil. Karena pandemi, saya bekerja dari rumah, bosan, lalu saya coba cari-cari reptil di sekitar rumah. Saya ajak anak-anak kecil. Saya ajari pegang ular. Mereka senang juga. Karena itu, nama saya jadi Budhe Ular di kompleks, ha-ha-ha.
Pernahkah ada pengalaman menemukan ular di sekitar rumah?
Tetangga kompleks ada yang menemukan ular, lalu ramai-ramai ingin membunuhnya. Lalu saya bilang, jangan dulu dibunuh. Lihat dulu ularnya berbisa atau tidak. Sampai saya siapkan tongkat khusus untuk menangkap ular di dekat pintu. Jaga-jaga saja kalau ada yang lapor menemukan ular lagi.
Anda juga suka sastra. Bagaimana ceritanya?
Ya, itu mimpi saya dulu untuk menjadi sastrawan. Sekarang sudah jarang sekali baca karya sastra karena susah memindahkan fokus dari hal yang membutuhkan kreativitas atau sastra ke hal yang fokus pada logika. Karena dalam menulis paper biologi tak boleh memasukkan perasaan. Sedangkan di sastra perasaan penulis harus ditimbulkan. Bahkan sebanyak mungkin agar pembaca mengingat karya itu. Jadi, dunia saya dan sastra itu berlawanan. Tapi saya masih sempatkan membaca novel berbahasa Jawa tahun 1970-an.
Sempat menulis dan melahirkan buku?
Iya, saya punya buku puisi sendiri. Saya menulis puisi ini sejak sebelum kuliah. Saat itu, saya ingin sekali kuliah di jurusan sastra.
Lalu kenapa belok ke biologi?
Waktu itu saya terprovokasi ibu saya. Beliau katakan begini: kalau kamu kuliah sastra, tidak akan ada waktu untuk belajar biologi. Kalau kamu belajar biologi, kamu punya bakat menulis sastra dan punya waktu untuk itu. Saya juga kerap mengunggah puisi saya ke media sosial, seperti Facebook. Walaupun banyak yang bilang puisi saya terlalu logis karena mungkin bawaan dari ilmu saya. Jadi, tidak romantis, melainkan lebih ke biologis.
Masih menulis puisi sampai sekarang?
Masih. Ketika saya jenuh menulis dan membaca paper itu, ya, saya geser sedikit bikin puisi singkat dua paragraf di Facebook. Lalu cerita pendek berseri yang ada di sekitar saya. Seperti ada tetangga saya satu keluarga terjangkit Covid-19. Satu rumah diisolasi. Jadi, satu rumah berantakan, hewan peliharaan tidak terurus, jemuran pakaian jatuh tidak ada yang mengambil, saya ceritakan seperti itu. Ya, memang terlihat amatir sekali. Tapi ini cara saya rileks dari rutinitas. Ini yang bikin segar, entah diapresiasi atau tidak, yang penting terungkap.
Evy Ayu Arida. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
BIODATA
Riwayat Pendidikan
1993-1998: Sarjana Sains, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
2002-2005: Master of Science, Flinders University, Adelaide, Australia
2007-2011: Doktor rerum naturalium (PhD dalam ilmu sains), Rheinische Friedrich - Wilhelms University, Bonn, Jerman
Riwayat Pekerjaan
2000-sekarang: Staf peneliti herpetologi Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Riset Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
2014-2016: Seksi Kerja Sama Perhimpunan Biologi Indonesia
2014-2016: Koordinator Program Pusat Riset Biologi, LIPI
2019-2021: Kepala Kurator Herpetologi Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Riset Biologi, LIPI
2020-2021: Koordinator Grup Penelitian untuk Karakterisasi Fauna Indonesia Timur
2018-2022: Sekretaris Penggalang Herpetologi Indonesia (PHI)
2022-sekarang: Kepala Pusat Riset Zoologi Terapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Lima Penelitian Lapangan Terakhir
1. Royal Herping Expedition to Batanta Island of Raja Ampat Archipelago. 14-23 Agustus 2019. Survei fauna reptil dan amfibi di Pulau Batanta.
2. Expedition to the Karimun Islands of the Riau Archipelago. 15-30 April 2017. Riset gabungan LIPI.
3. Exploration on bioresources of Pulau Enggano. 15 April-5 Mei 2015. Riset gabungan LIPI.
4. Lenguru 2014: scientific exploration of Papuan karsts. 14 Oktober-24 November 2014. Perjalanan kolaboratif bersama Institut de Recherche pour Development (IRD) Prancis.
5. Biotic survey of Vertebrates of Nusa Tenggara Timur and Maluku. 6 Juli-7 Agustus 2013. Perjalanan kolaboratif bersama Museum of Vertebrate Zoology (MVZ, Berkeley, Amerika Serikat) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Penghargaan
1. DAAD Re-invitation Programme for Scholarship Alumni, 15 Oktober 2018-10 Januari 2019.
2. DAAD Biodiversity and Health Programme Fellowship Type E: Senior Experts, 1 Oktober-31 Desember 2017.
3. PhD with honours, Magna Cum Laude, Maret 2011.
4. Graduate fellowship for young academics and scientists of all disciplines by the German Agency for Academic Exchange (DAAD) for a degree of Doctor of Philosophy (Doktor rerum naturalium). April 2007-Agustus 2010.
5. Australian Development Scholarship by the Government of Australia (AusAID), for the degree of Master of Science (by research). Januari 2002-Desember 2004.
6. Asian Scholarship Program by the New York Turtle and Tortoise Society (NYTTS), for an internship in The Wetlands Institute, Stone Harbor, New Jersey, Amerika Serikat. Mei-Agustus 2001.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo