Dalam dua tahun terakhir, nama Heni Rachmawati begitu harum di kancah ilmuwan dunia. Profesor Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung itu masuk dalam daftar Top 2% Scientists in the World 2020-2021 dan 2021-2022 versi Stanford University dan Elsevier Report.
Kedua lembaga tersebut melakukan penilaian dan menyusun daftar ilmuwan peneliti di dunia. Ilmuwan yang masuk dalam daftar tersebut memberikan kontribusi besar dalam kegiatan penelitian. Stanford University dan Elsevier punya kriteria tertentu dalam menilai sekitar 100 ribu penelitian atau ilmuwan teratas di dunia berdasarkan beberapa jenis indikator.
Ada sejumlah
ilmuwan Indonesia dalam daftar bergengsi tersebut pada 2022, yang dirilis belum lama ini. Delapan di antaranya dari ITB. Ditemui wartawan
Tempo, Anwar Siswadi, di Gedung Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi (PPNN) ITB, Kamis lalu, Heni mengaku bangga bisa masuk dalam daftar teratas ilmuwan dunia tersebut. Heni bercerita tentang teknologi nanofarmasi yang menjadi riset kebanggaannya.
Riset-riset tentang nanofarmasi membuat nama perempuan berusia 52 tahun itu makin diakui sebagai ilmuwan top dunia. "Teknologi nano adalah masa depan yang menawarkan banyak keunggulan," kata Heni.
Selain membicarakan nanoteknologi, Heni bercerita tentang perkembangan dunia farmasi di Tanah Air. Termasuk temuan senyawa etilena dan dietilena glikol yang diduga sebagai penyebab ratusan kasus
gagal ginjal akut pada anak. Berikut ini wawancara
Tempo dengan Heni Rachmawati.
Kepala Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi, Prof Dr Heni Rachmawati, Apt, M Si, di ITB, Bandung, Jawa Barat, 27 Oktober 2022. TEMPO/Prima Mulia
Bagaimana perasaan Anda masuk daftar itu?
Ya, pasti ada rasa bangga, minimal pengakuan dari beberapa orang dan pihak terhadap apa yang saya lakukan. Sebenarnya arti dari penelitian itu kan manfaat. Kalau dipublikasikan, bermanfaat untuk pembaca, bisa dijadikan referensi bagi mereka untuk meneliti sesuatu yang relevan. Kalaupun ada apresiasi, ya, terima kasih, itu bonus.
Berapa jumlah paper yang Anda publikasi pada 2021?
Setiap tahun, saya ada publikasi. Waktu 2021, ada sekitar sepuluh paper dan memang target saya itu paper yang bereputasi bagus supaya impact-nya meluas. Jadi, kalau peneliti itu kejar-kejarannya adalah bisa publikasi di paper yang top. Kadang menembus paper yang bagus itu tidak mudah.
Ke mana Anda mengirim paper tersebut?
Kalau di farmasi, banyak jurnal-jurnal bagus. Yang penting terindeks oleh publisher yang sudah tepercaya secara internasional, seperti Elsevier dan Springer. Impact-nya besar, kualitasnya bagus ditunjukkan dari kuartil. Target saya Q1 (Quartile 1, jurnal-jurnal peringkat teratas) sebisa mungkin. Kemudian impact factor atau IF setinggi mungkin. Kalau peneliti, mengejarnya ke sana.
Apa tema paper yang Anda kirim?
Biasanya yang dilihat tidak per topik, tapi keseluruhan. Performance dari peneliti ini dari sisi publikasinya. Saya lebih ke arah nanomedicine.
Jadi, semuanya tentang nano?
Mayoritas iya, tentang aplikasi teknologi nano untuk dunia medis, yaitu farmasi dan kedokteran.
Lalu, untuk tahun ini, berapa banyak paper yang Anda kirim?
Tahun ini saya memang agak lambat. Jadi, baru kuartal terakhir ini saya mulai submit-submit karena mungkin kerjaan mahasiswa banyak menemui berbagai kendala. Jadi, mulai submit pada Agustus lalu, sudah ada tiga yang terbit. Semuanya masih tentang material nano untuk bidang farmasi.
Sejak kapan tertarik dengan teknologi nano?
Sudah lama, sejak saya ambil S-2 pada 1994. Jadi, harus konsisten peneliti itu, ya.
Saat itu Anda tertarik dengan teknologi nano secara umum atau farmasi?
Sudah ke farmasi, jadi saya sudah mengarahkan semua riset nano ke bidang kesehatan. Secara umum, nanomaterial itu, apa pun aplikasinya, mempunyai keunggulan dibanding material yang sama yang lebih besar ukurannya. Nilai keunggulannya ditunjukkan untuk berbagai bidang. Jadi,
aplikasi nano sangat luas, bisa digunakan untuk bidang
engineering, life science, dan bidang lainnya. Hampir menyasar ke semua bidang kehidupan dampak dari penelitian nanoteknologi atau nanomaterial.
Sejak kapan teknologi nanomaterial dikenal di ITB?
Sejak dulu, semenjak para dosen melakukan penelitian. Tapi pencanangan nyata inisiasi bahwa ITB akan punya pusat riset nano itu baru pada 2013. Gedung Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi ini baru diresmikan pada 2016. Pendirian pusat penelitian nano ini juga atas dukungan pemerintah.
Lama juga rentangnya sejak Anda mulai meneliti dulu...
Memang saat saya meneliti, 1994, sebagai tugas akhir S-2, teknologi nano belum booming di Indonesia. Baru tren sekitar 2006. Saya juga tidak menduga jadi tren lebih cepat. Saya meneliti karena interest dengan nanomaterial. Saat itu belum banyak yang care soal nano. Kemudian saya ingin lebih tahu banyak dengan ambil S-3 di Belanda, mencari promotor yang interest-nya juga di nano pada 2001. Pulang ke Indonesia bingung, bagaimana melanjutkan ilmu saya dan mengaplikasikannya. Jadi, saya cari-cari celah, saya itu serba beruntung. Saat di Belanda, teman saya mengundang wartawan (sebuah media online di Indonesia). Dia mendengarkan presentasi saya dan dinilai bagus untuk diberitakan. Dengan begitu, sepulang dari Belanda, nama saya mulai dikenal di Indonesia.
Dikenal sebagai apa?
Awalnya sebagai penemu obat lever. Setelah itu, banyak wartawan minta wawancara, pasien-pasien minta tolong obatnya mana. Jadi ada beban moral juga. Wah, saya belum apa-apa tapi respons masyarakat sudah besar. Saya harus bisa mewujudkan harapan mereka. Sampai kemudian saya pikir, kalau teknologi nano ini diterapkan di Indonesia, masih lama. Jadi, saya perdalam lagi ke Jerman pada 2009 dengan mencoba meneliti curcumin atau kunyit untuk di-nano-kan di Jerman. Itu pertama kali saya mendalami teknologi nano dengan material dalam negeri.
Saya ingin mengenalkan bahwa teknologi nano itu bukanlah sesuatu yang menakutkan. Material tradisional pun bisa disentuh. Saya bawa kunyit itu kebetulan hasil risetnya bagus. Sebelum saya pulang ke Indonesia, kunyit nano itu sudah dinanti industri farmasi untuk dipakai sebagai suplemen alam untuk kesehatan hati. Saya diminta membantu salah satu industri untuk mengembangkan nano kunyit untuk dibuat di dalam negeri. Dan akhirnya mereka punya fasilitas untuk memproduksi sendiri. Pertama kali teknologi nano dikembangkan industri di Indonesia sejak 2010 sekembali saya dari Jerman.
Kenapa tertarik ke nano?
Saya baca-baca bahwa teknologi
nano adalah teknologi masa depan yang menawarkan banyak keunggulan sehingga ini membuat saya jadi penasaran. Berarti ada harapan untuk bisa diteliti sampai nanti secara berkelanjutan.
Apa saja keunggulan teknologi nano?
Banyak, tergantung penerapannya. Intinya teknologi nano itu membuat materi menjadi lebih kecil (submikron) sehingga karakteristik asli dari material itu kelihatan secara nyata.
Apakah sifat materialnya jadi berubah?
Sifat fisik dari material akan berubah, misalnya sifat optik, sifat mekanis, magnetis, dan elektris. Perlu dicermati juga ada kemungkinan potensi toksisitas, baik terhadap manusia maupun lingkungan.
Bagaimana kalau untuk obat?
Aplikasinya bermacam-macam. Nanomaterial di bidang farmasi ada dua macam, yaitu nano carrier dan nanopartikel. Nanopartikel, misalnya pada obat, yang dikecilkan secara mekanis sampai skala nanometer dengan cara tertentu. Misalnya, parasetamol, berbentuk serbuk yang umumnya berukuran mikron. Parasetamol mempunyai kelarutan kurang baik. Dengan dibuat nano, kelarutannya akan meningkat. Karena makin kecil suatu bahan, makin besar luas permukaan totalnya, sehingga makin besar kontak dengan molekul air.
Dari segi manfaat, seberapa besar kegunaan teknologi nano?
Misalnya, parasetamol tadi. Jika ukuran partikelnya besar, kelarutannya lebih susah. Kalau dikecilkan, kelarutannya lebih baik. Hal ini sering digunakan sebagai salah satu upaya meningkatkan kelarutan suatu senyawa obat yang sukar larut dan memungkinkan untuk menghindari penggunaan bahan-bahan peningkat kelarutan lainnya yang mungkin berpotensi bahaya. Selain itu, dapat menurunkan dosis dan mengurangi efek samping di dalam tubuh. Karena kecepatan melarutnya tinggi, akan juga cepat diabsorpsi. Kalau kecepatan melarut obat itu lama, belum sempat diabsorpsi, obat sudah tereliminasi dari saluran cerna. Jadi, ada sebagian dosis yang terbuang sia-sia. Dengan dibuat nano, akan jadi lebih efektif.
Apakah teknologi nano mahal?
Mahal-tidaknya itu relatif. Kalau teknologinya masih baru, tentu masih mahal. Sekarang sudah relatif terjangkau karena sudah bisa diproduksi massal, banyak mesin, dan teknologinya sudah mulai dipahami lebih baik. Bahkan, di Indonesia, mesin milling sudah ada yang produksi lokal, tapi belum banyak industri yang memanfaatkan.
Selain untuk obat dan suplemen, untuk apa lagi material nano digunakan di bidang farmasi?
Untuk industri kosmetik, misalnya pewarna untuk lipstik, make-up, dengan nano itu lebih intens warnanya dengan sedikit zat warna. Kemudian, makanan dan minuman. Semua area farmasi memanfaatkan keunggulan teknologi nano untuk meningkatkan nilai guna dan manfaat bahan tersebut, meningkatkan absorpsi dan stabilitas, serta mengontrol pelepasan obat.
Riset andalan Anda mengenai nanocurcumin dan nanoemulsi vitamin, itu seperti apa?
Andalan saya nanocurcumin sejak 2009 saya teliti di Jerman. Promotor saya di Jerman pun mengakui penelitian itu lebih baik sehingga sempat ingin mematenkan secara internasional. Tapi dananya besar untuk biaya paten internasional, jadi batal. Kemudian saya bawa ke Indonesia untuk berbagai topik riset mahasiswa bimbingan saya. Paper yang diterbitkan dari riset nanocurcumin ini sudah banyak. Lebih dari 10 paper, baik studi aktivitas, stabilitas, farmakokinetika, maupun toksisitas dan perilakunya di dalam tubuh. Kemudian saya juga kembangkan bentuk nanoemulsinya untuk berbagai tujuan. Di negara lain, riset curcumin masih terus berlanjut, bahkan untuk Covid-19 pun memungkinkan.
Ilustrasi daun kelor. Shutterstock
Apakah Anda hanya meriset nano pada curcumin?
Itu awal. Setelah itu, nano dengan bahan aktif herbal lainnya, seperti sambiloto, minyak cengkih, daun kelor, propolis, dan vitamin-vitamin larut lemak, seperti vitamin E dan K, saya kembangkan jadi nanoemulsi.
Bagaimana Anda melihat perkembangan farmasi di Indonesia?
Tambah maju ya, dan bisa mengikuti kemajuan teknologi farmasi internasional, tidak hanya di kalangan praktisi, tapi juga akademikus. Farmasi itu tergolong bidang ilmu yang sangat dinamis. Karena pola penyakit yang berubah cepat, kadang tidak terduga seperti Covid-19, regulasi dan tuntutan pasien meningkat terus. Indonesia termasuk potensial karena didukung sumber daya manusia yang kompeten. Hanya, dukungan fasilitas riset dan bahan baku penunjang riset yang semua impor itu menghambat riset-riset bidang farmasi di Indonesia. Jadi kalah cepat oleh negara lain walaupun sebenarnya kita bisa. Strateginya, peneliti Indonesia harus bekerja sama dengan pihak luar negeri karena dukungan pemerintah untuk kegiatan riset masih kurang. Kondisi seperti itu yang mendorong peneliti secara individu mencari partner dan jejaring internasional.
Bagaimana soal kasus obat sirop yang diduga penyebab ginjal akut pada anak?
Sebenarnya dua pelarut,
etilena dan dietilena glikol, enggak boleh dipakai atau dibatasi penggunaannya untuk sediaan farmasi, terlebih yang masuk ke dalam tubuh. Kalau sediaan untuk di luar tubuh, mungkin lebih aman. Etilena dan dietilena glikol yang masuk ke dalam tubuh itu sebagai cemaran dari pelarut yang boleh digunakan, seperti sorbitol, gliserin atau gliserol, propilena glikol, dan polietilena glikol. Syarat bahan baku dari empat pelarut itu boleh mengandung etilena atau dietilena glikol maksimum 0,1 persen. Di atas itu enggak boleh karena terkait dengan toksisitasnya. Senyawa etilena glikol ini di dalam tubuh dimetabolisasi oleh suatu enzim hingga akhirnya dia menjadi asam oksalat. Jika bertemu kalsium di dalam darah, menjadi kalsium oksalat. Bentuknya kristal tajam yang tidak larut dan berbahaya untuk ginjal.
Berapa ambang batas cemaran etilena dan dietilena glikol?
Maksimum 0,5 miligram per kilogram berat badan.
Kenapa bisa sampai terjadi melebihi ambang batas?
Saya tidak menuduh siapa-siapa. Mungkin sengaja etilena dan dietilena glikol ditambahkan atau dicampurkan dalam pelarut yang diperbolehkan. Tujuannya untuk mengurangi jumlah penggunaan pelarut yang harganya lebih mahal daripada etilena glikol. Atau tidak sengaja ditambahkan, dan mungkin industri farmasi tidak melakukan konfirmasi ulang atas data certificate of analysis (CoA) dari produsen pelarut tersebut.
Adakah tim pemeriksa di industri farmasi?
Di industri farmasi pasti ada bagian quality control. Barang masuk itu sebelum digunakan untuk formulasi, dia masuk karantina dulu, diperiksa mutunya, sesuai enggak dengan spesifikasi. Kalau enggak sesuai dengan spesifikasi, dikembalikan. Memang untuk bahan baku tambahan sering kali tidak diperiksa semua karena jumlahnya sangat banyak. Jadi, mengacunya pada certificate of analysis dari supplier, dari produsen bahan baku tambahan. Mungkin saja industri farmasi tidak mengecek ulang bahan bakunya dan produk jadinya sehingga ketika sudah diedarkan baru ada masalah.
Apakah etilena dan dietilena glikol ada yang dibuat, bukan dari cemaran?
Ada cairan sendiri karena banyak digunakan industri lain, seperti industri cat dan otomotif. Beli literan ada, pabriknya ada di Indonesia yang menghasilkan etilena glikol.
Kabarnya, harga empat senyawa pelarut obat sirop itu sedang mahal, apakah benar?
Harganya menjadi mahal karena kelangkaan suplai, sementara demand meningkat gara-gara pandemi Covid-19. Adanya pandemi menyebabkan aktivitas impor dan mobilitas antarnegara juga berkurang. Itu menyebabkan berkurangnya suplai bahan baku industri farmasi yang hampir semuanya impor.
Apakah empat pelarut itu hanya digunakan di industri farmasi?
Enggak. Juga digunakan di industri lain, seperti makanan dan kosmetik. Hanya beda grade, tergantung jenis produknya. Grade yang paling tinggi adalah untuk farmasi. Makin tinggi grade, makin mahal karena makin murni.
Sebenarnya bagaimana proses pembuatan obat sirop itu?
Misalnya parasetamol yang tidak mudah larut dalam air, salah satu upayanya adalah menggunakan pelarut campur. Yang biasa digunakan di sediaan farmasi itu sorbitol, gliserin atau gliserol, propilena glikol, dan polietilena glikol. Jumlah sekian persen sampai parasetamol mudah larut. Selain pelarut, kemudian ada peningkat rasa, warna, stabilizer, hingga akhirnya jadi obat sirop yang memenuhi persyaratan mutu. Yang disebut sirop itu adalah sediaan jernih, jadi enggak boleh ada endapan dan kekeruhan. Kebanyakan obat memang pelarutannya bermasalah, lebih dari 40 persen. Masalah lain dari obat adalah stabilitas dan absorpsi.
BPOM dinilai kecolongan pada kasus etilena dan dietilena glikol yang melewati ambang batas. Bagaimana tanggapan Anda?
Aturan batas maksimum itu sudah ada. Tapi, untuk bahan tambahan, umumnya industri farmasi percaya dengan certificate of analysis dari supplier atau vendor, dan jarang dilakukan konfirmasi ulang di industri obat. Dengan asumsi mereka (produsen) bisa launching bahan baku tersebut, itu sudah berarti melalui berbagai macam pemeriksaan.
Faktanya?
Ada yang benar dan tidak, terutama
produsen obat yang tidak bereputasi baik. Memang kalau disimpulkan kejadian yang sama dari seluruh dunia, terjadi kelemahan dalam hal pengawasan pada bahan baku tambahan. Seringnya industri farmasi hanya mengecek CoA dan tidak melakukan konfirmasi ulang. Karena enggak semua industri farmasi juga punya peralatan analisis untuk mengecek keberadaan etilena dan dietilena glikol. Industri farmasi besar mungkin punya, tapi yang kecil mungkin enggak punya. Kemudian bahan baku di industri farmasi itu enggak cuma puluhan jumlahnya, tapi bisa sampai ratusan. Bayangkan kalau semua diperiksa ulang satu per satu oleh industrinya, akan memakan waktu, tenaga, dan biaya. Praktisnya, mereka hanya berdasar pada CoA dengan asumsi produsen bahan baku itu sudah taat memenuhi regulasi.
Dari kejadian ini, apa yang bisa jadi pelajaran?
Lesson learned-nya memang regulasi harus lebih ketat. Industri farmasi lebih aware tidak hanya memperhatikan profit, tapi juga safety. Industri harus pandai-pandai memilih vendor atau produsen bahan baku yang akan digunakan.
Sejak kapan Anda mengajar di Farmasi ITB?
Jadi asisten dosen pada 1995. Sejak 1997, sudah jadi PNS, tapi belum mengajar full, masih magang dengan dosen senior. Diberi tanggung jawab mengajar sekembalinya dari studi S-3 sekitar 2006.
Kenapa tertarik dengan farmasi?
Dari latar belakang keluarga besar saya, terinspirasi paman yang jadi dokter. Banyak sepupu, keponakan, yang kemudian mewarisi profesi dokter. Saya satu-satunya di keluarga besar yang jadi apoteker. Saya suka dengan ilmu-ilmu tentang manusia.
Kenapa tidak pilih kedokteran?
Karena lama kuliahnya. Sasaran saya waktu itu mau kuliah di ITB karena kakak saya sudah duluan di ITB. Di ITB tidak ada kedokteran, adanya farmasi. Kenapa ITB? Karena saya selalu memilih yang the best, termasuk soal sekolah. Dulu masuk ITB lewat jalur PMDK yang tanpa tes, saya pilih farmasi. Dulu cita-cita saya ingin bekerja di industri farmasi karena duitnya pasti banyak. Selain itu, saya tertarik dengan teknologi formulasi. Dulu pernah melamar ke Bio Farma, tapi enggak diterima. Ternyata cita-cita bekerja di industri itu tidak tercapai. Jadi saya ambil S-2. Ternyata jalur saya jadi dosen di ITB.
Selain kefarmasian, punya hobi apa?
Saya senang menyanyi, semua genre, walau enggak bagus suaranya. Senang musik, dulu belajar saksofon, biola, sekadar bisa, tapi enggak ditekuni, amatiranlah. Kalau lagi acara kumpul, suka menyumbang suara sumbang. Di rumah senang karaoke lagu pop, yang lagi hit sekarang juga, tapi K-Pop enggak.
Hobi jalan-jalan juga?
Semua tempat yang alamnya bagus. Saya lebih senang ke pegunungan daripada laut karena lebih teduh. Saya enggak suka yang panas-panas. Kadang sama teman, sendiri, atau keluarga, tergantung sikon.
Sudah ke mana saja?
Mungkin sudah sepertiga lebih wilayah bumi, semua benua sudah. Di Indonesia hanya belum ke Papua karena masih takut katanya sering ada tembak-menembak. Tapi lihat teman ke Raja Ampat jadi kepingin. Wilayah Jawa Barat saya senang karena iklimnya sejuk. Kalau ke suatu negara di sela acara konferensi, saya optimalkan waktu untuk mengeksplorasi semaksimal mungkin walaupun harus berjalan kaki dan sendirian.
Apakah Anda punya jadwal khusus untuk jalan-jalan?
Enggak. Paling kalau ada yang mengajak tambah senang, pas bisa dan ada waktu. Saat ini saya suka pergi bareng karena lebih enak. Kalau dulu, suka sendiri karena susah ngajak orang. Biasanya sama teman-teman kuliah. Saya enggak punya interest khusus di suatu tempat. Pokoknya, saya ingin tahu daerah itu seperti apa kehidupannya, alamnya, orangnya, dan makanannya.
Kalau ke luar negeri sukanya di mana?
Amerika tidak terlalu suka karena sulit transportasinya. Saya suka di Skandinavia, Swiss suka banget. Pegunungan Alpen yang melalui banyak negara itu menakjubkan. Kalau Afrika pernah ke Tunisia, waktu itu ada undangan dari Islamic Development Bank, saya kan alumnusnya juga. Kalau Asia, hampir semua, kecuali ke Myanmar, Cina juga belum. Jepang sering, Australia beberapa kali, New Zealand belum.
Prof Dr Heni Rachmawati, Apt, M Si, di ITB, Bandung, Jawa Barat, 27 Oktober 2022. TEMPO/Prima Mulia
Nama: Heni Rachmawati
Lahir: Semarang, 12 Desember 1969
Pendidikan:
- Sarjana Farmasi ITB
- Apoteker ITB
- Pascasarjana Farmasi ITB
- Doktor Drug Targeting & Delivery University of Groningen, Belanda
- Postdoctoral Nanomedicine Free University of Berlin, Jerman
- Postdoctoral Nanomedicine National University of Singapore, Singapura
Pengalaman Jabatan:
- Head, Laboratory of Pharmaceutical Solid (2007-2009)
- Chair, Division of Nanomedicine, National Research Center for Nanoscience and Nanotechnology, ITB (2014-sekarang)
- Coordinator, Research, and Collaboration SF ITB (2009-2017)
- Team, Commission of Research, LPPM ITB (2009-2017)
- Head, Study Program of Magister Sport Science ITB (2018-2019)
- Head, Study Program of Doctoral Pharmacy ITB (2018-2020)
- Head, Research Center for Nanosciences and Nanotechnology, ITB (2020-sekarang)
- Head, Komisi 2 Forum Guru Besar ITB (2020-sekarang)
Penghargaan
- Dosen Berprestasi ITB 2013
- Dosen Berprestasi Dikti 2013
- Best Research II Kalbe Award, 2014
- Ganesha Award in Research, 2015
- Ganesha Award in Innovation, 2016
- Receiver, travel grant for Indonesia Innovation Day, Eindhoven, Netherlands, 2017
- MIT-Indonesia Research Alliance, 2019
- Ganesha Award in Innovation, 2022
- Top 2% Scientist in the World: Single Year Impact 2020-2021 according to Stanford University and Elsevier
- Top 2% Scientist in the World: Single Year Impact 2021-2022 according to Stanford University and Elsevier