Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuntoro Mangkusubroto tampak begitu santai saat memasuki pesawat Garuda yang membawanya dari Jakarta ke Pekanbaru, Riau, Sabtu dua pekan lalu. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan itu hanya ditemani dua anggota stafnya. Koper pun dibawanya sendiri. Dengan topi dan kemeja khaki, Kuntoro duduk di deretan kursi kelas ekonomi, membaur bersama ratusan penumpang lain.
"Saya lebih suka duduk di belakang," kata Kuntoro sambil tersenyum. Padahal, kalau mau, Menteri Pertambangan di kabinet terakhir Presiden Soeharto ini bisa bepergian dengan lebih "mewah". Tapi itu bukan gaya Kuntoro.
Jauh sebelum namanya dikenal luas sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pada 2005-2009, Kuntoro sudah punya reputasi sebagai troubleshooter: orang yang mampu menyelesaikan masalah. Pengalamannya berwarna: dari membangkitkan PT Timah yang terpuruk, meniupkan napas untuk PLN yang kembang-kempis, sampai membangun kembali daerah bencana yang luluh-lantak oleh gempa dan tsunami.
Awal September lalu, Kuntoro baru saja menyelesaikan masalah kesekian di mejanya: membuat landasan buat implementasi sepenuhnya program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) atau PenguranganEmisidari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Dua tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya sebagai Kepala Satgas REDD+ dengan tugas utama memastikan konsep pengurangan efek rumah kaca dengan melestarikan hutan, lengkap dengan semua instrumen pengukuran dan pemantauan hasilnya.
Dua pekan lalu, insinyur lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung ini merampungkan tugas itu. Kini Indonesia punya Badan Pengelola PenurunÂan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut. Lembaga inilah yang bakal menjadi ujung tombak untuk memastikan target penurunan emisi karbon Indonesia—yakni sebesar 26 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional, pada 2020—terpenuhi.
Tapi itu bukan berarti pekerjaan sudah selesai. Kuntoro mengakui gagasan "menjual kemampuan hutan menyerap karbon" bukan sesuatu yang mudah dia jelaskan kepada rekan-rekannya di kabinet. Apalagi pasar karbon global belum terbentuk benar. Dia mengakui banyak menteri di bidang ekonomi masih menilai hutan berdasarkan potensi nilai industri kayu, pertambangan, atau perkebunan—bukan daya dukung vitalnya dalam mencegah perubahan iklim.
Ahad dua pekan lalu, setelah menemani aktor kawakan Hollywood, Harrison Ford, blusukan ke Taman Nasional Tesso Nilo di Riau untuk membuat film tentang kerusakan lingkungan, Kuntoro menjawab sejumlah pertanyaan wartawan Tempo, Wahyu Dhyatmika.
Anda kelihatan kaget melihat skala kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo. Menurut Anda, apa yang salah?
Saya kira akar masalahnya adalah ketidakmampuan kita menjaga kawasan supaya tidak dirampas, ketidakmampuan kita untuk menahan perambah. Ketidakmampuan ini mahal sekali harganya. Sebab, dari 83 ribu hektare taman nasional itu, hanya setengahnya yang bersih dari perambah. Ini sangat menyedihkan.
Kenapa pemerintah bisa tidak mampu menjaga taman nasional?
Bagaimana mungkin sebuah taman nasional dijaga hanya oleh beberapa orang yang tanpa perlengkapan? Mobil operasional Balai Taman Nasional Tesso Nilo itu cuma satu. Kantor seksinya hanya ada dua. Itu pun tidak ada orangnya. Ada ketidaksungguhan pemerintah menjaga kawaÂsan itu.
Bagaimana dengan faktor tumpang-tindihnya perizinan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan sawit di dalam wilayah Taman Nasional?
Saya tidak mengerti mengapa itu masih terjadi. Saya kira ini satu hal yang perlu diluruskan. Kita juga tidak usah menutup mata bahwa ada perusahaan kelapa sawit, seperti Wilmar, yang membuka pintu pabriknya untuk sawit-sawit yang diambil dari dalam Taman Nasional Tesso Nilo. Ini keterlaluan sekali. Mengapa perusahaan sebesar Wilmar mau menerima tandan sawit yang tidak jelas asalnya? Ini harus diluruskan.
Sejauh mana kondisi di Tesso Nilo ini merepresentasikan persoalan hutan kita?
Saya kira Tesso Nilo adalah gambaran khas dari taman nasional di mana-mana. Taman Nasional Berbak di Jambi dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah (keduanya memiliki proyek REDD+) menghadapi persoalan serupa. Kondisi yang sama juga terjadi di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Riau dan Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara. Sama saja.
Lalu bagaimana ini akan diselesaikan?
Saya kira masalah penerbitan izin pemanfaatan hutan harus dirapikan. Sekarang para bupati masih diberi hak menerbitkan izin pemanfaatan area penggunaan lain (APL) yang bisa sampai ribuan hektare. Ini yang tidak terkontrol, karena banyak APL yang berbatasan dengan kawaÂsan taman nasional. Lihat saja kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Hutan di sana dikelilingi jalan-jalan yang disebut jalan koridor, yang dibangun perusahaan kayu. Padahal seharusnya jalan koridor tidak boleh masuk dan berbatasan dengan taman nasional.
Anda frustrasi?
Frustrasi sih enggak, cuma sedih dan geram. Tapi kita harus menyelesaikan masalah ini. Apalagi Tesso Nilo ini kan hanya satu dari banyak taman nasional. Ini harus diselesaikan.
Caranya?
Tesso Nilo for sure is losing battle, kalau kita ingin mengembalikan hutan ini seperti semula. Kalau mau realistis, kita terima saja setengah hutan yang tersisa, tapi kita diberi suatu kelengkapan untuk menjaga itu agar tidak terjadi lagi kekacauan, kecurangan, pemalsuan, dan perambahan di sana.
Harrison Ford ingin para perambah yang merusak taman nasional ditindak. Apa kesulitan pemerintah melakukan itu?
Mengalihkan orang itu susah. Apa mau konflik seperti di Mesuji, Lampung? Mending kita menghindarkan orang masuk ke taman nasional. Buat saya, it is a losing battle ketika kita gagal menahan orang masuk hutan.
Dalam konsep REDD+, apakah warga masih boleh hidup di tengah hutan?
Warga yang menanam sawit di taman nasional, ya, tidak bisa. Nanti jadinya bukan hutan, melainkan perkebunan. Dalam konsep REDD+, warga harus menjaga hutan. Dengan menjaga hutan, mereka hidup dari hutan, dan meningkat kesejahteraannya.
Presiden pekan lalu menandatangani peraturan Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut. Ini artinya REDD+ sudah siap berjalan?
Tugas badan ini adalah mengurangi kadar emisi karbon yang dihasilkan oleh penggundulan hutan. Jadi, kalau mau berhasil, itu berarti Badan REDD+ harus bisa mengurangi penggundulan hutan dan merehabilitasi hutan.
Ada kritik Badan REDD+ tak akan bisa bekerja efektif karena kewenangan pemanfaatan kawasan hutan masih terserak di tangan bupati, Menteri Kehutanan, dan kementerian lain….
Soal perizinan tetap di Kementerian Kehutanan. Cuma, bagaimana perizinan diberikan adalah subyek dari pengawasan, pengamatan, dan pelurusan dari Badan REDD+.
Jadi semua izin harus disetujui Badan REDD+?
Badan REDD+ tidak perlu mengambil kewenangan dari Kementerian Kehutanan. Masing-masing berjalan saja, sendiri-sendiri. Jika ada kesalahan dalam proses penerbitan izin, badan ini bisa minta kesalahan itu diperbaiki. Kalau ada prosedur yang perlu diluruskan, ya, diluruskan.
Bagaimana pendanaan REDD+?
Norwegia sudah siap. Begitu ini siap, dana yang US$ 170 juta masuk. Yang US$ 30 juta kan sudah. Ini masih tahap persiapan. Nanti yang US$ 800 juta akan dibayarkan terkait dengan pengurangan emisi. Jadi, kalau kita bisa membuktikan terjadi pengurangan emisi, mereka membayarnya buat kita. Uangnya akan masuk ke masyarakat yang ada di hutan dan melakukan kegiatan pengurangan emisi.
Konkretnya, warga yang tinggal di hutan mendapat apa?
Misalnya, satu wilayah hutan berhasil mengurangi emisi karbon, maka keberhasilan itu diberi kompensasi dalam bentuk pembangunan sekolah, fasilitas kesehatan, kegiatan pelatihan, dan pemanfaatan hasil hutan. Ini yang namanya meningkatkan kesejahteraan warga.
Anda yakin kompensasi itu cukup untuk membuat warga tidak tertarik untuk menebang, atau menanam sawit….
Saya harus yakin.
Tapi bagaimana Anda meyakinkan masyarakat?
Warga yang tinggal di hutan adalah masyarakat tradisional. Sedangkan orang yang menanam sawit itu kebanyakan pendatang. Yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo, misalnya, itu orang-orang Medan. Mereka bukan pemilik tanah asli. Kalau berhadapan dengan perambahan hutan, kita berbicara tentang penegakan hukum. Tapi, kalau berhadapan dengan penduduk asli, kita berbicara bagaimana caranya agar mereka bisa hidup dengan hutannya, dan tetap bisa menyekolahkan anak, menyehatkan anak, dan mendapat uang dari hasil hutan.
Tapi bagaimana meyakinkan pengusaha atau pejabat yang ingin mengubah hutan menjadi perkebunan sawit….
Pertarungan itu baru bisa dimenangi kalau saya bisa merumuskan konsepsi bahwa konservasi hutan lebih tinggi nilai ekonomisnya ketimbang mengkonversi hutan menjadi kebun kelapa sawit.
Sekarang, kalau harus memilih perkebunan sawit atau hutan, pemerintah pilih yang mana?
Sudah ada 10 juta hektare kebun sawit di Indonesia. Produktivitas rata-rata kita hanya 60 persen dari Malaysia. Kalau you bisa samakan 100 persen dengan Malaysia, itu sama artinya you menaikkan produksi kita ekuivalen dengan menambah luas 6 juta hektare lagi. Kenapa itu tidak dilakukan? Karena selama ini menambah luas kebun 6 juta hektare lebih murah ketimbang meningkatkan produktivitas. Jadi ini persoalan keserakahan. Perkebunan seluas 10 juta hektare kan banyaknya bukan main. Dan mereka hanya dikuasai enam keluarga.
Siapa yang harus memberi tahu pengusaha untuk soal semacam ini?
Pemerintah. Pemerintah harus menegakkan aturan dan pengusaha mesti melaksanakan. Habis perkara.
Bagaimana dengan kementerian lain?
Itu tergantung Presiden. Sejauh ini, Presiden firm soal ini.
Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi? Apa harus dikorbankan?
Buat saya, pertumbuhan ekonomi kita jelas tidak bisa dikorbankan. Pertumbuhan ekonomi kita harus dijaga 7-8 persen. Tapi lingkungan juga tidak boleh rusak. Caranya? Banyak sektor yang mesti disentuh. Pertama, untuk sektor yang banyak membuang emisi karbon ke udara, misalnya cerobong asap PLTU, you harus menggunakan teknologi baru. Kedua, cara kita menilai potensi ekonomis hutan harus diubah. Nilai hutan harus dinaikkan. Itu yang selama ini tidak berhasil kita lakukan. Ada kemalasan berpikir.
Maksudnya malas berpikir?
Cara berpikir banyak ekonom kita masih sangat tradisional. Pajak yang kita kenal, misalnya, hanya pajak bumi dan bangunan serta pajak pertambahan nilai. Pajak emisi enggak ada, pajak karbon enggak ada. Cukai untuk pohon yang ditebang tidak ada. Menebang pohon dianggap biasa, dianggap gratis saja. Padahal seharusnya ada cukainya.
Anda pernah membicarakan ini dengan menteri yang mengurusi ekonomi?
Iya, tapi enggak pernah intens. Mereka berpikir hal semacam ini belum waktunya. Tapi tidak semua. Kalau dengan Pak Emil Salim sih mudah sekali menjual pikiran semacam ini.
Anda merasa sendirian?
Enggak. Saya punya banyak teman lembaga swadaya masyarakat yang menggerakkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Film dokumenter ini contohnya. Teman-teman saya di Amerika mengajak bintang film top dunia seperti Harrison Ford berbicara di film ini. Itu kan keren. Di sini ada World Wildlife Fund dan Conservation International, yang bergerak semua, membantu dalam sosialisasi paradigma baru ini.
Prof Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto, MSc Tempat dan tanggal lahir: Purwokerto, 14 Maret 1947 Karier di Pemerintahan: 2009-sekarang: Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan | 2010-2013: Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ | 2009-2012: Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum | 2005-2009: Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias | 2000: Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara l 1998-2000: Menteri Pertambangan dan Energi | 1993-1997: Direktur Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi | 1989: Direktur Utama PT Tambang Timah | 1988: Direktur Utama PT Tambang Batubara Bukit Asam Pendidikan: l S-1 Teknik Industri Institut Teknologi Bandung l S-2 Teknik Industri dan Teknik Sipil Universitas Stanford l Doktor Ilmu Teknik Bidang Ilmu Keputusan di ITB l Pendiri Sekolah Bisnis dan Manajemen di ITB (2003) l Guru Besar Bidang Ilmu Keputusan di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB (12 Maret 2012) Penghargaan: Adhicipta Rekayasa dari Persatuan Insinyur Indonesia (1995) l ASEAN Engineering Excellence Award (1996) l Honorary Lee Kuan Yew Exchange Fellow dari pemerintah Singapura (2006) l Honorary Doctor (Dr HC) of Engineering dari Universitas Northeastern (Boston, 5 Mei 2012) l Royal Norwegian Order of Merit--Commander with Star (21 November 2012) Posisi Lain: Anggota International Advisory Panel di Asia Competitiveness Institute pada Lee Kuan Yew School of Public Policy (National University of Singapore) l Anggota Dewan Penasihat Wanadri l Penasihat senior IndoRescue l Pendiri BRR Institute |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo