Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAHDLATUL Ulama kembali jadi omongan. Kali ini karena mereka mengeluarkan maklumat setia pada UUD 45 dan Pancasila. Inilah maklumat yang dihasilkan oleh Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya, akhir Juli lalu. Belakangan, Ketua PB NU KH Achmad Hasyim Muzadi, 62 tahun, mengeluarkan pernyataan keras terutama tentang marak-nya peraturan daerah (perda) bernuansa syariah. "Syariat Islam seharusnya ada dalam konteks civil society, bukan nation state," kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang. Ia khawatir formalisasi syariat Islam dalam perda hanya akan memicu perpecahan bangsa.
Ditemui pekan lalu di kantor NU, Jakarta, mantan calon wakil presiden da-lam Pemilu 2004 ini tampak bersahaja. Hari itu ia mengenakan kemeja batik dan celana warna gelap. Tutur bahasanya teratur. Terkadang ia meradang juga, meski tetap kental nuansa guraunya. "Wah, omonganku mbok bantahi kabeh (pernyataanku kalian bantah semua)," kata-nya kepada wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Tulus Wijanarko, Cahyo Junaedy, dan fotografer Cheppy A. Muchlis.
Apa latar belakang dikeluarkannya Maklumat NU?
Ini (salah satu) langkah NU meneguhkan kembali komitmen bernegara. Sebelumnya kami merasakan ada tarikan ideologi ke kiri maupun kanan. Kalau tidak diwaspadai, ideologi negara akan runtuh. Reformasi yang mengamendemen UUD 45 memiliki dampak ganda: menyejukkan demokrasi sekaligus menimbulkan problematika sistemik. Problem itu berupa terjadinya tumpang-tindih perundangan, munculnya liberalisasi pemikiran, maraknya kekerasan, dan demonstrasi terus-menerus.
Seberapa signifikan maklumat itu ba-gi kehidupan beragama di Indonesia?
Saya tidak dapat dengan serta-merta mengajak seluruh lapisan masyarakat. Sebagai Ketua Umum PB NU, saya tidak dapat mengajak orang lain sebelum warga NU melakukannya lebih dulu.
Anda melihat ancaman terhadap ke-satuan Indonesia itu demikian keras?
Ya. Masalah krusial di Indonesia se-panjang masa adalah hubungan antara ideologi dan agama dan budaya. Setiap umat beragama berkewajiban menja-lankan aturan agamanya, sementara ne-gara harus menjamin pelaksanaan syariat secara bebas. Tapi kebebasan itu harus dalam dimensi kemasyarakatan dan tidak dinegarakan. Harap dicatat, syariat di sini bukan semata syariat Islam, karena seluruh agama memiliki syariat.
Dinegarakan? Maksud Anda?
Dijadikan hukum positif. Se-mestinya sumbangan agama kepada negara da-lam tataran tata nilai, bukan syariat. Kalau formalisasi yang dijadikan dasar hukum positif, negara bisa pecah, contohnya perda antikorupsi, judi, dan pelacuran. Saya yakin semua agama me-larangnya. Tetapi, jika itu disebut seba-gai undang-undang Islam antikorupsi, orang ber-agama lain pasti marah. Jadi, yang diperlukan adalah substansinya, tanpa membawa simbol agama.
Bagaimana mensosialisasi maklumat itu? Faktanya, di daerah, perda syariat sudah marak?
Lho, sekarang perda daerah mana yang murni berdasarkan syariat? Tidak ada. Jangan langsung menuduh perda antiperjudian atau maksiat itu pasti syariat Islam. Karena syariat orang Kristen atau Buddha juga antiperjudian. Kalau perda itu dibuat untuk memberantas perjudian dan maksiat, memang harus didukung.
Jadi, apa sebenarnya apa yang Anda maksud dengan perda syariat?
Yaitu perda yang dibuat dengan konsiderans syariat agama tertentu. Tidak jadi masalah jika sebuah perda lahir -untuk menjabarkan KUHP, tapi tidak perlulah bersyariat agama tertentu.
Pendukung perda syariat mengatakan perda itu muncul karena KUHP tidak efektif?
Oke, tapi tidak tepat jika solusinya de-ngan menerbitkan perda syariat. Ini kan soal implementasi KUHP di lapangan. Jadi, tuntutannya pada aparat penegak hukum, dan bukan pada peraturannya. Kalaupun ingin mengeluarkan perda untuk mem-break-down KUHP, jangan membawa simbol agama.
Jadi, masalahnya bukan di syariat, tapi pelaksanaannya?
Ya, orang beragama harus menjalan-kan syariatnya, tapi lakukan itu dalam dimensi kemasyarakatan dan jangan dijadikan hukum positif. Itu yang kami takutkan.
Artinya, jika perda di Tangerang atau Depok itu tak mencantumkan konside-rans pada syariat Islam, tidak jadi masalah?
Tidak jadi masalah. Perda itu akan se-perti undang-undang antiperjudian atau undang-undang antikorupsi.
Perda di Tangerang itu muncul bukan dari partai-partai Islam....
Ini menambah bukti perda itu bukan-lah islamisasi dan hanya kepenting-an lokal saja, atau dari pihak tertentu yang berharap mendapat angin di pemilu berikutnya. Orang-orang Islam yang mendukung perda ini hanyalah orang islam yang ngebet pakai label agama. Padahal, tanpa itu pun perda tetap berjalan.
Kalau ada dalam KUHP, kenapa harus diterjemahkan dalam perda?
Apa salahnya melakukan break-down dengan perda, asal tetap merujuk pada KUHP? Ini tidak melanggar tata hukum legal-formal ataupun substansial.
Perda yang memasukkan konsiderans itukah yang menurut Anda membaha-yakan kesatuan Indonesia?
Ya. Polemik sekitar ini muncul akibat ada orang Islam yang berpikir simbolistik berhadapan dengan mereka yang apriori terhadap syariat. Langkah NU ini untuk mencari jalan tengah.
Ada dugaan perda syariat muncul karena kelompok Islam tertentu gagal mengembalikan Piagam Jakarta?
Ini semata sebuah penilaian. Tapi yang dimaksud Piagam Jakarta, kan, mensyaratkan syariat Islam sebagai landasan perundang-undangan. Kalau hal itu terlaksana, NKRI akan bubrah (bubar). Perundang-undangan itu akan memberangus pluralitas.
Sejak kapan NU melihat gejala tarikan ideologi yang merongrong NKRI?
Sudah lama. Saya melihat orang mulai bicara soal komunisme, proletariatisme, liberalisme, dan meragukan efektivitas Pancasila. Ini semua rongrongan. Se-harusnya sebagai bangsa hal ini tidak dibicarakan lagi. Kalau itu dipersoalkan, negara ini akan hancur.
Tapi kenapa sikap NU baru muncul belakangan?
Ya, daripada terlambat dan tidak sa-ma sekali.
Keterlambatan sikap ini menimbulkan kesan NU tidak serius dan hanya mencari popularitas?
Lebih serius mana dengan orang yang sama sekali tidak berkomitmen apa-apa? Ngitunge yo ngono (begitu menilainya). Bahwa ada momentum dan penyikapan, memang ada jarak antara fenomena dan keputusan. Jarak ini adalah (fase) perenungan NU.
Seandainya Maklumat NU lahir le-bih awal, mungkin dapat mencegah perda bernuansa syariat?
Apanya yang dicegah? Wong, "barangnya" belum ada. Kami tahu ada perda bernuansa syariat itu belakangan. Saya ini Ketua PB NU, bukan anggota DPRD Tingkat II yang mengikuti pembahasan perda.
Dari diskusi internal NU bukankah maraknya wacana tentang liberalisme, komunisme, dan agama merupakan isyarat?
Ya, tapi pada titik-titik mana hal itu membahayakan bangsa, masih perlu dicermati. Apakah ini bagian dari demokrasi atau sudah merupakan pem-belokan arah bangsa?
Dan bahaya itu sekarang sudah te-rasa-kan?
Sudah. Jika dibiarkan negara ini akan belok, dan perpecahan akan terjadi.
Siapakah yang Anda maksud orang-orang yang antisyariat?
Mungkin mereka orang-orang tidak beragama dan sekuler. Mungkin orang yang menginginkan Indonesia selalu berada dalam rame-rame, karena bisnis mereka ada di dalam kericuhan itu. Yang pasti mereka bukan agamawan.
Jika kekhawatiran penerapan syariat Islam adalah akan adanya benturan, sebesar apa benturannya, toh Islam di Indonesia adalah mayoritas?
Tidak bisa begitu, dong. Syariat Islam itu banyak. Ada nilai Islam yang dapat diterima agama lain, ada yang tidak. Misalnya menyuruh orang salat, kan, tidak bisa dipaksakan bagi pemeluk agama lain? Kalau kita buat undang-undang soal salat, pasti tidak bisa dijalankan.
Apa langkah berikutnya setelah Maklumat dikeluarkan?
Melakukan sosialisasi ke semua pihak, mulai dari anggota DPR hingga kelompok-kelompok agama lain. Setelah itu seluruh warga NU harus dikristalkan untuk kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Jangan dibayangkan hanya dengan satu maklumat semua masalah beres. Saya berharap setelah ini muncul kesadaran untuk kembali kepada konstitusi. Saya berharap ada pemimpin yang mampu menegakkan sistem dan peraturan secara adil. Pemimpin-pemimpin kita sekarang hanya bisa berjanji. Ada rumah roboh akan diganti Rp 30 juta, tapi hingga kini "gelap".
Lho, sewaktu bertemu Jusuf Kalla, hal itu tidak Anda sampaikan?
Ndak, wis bosan. Siapa pun yang ber-kuasa saat ini tidak bisa efektif menggunakan waktu. Tetapi ini kesalahan sistem. Tahun pertama mereka baru belajar. Tahun kedua, melihat-lihat. Tahun ketiga baru mulai kerja. Tahun keempat sudah (siap-siap) ingin jadi pemimpin periode berikutnya.
Anda terkesan menyalahkan sistem yang tidak memilih Anda dalam Pemilu 2004?
Bukan itu, tapi sistem dan kepemim-pinan yang buruk. Saat ini pemerintahan Indonesia menggunakan sistem kabinet presidensial, tapi faktanya parlementer, karena kekuasaan berada di kabinet. Kalau sudah begitu loyalitas para menteri kepada partai dan bukan kepada presiden. Hubungan lintas lembaga tinggi negara yang terpisah membuat pemerintah tidak padu.
Anda kecewa pada kepemimpinan nasional saat ini?
(Kecewa) berat! Saya ambil contoh. Menghadapi Munas NU lalu saya sempat datang ke Panglima TNI untuk kulakan (belanja) ide. Karena saya tahu TNI adalah sumber pengetahuan soal keindonesiaan. Saya tanya pada Pang-lima, "Seandainya NU ingin meneguhkan komitmen keindonesiaan, NU masih punya teman apa tidak?"
Apa jawaban Panglima?
Katanya, TNI tidak punya kapasitas untuk berpolitik seluas itu. Ujungnya, Panglima tidak hadir dalam Munas.
Anda tadi menyebut-nyebut soal tole-ran-si dan kebersamaan, tetapi dalam konteks RUU Antipornografi dan Pornoaksi (APP), Anda mendukung?
Lho, yang saya dukung adalah kese-taraan antara moralitas dan kebhi-nekaan. Kenapa APP diperlukan? Ya, un-tuk menekan industri pornografi yang tengah marak di Indonesia. Tapi APP harus tetap memberikan peluang ke-bhinekaan yang indonesiawi.
Tapi bukankah pornografi sudah diatur dalam KUHP?
KUHP efektif tidak? Kalau hal ini diturunkan dalam undang-undang yang lebih detail, apa salahnya? Saya telah pergi ke sejumlah negara, ternyata me-reka mengatur soal pornografi. Yang hebat (memang) Indonesia, ada masalah besar seperti ini, kok, dibiarkan.
NU juga mengharamkan acara infotainment?
Yang dipermasalahkan NU adalah isi tayangannya. Dalam Islam tidak boleh membongkar-bongkar rahasia orang kecuali untuk kepentingan hukum. Dampak acara ini juga memprihatin-kan. Kini masyarakat terbiasa dengan pertikaian keluarga dan perselingkuhan menjadi mode.
Pekerja infotainment bekerja berda-sarkan asas kebebasan pers....
Kebebasan itu bebas nilai atau kebebasan harus bernilai? Ini harus dibereskan. Kalau kebebasan tanpa nilai, untuk apa membuat undang-undang?
Dulu Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram terhadap sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisasi. Seberapa bahaya tiga konsep itu?
Ini sebenarnya kesalahan semantik. Saya tak setuju pluralisme itu haram. Begitu juga soal sekularisasi. Saya jelaskan ke MUI bahwa sekuler dan sekularisme itu beda. Sekuler adalah sesuatu yang tidak tumbuh dari agama, sedangkan sekularisme penentangan terhadap agama. Maka, saya minta MUI untuk membuat memori penjelasan.
Kalau sekuler dipahami sebagai pemisahan agama dan negara?
Untuk Indonesia saya tidak setuju, karena tata nilai keagamaan tidak akan terserap oleh negara. Ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara sekuler.
KH Achmad Hasyim Muzadi Tempat/tanggal lahir:Tuban, 8 Agustus 1944 Pendidikan:
Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo