Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mimpi buruk bak menjadi sahabat bagi pengguna jasa transportasi umum beberapa tahun terakhir. Sederat petaka tak henti menggodam mereka. Dari udara, laut, dan darat, maut terus mengintai. Hingga di titik pergantian tahun, dua tragedi transportasi menggasak negeri ini dan bakal menjadi catatan hitam tak terlupakan. Itulah musibah jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Sulawesi dan karamnya kapal Senopati Nusantara di Perairan Mandalika, Rembang, Jawa Tengah. Di luar itu, sederet insiden lain menambah panjang daftar musibah transportasi.
Masyarakat galau. Berbagai tudingan lantas diarahkan ke wajah Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, pengendali regulator seluruh sistem transportasi Tanah Air. Hatta sendiri tak kurang masygul. "Kecelakaan demi kecelakaan itu membuat saya looking bad," kata dia.
Meski demikian, saat ditemui di rumah dinas menteri di Widya Candra, Jakarta, pekan lalu, roman muka mantan Sekjen Partai Amanat Nasional, ini datar-datar saja. Ditemani kudapan kacang polong yang gurih dan teh manis, Hatta cergas memaparkan problem sektor perhubungan yang menjadi tanggung jawabnya. Tak lupa ia mengungkapkan pencapaiannya selama dua tahun duduk di "kursi panas" Menteri Perhubungan.
Beban tugasnya memang berat. Untuk menjaga keseimbangan, sehari-hari Hatta memilih tinggal di rumah pribadinya yang sudah didiaminya sejak 22 tahun silam di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Dia emoh pindah ke rumah dinas karena tak kuasa memberinya kenyamanan. "Tinggal di sini rasanya seperti di kantor, kurang homey," ujar Hatta kepada wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, Istiqomatul Hayati, dan fotografer Hendra Suhara yang mewawancarainya pekan lalu.
Dua tahun terakhir kecelakaan pesawat udara terjadi di mana-mana. Di mana letak salahnya?
Dewan Perwakilan Rakyat meminta angka kecelakaan ditekan sampai 0,35 seperti di Amerika Serikat. Itu menunjukkan jumlah kecelakaan per 100 ribu jam penerbangan. Kalau itu ukurannya, kecelakaan pesawat di Indonesia sudah jauh menurun. Tahun 2005, indeks kita masih empat koma. Tahun 2006 sudah satu koma. Memang belum mencapai nilai ideal 0,35, tapi trennya menurun. Belum lagi jika dilihat jumlah penumpang. Pada 1999, penumpang yang diangkut baru enam juta orang. Tahun lalu kita mengangkut 34 juta. Akhir 2007 diperkirakan 37-38 juta. Hanya, memang, saya akui (kecelakaan Adam Air) yang kemarin sangat fatal.
Berbagai kecelakaan itu tak terkait dengan tiket murah yang ditengarai menurunkan biaya perawatan?
Harusnya tidak. Kita tidak mengenal istilah low cost carrier. Istilah ini baru bisa diakui kalau back up-nya juga terpisah dari yang normal, misalnya menggunakan terminal terpisah seperti di Singapura dan Malaysia. Tidak ada AC, nggak ada servis makanan, dan sebagainya.
Bukankah beberapa waktu lalu ada perang tarif yang luar biasa keras?
Ada tiga fase dalam industri dunia penerbangan kita. Fase pertama ketika dimonopoli oleh Garuda Indonesia. Saat itu terbang masih identik dengan luxury (kemewahan) dan hanya dinikmati masyarakat menengah ke atas. Peristiwa 11 September menjadi fase kedua. Nyaris semua pesawat di Amerika itu grounded, takut terbang. Terjadi over supply. Bersamaan dengan itu, Indonesia melakukan liberalisasi. Surat izin penerbangan dibuka. Jumlah maskapai membengkak sampai 70 perusahaan penerbangan. Semua orang bisa membuat perusahaan penerbangan cukup dengan dua pesawat sewa saja. Bahan bakar juga masih 20-an dolar.
Bagaimana dengan fase ketiga?
Lalu masuk fase ketiga, sejak saya menjadi Menteri Perhubungan. Saya lihat kalau terus begini, risikonya besar sekali. Kenapa? Karena yang masuk ke Indonesia umumnya pesawat-pesawat tua. Saya larang masuknya pesawat tua, dan saya diprotes keras.
Ada satu perusahaan penerbangan, sudah membayar uang muka untuk sembilan pesawat Boeing 737-200, lalu saya tolak. Saya katakan pesawat yang pertama kali masuk ke Indonesia usianya tidak boleh lebih dari 20 tahun. Saya diprotes lagi, tapi saya jalan terus dengan mengeluarkan kebijakan bahwa sebuah maskapai baru bisa berdiri kalau punya lima pesawat-dua di antaranya harus milik sendiri. Kalau tidak, saya tutup. Jumlah maskapai lalu menurun drastis.
Anda belum menjawab soal perang tarif tadi.
Soal tarif saya respons dengan menggunakan tarif referensi. Mereka yang memasang tarif di bawah tarif referensi harus diaudit. Saya juga tidak membuka izin baru. Jadi, setelah fase kedua yang begitu longgar, saya perketat regulasi. Jadi, tidak ada lagi tarif murah pada fase ketiga ini. Bahan bakar juga sudah di atas US$ 50.
Anda ingin mengatakan kondisi makronya semakin membaik?
Saya bukan ingin membela diri, tapi angka kecelakaan per 100 ribu itu memang menurun di fase ketiga ini. Hanya memang kecepatan pertumbuhan industri ini yang sekitar 15-20 persen per tahun tidak bisa diimbangi pembangunan infrastruktur yang memadai, misalnya banyak bandara kita yang belum menggunakan instrument landing system. Tahun ini kita anggarkan Rp 50 miliar untuk membangun instrumen tersebut di 20 bandar udara. Jumlah inspektur kita juga kurang, padahal yang harus diawasi semakin banyak. Walaupun demikian, saya tetap meningkatkan fungsi kontrol dengan membentuk audit independen.
Bagaimana teknisnya?
Semua maskapai akan diaudit dan dibagi ke dalam tiga golongan. Pertama, perusahaan yang compliance dengan standar keselamatan. Kedua, mereka yang compliance tapi diberikan kesempatan enam bulan untuk memenuhi standar keselamatan. Golongan ketiga yang sama sekali tidak memenuhi kriteria audit akan saya tutup.
Kapan dilaksanakan?
Tahun ini hasil pengelompokan ke dalam tiga golongan itu sudah harus ada.Tim audit independen ini sebenarnya sudah ada sejak tahun kemarin, hanya tersendat-sendat karena dananya terbatas. Tim ini dari Angkatan Udara, perguruan tinggi, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Mungkin perlu direvitalisasi lagi timnya, supaya mulai bekerja pada Februari.
Bagaimana kondisi transportasi laut setelah musibah KM Senopati Nusantara?
Agak berbeda. Tidak semua kapal itu dikontrol oleh Departemen Perhubungan. Hanya kapal-kapal tertentu yang dikontrol. Dan kondisinya tidak seperti tiga fase di penerbangan.
Tentang rencana Anda merevisi empat UU transportasi, sudah sampai mana perkembangannya?
Yang mulai dibahas itu UU No. 13/1992 tentang Perkeretaapian, dan yang lain belum. Kenapa? Karena kereta api sangat vital sebagai basis transportasi darat. Lihatlah, masih ada rel kereta api zaman Belanda yang digunakan sampai sekarang. Misalnya, kecelakaan kereta api yang terjadi di Lubuk Linggau. Sebenarnya saya sudah anggarkan untuk diganti relnya tahun ini, karena belum pernah disentuh sejak zaman Belanda.
Kecelakaan kereta api, kan, sudah banyak terjadi. Bagaimana caranya mengantisipasi agar kejadian itu tak terulang?
Tolong, lihatlah saya baru dua tahun di kursi Menteri Perhubungan. Anggaran baru turun dua kali, sementara banyak sekali warisan masalah dari masa lalu. Itu yang sedang dibenahi.
Bukankah Anda sudah membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Jadi, mereka belum bekerja?
Sudah cukup banyak yang kami lakukan, misalnya Serpong Line yang menghubungkan Serpong-Tanah Abang. Dulu mau dibiayai Jepang Rp 2 triliun, sekarang kami bangun sendiri. Insya Allah, Maret nanti diresmikan. Untuk keselamatan akan digunakan sistem tiket elektronik.. Tahun ini double track juga mulai dibangun, MRT (mass rapid transit-Red.) pun saya dorong. Jadi, sudah banyak yang kami lakukan. Tapi, ya itu tadi, kalau terjadi kesalahan fatal, itu saja yang terlihat. Hilang sudah kerja dua tahun.
Dari banyaknya kecelakaan ini, kesalahan utamanya di mana? Sumber daya manusia atau pada prasarana?
Nggak bisa melihatnya dari situ. Ini adalah proses membangun sebuah tatanan, membangun sebuah sistem, dengan tujuan membangun budaya keselamatan. Saya berulang-ulang memberikan contoh iklan rokok yang berbunyi "taat hanya kalau ada yang lihat". Jadi, larangan itu dianggap tidak ada hubungannya dengan keselamatan. Karena itu, regulator harus keras. Perangkat regulasi harus diperbaiki. Orang yang melakukan kesalahan dan membahayakan keselamatan umum tadinya cuma dihukum setahun atau diberhentikan. Sekarang sudah saatnya dipenjarakan. Tetapi ini harus diimbangi dengan upaya memperbaiki kondisi pegawai agar nyaman bekerja.
Benar, tapi faktanya mereka lebih berkonsentrasi melakukan pungutan liar, misalnya, ketimbang bekerja dengan benar.
Kalau di bandara, pelabuhan, atau stasiun kereta api, katanya banyak pungli, saya tidak ingin mengatakan terjadi kongkalikong seperti itu, karena sampai saat ini tidak ada laporan, tidak ada temuan. Yang ada hanya rumor. Tetapi mesti ada instrumen buat saya untuk mengatakan, ya anak buah saya sudah melakukan sesuatu dengan benar. Ke dalam, mungkin nanti akan ada fit and proper test sehingga pengorganisasiannya lebih baik. Ini sedang dipelajari. Keluar, operator akan saya kelompokkan ke dalam tiga golongan tadi sehingga masyarakat tidak akan menggunakan perusahaan yang masuk kategori ketiga.
Jadi, apa sebenanya perubahan mendasar yang Anda inginkan pada revisi UU 13/1992?
Satu contoh. Kalau Bang Yos (Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta) mau bikin kereta api, nanti nggak perlu izin saya lagi. Kalau ada perusahaan swasta, perkebunan kelapa sawit yang butuh mengangkut hasil kelapa sawit dengan kereta api ke pelabuhan terdekat, silakan bikin tanpa perlu mengurus izin ke saya lagi. Itu namanya kereta khusus. Monorel dalam kota juga nggak perlu ke Menhub lagi. Panggil swasta, jalan sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Atau, investor mau bikin kereta api cepat Jakarta-Surabaya tiga jam, silakan bikin sendiri. Jadi, idenya desentralisasi.
Menurut Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dari 10 BUMN dengan kinerja terburuk, sebagian berada di bawah Departemen Perhubungan. Komentar Anda?
Ya, karena mereka memang belum pantas untuk mengejar profit (keuntungan). BUMN itu otaknya profit, sedangkan transportasi adalah pelayanan publik. Harga karcis kereta api ada yang Rp 1.500 untuk rute Banten-Jakarta, bagaimana bisa bicara profit? Apakah saya akan naikkan menjadi Rp 10 ribu? Nggak mungkin. Maka harus diberi subsidi untuk pelayanan publik. Tapi juga jangan keliru, ada BUMN perhubungan yang mencetak laba besar seperti Angkasa Pura. Labanya triliunan rupiah.
Tapi yang seperti Angkasa Pura itu kan minoritas.
Okelah, kita lihat PPD atau Damri. Dua perusahaan itu sejak awalnya sudah didesain sebagai pelayanan publik. Menurut saya, sudah tidak tepat lagi PPD di bawah Departemen Perhubungan. Harus diserahkan ke DKI. Bahkan, kalau mau lebih realistis, PPD itu memang (hanya) cocok di zaman Bang Ali (Sadikin). Sekarang, dengan segala hormat atas sumbangsih PPD selama ini, menurut saya: mission accomplished (tugas sudah selesai-Red.)
Apakah untuk moda angkutan darat lain juga diperlakukan serupa?
Untuk kereta api, dari awal menjabat, sudah saya katakan kepada Menneg BUMN untuk melakukan spin off bagi perusahaan kereta api Jabotabek, karena dia bisa dijadikan profit center. Letakkan yang mana yang bisa menjadi public service obligation. Jangan dicampur aduk yang sakit karena keharusan melakukan layanan publik dengan yang sehat karena menjadi pusat keuntungan. Jadi, pemerintah gampang: oh, yang ini pemerintah bisa memberikan duit terus untuk public service. Oh, yang ini tidak perlu, lepaskan saja, akan menjadi profit center sendiri.
Bagaimana tanggapan Menteri Negara BUMN?
Sampai sekarang tidak ada realisasinya.
Apakah tidak mungkin yang public service itu juga menjadi profit center?
Untuk mudahnya, public service itu semua kelas ekonomi. Kalau ada masyarakat yang naik kereta api di kelas ekonomi, pasti masyarakat tidak mampu. Ini yang disubsidi pemerintah. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan dana subsidi ini sekitar Rp 450 miliar untuk membantu pengguna kereta api ekonomi. Itu public service. Tapi kalau kereta Jabotabek di-spin off (dilepaskan dari induknya-Red.), boleh kerja sama dengan swasta, dimodernkan sedikit, lalu stasiunnya diperbagus, kalau perlu bergabung dengan mal atau pusat perbelanjaan, saya yakin kereta api Jabotabek ini bisa jadi profit center.
Pada dasarnya saya tidak suka menunda-nunda persoalan. Karena itu, saya memaksakan revisi UU Kereta Api secepatnya sebagai basis bagi perbaikan transportasi darat.
M. Hatta Radjasa Lahir: Palembang, 18 Desember 1953 Pendidikan:Teknologi Perminyakan ITB Karier Politik:
Karier Pemerintahan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo