Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK kesekian kali aparat Ketenteraman dan Ketertiban menyuguhkan kekerasan yang membuat kita miris. Seorang bocah 14 tahun tewas di tangan aparat Tramtib saat menjadi joki three in one di Jalan Pakubuwono, Jakarta Selatan. Irfan Maulana, bocah malang itu, dipukuli setelah mencoba melawan aparat yang menangkapnya.
Walau polisi dan Dinas Tramtib berkukuh bocah itu tewas bukan karena kekerasan, sejumlah saksi mata menyatakan melihat Irfan ditangkap dan dianiaya oleh tak kurang dari enam aparat. Orang tua Irfan juga yakin bahwa anaknya meninggal bukan karena sakit. Apalagi Irfan, yang gemar bermain bola dan berenang, dalam kondisi sehat walafiat saat pergi untuk mengais rezeki.
Masih perlu dilacak versi mana yang benar. Tapi kekerasan oleh aparat ini bukan cerita baru. Sudah sering terdengar kisah brutalnya aparat ketika melakukan operasi yustisia terhadap para joki atau menggusur pedagang kaki lima atau penghuni bangunan liar, misalnya. Kritik dan protes berkali-kali dilayangkan, tapi kekerasan selalu berulang.
Apa yang dialami Sugiharti bisa jadi contoh. Ia yang sehari-hari menjadi joki three in one di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, itu pada September lalu ditangkap aparat ketenteraman. Perempuan 26 tahun itu digunduli, kemudian dijebloskan ke Panti Sosial Kedoya. Selama sembilan hari ia mendekam di tempat itu tanpa proses apa pun. Sebuah tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Contoh kebrutalan lainnya adalah seperti yang dialami Viktor Jami, 26 tahun. Dua tahun silam mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu digebuki sejumlah aparat saat berupaya mencegah petugas menggusur kios-kios di depan kampusnya. Akibat penganiayaan itu, separuh tubuh Viktor bagian bawah kini lumpuh. Kini ia tak lagi kuliah.
Tindakan semacam ini memang pantas mengundang kemarahan siapa pun. Kendati demikian, kesalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada aparat. Mereka sekadar menjalankan perintah atasan. Dan perintah ”tangkap”, ”usir” atau ”gusur” ini harus dijalankan tanpa kompromi. Perintah itu merupakan produk dari kebijakan tanpa alternatif, dan juga tanpa empati pada rakyat kecil. Petugas menjalankan perintah tanpa alternatif, yang ditertibkan juga tak punya alternatif selain mempertahankan apa yang dikuasainya. Perkelahian di lapangan tak terelakkan.
Ada yang salah dalam pengelolaan aparat ketenteraman selama ini. Padahal, anggaran untuk Dinas Tramtib cukup besar. Tahun 2007 ini anggaran Tramtib dan Hukum dalam RAPBD DKI Jakarta sekitar Rp 900 miliar. Jauh lebih besar ketimbang pos kesehatan. Masing-masing suku dinas di DKI juga menganggarkan ratusan juta rupiah untuk berbagai operasi penertiban.
Seharusnya anggaran besar itu dipakai pula untuk melatih aparat agar tidak seenaknya bertindak di lapangan. Tanpa pengetahuan memadai untuk menghadapi massa, yang muncul hanya adu otot. Anggaran itu juga harus dipakai melengkapi fasilitas petugas di lapangan, seperti baju pelindung dan tameng.
Pemerintah DKI juga perlu memikirkan solusi alternatif untuk pedagang kaki lima dan mereka yang selama ini selalu menjadi target buruan aparat ketenteraman. Perlu dipikirkan solusi cerdas untuk para joki three in one, bukan sekadar menangkap dan menghukum. Akar persoalan seperti sulitnya mencari pekerjaan mestinya ikut dicarikan jalan keluarnya. Dengan begitu, pemerintah daerah tidak perlu selalu repot menerima protes akibat ulah ganas aparat ketenteraman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo