Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dunia film Indonesia, hantu memang tidak mati-mati. Dibunuh pun akan lahir kembali. Nyengir dan mengejek genre film lain yang sulit dan serius seperti film drama, sejarah, apalagi politik.
Film horor adalah sebuah genre yang lahir dengan subur di Asia, apalagi Indonesia, karena latar belakang kebudayaan yang kaya dan riuh-rendah dengan takhayul. Legenda, misteri, kabar burung, dan mistik bercampur-baur dengan sosok sejarah. Sehingga tak aneh ketika perfilman Indonesia baru lahir, genre horor langsung populer.
Ketika itu, tahun 1930-an, muncul Doe Siloeman Oelar Poeti en Item karya The Teng Cun, yang diikuti Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet, Anaknja Siloeman Oelar Poeti, hingga Lima Siloeman Tikoes, yang berlatar legenda Cina. Pada 1970-an hingga akhir 1980-an Indonesia kemudian mulai memasuki era film horor mistik seperti Beranak dalam Kubur dan Nyi Blorong, yang melejitkan Suzanna sebagai ikon.
Pada 2001, saat generasi sineas Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rudi Soedjarwo berhasil menyedot jutaan penonton melalui Petualangan Sherina (1,5 juta penonton) dan Ada Apa dengan Cinta (2,7 juta penonton), terbetik harapan: perfilman Indonesia mulai bernapas, dimulai dengan film drama, sejarah, atau genre apa pun yang menuntut logika. Namun, apa boleh buat, film Jelangkung arahan Rizal Mantovani dan Jose Purnomo pun meraup jutaan penonton. Indonesia memasuki era horor urban.
Hantu urban—pengaruh film horor Hollywood, Korea, dan Jepang—di layar Indonesia kini lebih ngepop: berlokasi di jalan-jalan di kota (Jeruk Purut, Casablanca, Pondok Indah); lazimnya hantu berjenis kelamin perempuan; sudah pasti punya motif balas dendam. Sekitar 12 film horor dalam beberapa bulan terakhir hampir selalu menyedot jutaan penonton, terutama remaja (baca rubrik Layar).
Film drama remaja sebetulnya masih tetap primadona. Namun film jenis ini memakan ongkos tinggi, karena harus memakai pita seluloid, melibatkan pemain andal, dan dengan lokasi syuting yang banyak. Sedangkan pembuatan film horor cukup dengan video, yang ongkosnya jauh lebih rendah. Kemampuan pemain pun cukup yang pas-pasan, karena yang dibutuhkan hanya kepiawaian menjerit dan melotot. Tinggal didandani dengan kain putih, celak mata hitam, dan saus tomat di bibir. Lokasi syuting pun tak perlu banyak: kuburan, terowongan, atau rumah tua. Beres. Dengan ongkos produksi sekitar Rp 1,7 miliar, untuk balik modal hanya diperlukan 300 ribu penonton. Bayangkan jika penonton sampai jutaan, produser tentu bisa meraup belasan miliar rupiah. Siapa yang tidak tergiur?
Ada dua hal yang menimbulkan keprihatinan terhadap kecenderungan ini. Pertama, karena tergiur pendapatan yang begitu besar, banyak sineas yang ikut terjun (terpaksa atau rela) ke kubangan film bergenre ini. Maka, segala macam unsur ”intelektualitas” disisipkan agar terlihat ”beda” atau ”lebih pintar”. Ada film horor dengan hantu yang berlatar belakang PKI (Lentera Merah); ada yang mengutip filsafat Descartes (Pocong 2). Prihatin, karena pertanyaan yang timbul adalah apakah para sineas terkemuka ini tak lagi memiliki pilihan.
Keprihatinan kedua adalah ”kemenangan” genre film hantu—antara lain karena masyarakat kita yang gemar takhayul dan remaja kita gemar menyaksikannya untuk efek jerit ketakutan—semakin membuktikan betapa malasnya kita berpikir dan berupaya mencari cara lain untuk mencipta. Jenis film horor tidak bersalah. Tapi seharusnya ini bukan satu-satunya genre yang bisa membuat untung. Para produser, sineas, dan pemain harus memaksa diri memproduksi film aliran lain yang berpihak pada akal, logika, sekaligus menghibur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo