Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah merebaknya sentimen antikomunis, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjadi antitesis. Empat hari sebelum peringatan Hari Kesaktian Pancasila, dia menyatakan larangan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama menonton Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.
Muhadjir, 61 tahun, pasang badan membendung ajakan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo untuk nonton bareng film karya Arifin C. Noer tersebut. Muhadjir menilai film tersebut, baik versi 4 jam maupun 2 jam, tak layak ditonton anak-anak karena mengandung adegan penyiksaan. Menurut dia, konten film itu bisa menyulut dendam dari dua belah pihak. "Intinya saya tak ingin generasi muda mewarisi dendam. Biarlah mereka menjadi generasi pendamai," ujarnya.
Menurut dia, film itu baru tepat diputar sebagai pelengkap studi sejarah di tingkat akhir sekolah menengah atas dan kejuruan. Di level itu, kata Muhadjir, para siswa sudah bisa mengolah fakta sejarah secara berimbang. Dia meminta guru memperluas perspektif siswa soal Peristiwa 1965.
Lahir dan tumbuh di tengah keluarga santri di Madiun, Jawa Timur, Muhadjir bersinggungan dengan isu komunisme sejak kecil. Kakek dan ayahnya, Sulaeman Afandi dan Soeroja, diculik laskar Pemuda Sosialis Indonesia yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Peristiwa Madiun 1948. Sang kakek tewas di "sumur neraka" di Desa Cigrok, Magetan, bersama 22 ulama lain. Soeroja menunggu giliran eksekusi saat diselamatkan pasukan Siliwangi. Nama mendiang kakek disematkan ke Muhadjir sebagai tanda penghormatan.
Namun Muhadjir tak menaruh dendam pada tragedi itu, termasuk kepada PKI. Guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang ini justru mendorong sejarawan dan seniman menyajikan fakta sejarah alternatif yang bisa mengungkap geger politik 1965-dan episode sejarah lainnya-secara lebih obyektif dan komprehensif. "Jangan melarang bila ada yang membuat film dengan perspektif yang berbeda dari versi lama," dia berujar kepada wartawan Tempo Raymundus Rikang, Gadi Makitan, dan Reza Maulana di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Apa alasan Anda melarang siswa menonton film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI?
Saya memakai pendekatan kelayakan tonton. Saat film itu diproduksi pada 1984, Badan Sensor Film-kini Lembaga Sensor Film (LSF) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-menyatakan usia minimal penonton film itu adalah 13 tahun. Jadi saya memutuskan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama tak boleh menonton. Saya sudah menonton film itu empat kali, baik versi lengkap maupun pendek, lantas menyimpulkan tak ada perbedaan mencolok dari sisi konten. Sama-sama tak layak ditonton anak-anak.
Konten apa yang tak pantas disaksikan anak-anak?
Adegan kekerasan, penyiksaan, dan kekejian di sepanjang film itu. Meski itu peristiwa sejarah, saya menilai anak-anak tetap harus dilarang. Ada saatnya mereka bisa menonton adegan itu ketika usianya cukup.
Anda sempat berunding dengan Lembaga Sensor?
Tidak. Saya hanya menelepon mereka saat LSF mengeluarkan izin penayangan film PKI itu bagi TV One, beberapa hari sebelum pemutarannya, Jumat malam, 29 September 2017. Mereka sudah mengkaji rating usia penonton. Hasilnya tak berubah, hanya usia 13 tahun ke atas yang boleh menonton. Instruksi saya sudah keluar pada 27 September, sebelum LSF menerbitkan izin. Saya hanya ingin memastikan jangan sampai ada hoaks yang menyebut saya mengintervensi kebijakan LSF soal rating film PKI itu. Meski LSF di bawah kementerian ini, kedudukan mereka independen dan tak bisa diintervensi.
Faktanya, masih banyak anak menonton bersama orang tuanya dan berteriak "bunuh PKI".…
Saya menyesalkan hal itu. Maka saya langsung bertindak tegas ketika menjumpai ada imbauan yang mewajibkan anak-anak menonton film PKI itu. Di Padang, saya meminta Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat mencabut keputusan yang mewajibkan siswa di semua jenjang pendidikan menyaksikan film PKI itu. Instruksi itu berlaku untuk semua sekolah di Indonesia.
Mengapa pelarangan ini tak dituangkan dalam surat keputusan?
Tak semua kebijakan dan instruksi harus dituangkan dalam sebuah surat. Kalau memberi perintah tertulis, kalimatnya diterjemahkan lain malah bikin repot. Lebih baik mengeluarkan instruksi lisan yang tegas.
Bagaimana memastikan instruksi Anda dipatuhi?
Sangat mungkin ada kebocoran siswa SD dan SMP menonton di sekolah. Saya kembalikan ke para guru sebagai tenaga pendidik profesional karena mereka tahu yang terbaik bagi murid-muridnya. Sejauh ini, saya optimistis tak ada sekolah yang diam-diam memutar film itu. Sebab, saya menerima laporan bahwa SMA dan SMK saja yang mengirim pemberitahuan pemutaran film itu. Mereka juga didampingi guru yang memperkaya perspektif setelah menonton dan para siswa diwajibkan membuat resensi untuk didiskusikan lebih lanjut.
Nilai apa saja yang harus ditanamkan oleh guru terkait dengan Tragedi ’65?
Peran guru paling besar dalam memberikan pemahaman. Ketika habis menonton, murid diminta membuat resensi. Guru harus meluruskan kalau pemahaman anak tak cocok dengan tujuan pembelajarannya. Guru sejarah sangat memahami ini. Pelajaran sejarah yang diberikan kepada anak bukan pada peristiwanya belaka, tapi pada nilai atau value yang bisa ditanamkan yang bersumber dari cerita sejarah. Guru profesional tak akan memberikan pemahaman yang melenceng dari nilai-nilai luhur sejarah. Kalau penjelasan guru melenceng, integritasnya memang buruk. Seharusnya cerita guru bukan sekadar siapa pelakunya, tapi hikmah di balik tragedi yang pernah terjadi di negara kita ini.
Instruksi Anda terkesan berlawanan dengan Panglima TNI.…
Saya tak ada niat sama sekali berbeda pendapat dengan Panglima TNI. Saya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertindak melindungi anak-anak. Toh, instruksi saya itu spontan, bukan hasil diskusi matang. Simpel.
Ada protes dari Jenderal Gatot?
Tidak. Ketika upacara Hari Kesaktian Pancasila-1 Oktober 2017 di Lubang Buaya, Jakarta-saya menyampaikan kepada Panglima TNI dasar pemikiran instruksi saya. Beliau memahami bahwa instruksi saya itu demi kepentingan anak-anak. Panglima TNI juga sepakat bahwa siswa SD dan SMP tak layak menonton adegan kekerasan dalam film tersebut.
Kok, cuma siswa SD dan SMP yang dilarang?
Selain rating film, saya mempertimbangkan aspek kurikulum yang mempunyai dua unsur, inti (core) dan rangkaian (sequence). Dua unsur ini menentukan bahwa tak semua materi pelajaran cocok diberikan di setiap kelas sekaligus. Topik Gerakan 30 September 1965 baru disinggung sedikit saat siswa duduk di bangku SMP kelas IX semester II. Mereka kembali mendiskusikan topik ini secara intensif pada saat SMA kelas XII semester II. Jadi larangan siswa SD dan SMP menonton berarti pas dengan sequence kurikulumnya. Saya juga ndak sreg kalau ada anak SMP yang sudah lewat 13 tahun menonton film ini. Tunggulah sampai sudah mendapat materi pembelajarannya.
Apa alasan Peristiwa 1965 baru diberikan di SMP kelas IX?
Karena peristiwa itu memuat unsur pembantaian dan pembunuhan. Pertimbangan pedagoginya seperti itu. Hal yang patut diingat adalah Peristiwa 1965 ialah sejarah, bukan novel. Artinya, sekolah wajib memberikan pemahaman bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, bukan karangan atau imajinasi belaka. Tak mudah menjelaskan kepada para siswa bahwa ada masa sesama anak bangsa saling membunuh. Para murid harus memiliki daya mencerna yang baik untuk memahami penjelasan yang komprehensif soal peristiwa ini.
Seberapa bahaya film G 30 S PKI bila ditonton anak-anak?
Intinya, saya tak ingin generasi muda mewarisi dendam. Biarlah mereka menjadi generasi pendamai. Konten film itu bisa menyulut dendam dari dua belah pihak, baik mereka yang menjadi bagian dari tokoh protagonis maupun tokoh antagonis, khususnya dari keturunannya. Lebih-lebih bila tak ada rekonsiliasi yang sesungguhnya.
Mungkinkah rekonsiliasi tercapai di tengah tingginya sentimen antikomunis seperti sekarang?
Seharusnya semua pihak menyadari bahwa peristiwa itu sudah berlalu dan itu perbuatan orang-orang tua kita. Peristiwa 1965 seharusnya diperlakukan sebagai sejarah yang kita tengok sesekali saja, seperti melihat kaca spion saat mengendarai mobil. Saya khawatir sejarah ini membuat kita terlalu banyak menengok ke belakang. Sedikit bercerita, keluarga saya adalah korban pemberontakan PKI, tapi saya tak menaruh dendam pada tragedi itu.
Bagaimana ceritanya?
Keluarga saya berasal dari Madiun. Kakek dan ayah saya, Sulaeman Afandi dan Soeroja, pernah diculik laskar Pemuda Sosialis Indonesia, Pesindo, saat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pesindo mengincar ulama dan tokoh masyarakat. Ayah saya diselamatkan Batalion Siliwangi, tapi kakek saya wafat dan dimasukkan ke sumur di Desa Cigrok, Magetan. Saya hampir tidak dilahirkan karena peristiwa itu, ha-ha-ha.... Tapi ayah saya cuma mewariskan cerita kepada saya, bukan dendam.
Anak Anda yang SMP menonton film G 30 S PKI?
Tidak. Dia juga tidak pernah menyinggung itu. Harus diingat bahwa semakin lama generasi muda semakin berjarak dengan peristiwa itu. Mereka pasti akan memiliki perspektif yang berbeda, bahkan tak berminat soal sejarah bangsanya. Ini tantangan mengenalkan sejarah kepada generasi muda.
Ada terobosan supaya generasi muda lebih tertarik pada sejarah?
Memutar film bisa menjadi metode. Film bisa menjadi bahan ko-kurikuler yang melengkapi pelajaran sejarah di kelas. Saya juga sedang meminta Direktorat Sejarah untuk mengumpulkan film bernuansa sejarah buat mendampingi mata pelajaran. Kami juga menyusun metode yang bisa digunakan para siswa untuk bermain peran sesuai dengan lakon sejarah. Metode sosio-drama ini sangat efektif untuk menanamkan nilai dan spirit yang ada dalam setiap peristiwa sejarah. Kalau guru sejarah pintar menyajikan materinya, bisa menjadi bagian dari penguatan pendidikan karakter. Itu obsesi saya. Siswa jangan cuma diminta menghafal tahun, di mana peristiwa itu terjadi. Hal-hal seperti itu cukup lihat Google.
Namun sejumlah sejarawan menilai kurikulum sejarah sekarang masih pro-Orde Baru....
Sudah ada perubahan menyesuaikan dengan penemuan fakta baru dan dibuat lebih berimbang. Kita juga tak bisa mengabaikan begitu saja fakta sejarah alternatif yang muncul setelah Reformasi. Biarpun ada fakta baru, kami tetap berpegang pada inti sejarahnya. Dalam konteks Peristiwa 1965, inti sejarahnya ialah PKI terlibat, entah sebagai pelaku utama entah pendukung. Itu tak bisa dipatahkan. Jadi, kalau ada film atau buku yang coba-coba menolak keterlibatan PKI, berarti konten itu jelas salah dan mengada-ada.
Sampai mana progres kajian Kementerian terhadap pelurusan sejarah Peristiwa 1965?
Ikatan Sejarawan Indonesia sedang bekerja. Mereka yang berinisiatif dan menggelar kajian terhadap fakta-fakta sejarah bangsa ini. Kementerian hanya memfasilitasi diskusi.
Sebagai keluarga korban PKI, Anda sekarang merasakan ancaman komunisme?
Enggak, tuh. Tapi kita tetap harus mewaspadai setiap ancaman. Terutama ancaman kontemporer, seperti narkotik, kemiskinan, terorisme, dan disintegrasi. Namun kita harus menghargai kelompok yang menilai komunis masih hidup, begitu pun mereka yang menganggap komunis sudah mati. Namanya hidup dalam keberagaman, ya, harus bisa menerima perbedaan. Biarlah perbedaan itu mengisi ruang-ruang diskusi publik kita.
Seberapa mendesak pemutaran ulang film PKI itu?
Jika tujuannya memperingati momentum Gerakan 30 September, film itu tak mendesak karena bisa diputar kapan pun. Tapi, bila film sejarah dipakai sebagai bahan ajar, saya sangat menganjurkan asalkan fakta yang tersaji dalam kontennya tak bertentangan.
Bagaimana dengan adegan yang dinilai tidak akurat, seperti penyayatan tubuh Pahlawan Revolusi?
Namanya rekonstruksi sejarah pasti ada silang pendapat karena penemuan fakta baru. Sejarah itu ditulis bergantung pada aktor pembuat dan motif pembuatannya. Tak mungkin melihat peristiwa sejarah secara holistik. Bagi saya, hal terpenting adalah ketika peristiwa itu dipentaskan kembali dalam bentuk film, drama, atau teks pasti ada penambahan sudut pandang.
Apakah konten film itu masih relevan setelah riset baru bermunculan dan isinya membantah sejarah versi Orde Baru?
Secara umum masih relevan karena itu fakta sejarah. Saya menghormati seniman yang menciptakan film itu, terutama Arifin C. Noer. Dia sutradara yang punya reputasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dia pasti sudah melakukan riset yang serius. Saya melihat relevansi film itu sebagai sarana edukasi bagi anak-anak.
Anda sepakat film PKI itu mewakili perspektif sejarah Orde Baru?
Perdebatan itu tak akan pernah selesai. Setiap konstruksi sejarah pasti mengundang kontroversi. Wong sejarah dalam bentuk narasi ilmiah saja diperdebatkan apalagi bentuknya film, yang mempertimbangkan beragam aspek, seperti estetika dan daya tarik. Film itu dibuat dengan konteks perspektif zamannya dan subyektivitas pembuat film. Namun saya tetap berfokus pada aspek kepatutan film itu bila ditayangkan di depan anak-anak.
Perlukah membuat film baru seperti usul Presiden Joko Widodo?
Ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, merestorasi film lama karena kualitas visualnya sudah sangat buruk. Kedua, memproduksi film baru yang melibatkan banyak pihak dan kontennya sesuai dengan generasi muda. Pokoknya, kalau ada seniman atau sutradara yang membuat film dengan perspektif yang berbeda, jangan dilarang.
Tempat dan tanggal lahir: Madiun, Jawa Timur, 19 Juli 1956 | Pendidikan: l Sarjana Ilmu Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Malang (1982) l Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1996) l Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga, Surabaya (2008) Karier dan organisasi: l Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2016-sekarang) l Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (2000-2016) l Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (2015-2020) l Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Timur (2014-sekarang) l Anggota Dewan Pembina Maarif Institute (2010-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo