Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya tersisa dua seri balapan GP2 musim ini. Rio Haryanto harus segera menemukan tim Formula 1 untuk berlabuh pada musim depan. Jika tidak, pembalap 22 tahun asal Surakarta ini akan kehilangan kesempatan emas tampil dalam lomba balapan mobil paling bergengsi di dunia tersebut.
Prestasi Rio pada tahun keempat GP2 patut diacungi jempol. Tiga kali dia berhasil menjadi juara dan dua kali naik podium di urutan kedua. Saat ini ia berada di peringkat ketiga klasemen sementara.
Setelah ia berhasil menjadi juara di GP2 Seri Silverstone, Inggris, Juli lalu, tiga tim F1, yakni The Sahara Force India, Sauber, dan Manor, mengungkapkan ketertarikan mereka dan mengajaknya bergabung. Penampilan Rio yang konsisten sepanjang musim menjadi magnet yang membuat mereka kepincut.
Rio tentu bungah oleh tawaran tersebut. Sayangnya, karena ia telat memberi kepastian, The Sahara Force dan Sauber akhirnya menutup pintu baginya. Mereka akhirnya menyerahkan kursi yang sedianya untuk Rio kepada pembalap lain.
Kini tim Manor—sebelumnya dikenal dengan nama Marussia—masih membukakan pintu baginya. Tapi tim yang dulu menaungi Rio saat tampil di GP3 Series 2010 itu hanya memberinya waktu hingga akhir bulan ini. Jika tidak ada kepastian, pembalap lain akan menggantikannya.
Rio bersama manajemennya berencana menemui Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno agar mendapatkan dukungan menuju F1. Rio berharap pemerintah Indonesia bisa menggelontorkan dana sehingga dia bisa memberi kepastian kepada Manor. Untuk bisa tampil di F1, butuh dana sekitar 15 juta euro atau lebih dari Rp 233 miliar.
"Kami enggak bisa maju kalau tidak ada dana," ujar Rio kepada Firman Atmakusumah, Isma Savitri, Rina Widiastuti, videografer Denny Sugiharto, dan fotografer Dian Triyuli Handoko dari Tempo di apartemennya di kawasan Kelapa Gading, Selasa pekan lalu.
Dalam wawancara selama lebih dari satu jam itu, Rio menuturkan lika-liku dan usaha yang telah dilakukannya untuk mewujudkan mimpinya. "Ini bukan buat kebanggaan saya sendiri, melainkan buat kebanggaan Indonesia."
Apa saja usaha yang sudah Anda lakukan untuk mendapatkan dukungan finansial?
Dua bulan lalu, setelah berhasil naik podium juara di GP2 Seri Inggris, saya berkunjung kepada Pak Jokowi. Dalam pertemuan di Istana itu, saya, manajemen, Pak Jokowi, Menteri BUMN, Direktur Pertamina, dan Menteri Pemuda dan Olahraga membahas rencana tahun depan ke F1. Pak Jokowi mendukung. Dia berharap bukan hanya Pertamina, melainkan ada perusahaan BUMN lain yang juga membantu. Saat itu Menteri BUMN mengatakan oke. Kini kami masih menunggu konfirmasi.
Berapa biaya yang dibutuhkan ke F1?
Untuk ke F1 butuh sekitar 15 juta euro. Pertamina mau mendukung ke F1, tapi belum ada konfirmasi tentang dukungannya itu. Nanti konfirmasinya ke BUMN. Sebagai gambaran, musim ini di GP2, Pertamina mendukung dana 70 persen dari bujet. Saya sangat berterima kasih kepada Pertamina yang selama ini mendukung.
Adakah sponsor dari luar negeri yang memberi tawaran?
Tidak.
Apakah ada usaha mendekati perusahaan swasta?
Selama ini manajemen kami mengirim proposal ke perusahaan-perusahaan, tetapi belum ada respons. Mungkin karena melihat biayanya yang besar.
Seperti apa harapan Anda terhadap pemerintah?
Yang pasti kesempatan masuk ke F1 langka. Saat ini sudah ada tim yang menawari. Harapan saya, pemerintah peduli. Kalau terwujud, ini akan menjadi sejarah bagi Indonesia. Satu-satunya orang Indonesia dan satu-satunya orang Asia untuk F1 musim 2016.
Saya paham bujetnya tidak sedikit. Apalagi ekonomi kita saat ini sedang kurang bagus. Nilai tukar dolar juga tidak stabil. Tapi masuk ke F1 ini bukan buat kebanggaan saya sendiri, melainkan buat kebanggaan Indonesia. Saya berharap, jika bisa masuk ke F1, saya bisa mewakili Indonesia di balapan internasional.
Ternyata skill balap saja tidak cukup untuk bisa tampil di F1. Apa itu sudah disadari sejak awal?
Iya. Ada tiga faktor yang menentukan untuk bisa ke F1, yaitu skill dari prestasi di kategori gokar, Formula, GP, mesti bagus. Lalu kesempatan yang terbatas karena tiap tahun hanya satu-dua pembalap baru dan kadang tidak ada pembalap sama sekali masuk F1. Dan terakhir dukungan finansial. Tiga faktor itu menentukan ke F1.
Pembalap Malaysia, Alex Yoong, dan pembalap India, Karun Chandhok, pernah tampil di F1 karena dukungan pemerintah kuat. Apakah memang harus selalu begitu?
Alex memang didukung pemerintah Malaysia dan punya sirkuit. Sedangkan Chandhok punya tim. Tapi pemerintah bisa juga mendukung dengan dana kalau tidak ada sirkuit dan tim. Dengan uang, kita bisa ke F1.
Tim mana saja yang sudah menawari?
Pada tengah musim lalu, setelah saya juara di Inggris, ada tiga tim yang menawari: Force India, Sauber, Manor. Namun Force India sudah mengumumkan mendapat tanda tangan dua pembalap, Sergio Perez dan Nico Hulkenberg. Sauber juga sudah mendapat pembalap. Tinggal Manor satu-satunya tim yang memberi tempat.
Force India tim bagus, kenapa kesempatan itu lepas?
Saya senang waktu ada tawaran dari Force India. Apalagi saat itu saya juga mendapat tanggapan bagus dari Pak Jokowi. Manajemen saya mencoba semaksimal mungkin mendekati pemerintah. Tapi, karena saya lambat memberi konfirmasi, kursinya diambil pembalap lain. Mendengar mereka mendapatkan Perez, kami kecewa karena itu kesempatan langka. Dua tim lepas karena kami telat memberi konfirmasi.
Manor agresif melakukan pendekatan?
Mereka menawari bukan melihat dari uang saja, tapi juga prestasi. Saat ini tinggal Manor. Musim depan mereka akan berpartner dengan tim F1 Mercedes dan William. Harapannya, mereka punya pengembangan yang bagus. Tapi tenggat dari Manor adalah dua minggu dari sekarang, alias sampai akhir bulan ini.
Banyak pembalap lain yang juga mengincar kursi di Manor?
Sekarang Manor memiliki pembalap Will Steve dan Alexander Rossi serta Roberto Merchi—test driver tim Manor. Ketiga pembalap itu punya pengalaman di F1. Jadi persaingannya cukup berat.
Misalnya mendapat dukungan pemerintah, apa bisa langsung membalap di F1?
Iya. Apabila itu deal, saya akan langsung jadi pembalap utama Manor. Kami tak bisa maju kalau tak ada dana. Tanpa dukungan pemerintah, cukup sulit karena yang kami butuhkan saat ini adalah dana ke F1.
Jika akhirnya batal ke F1, apa yang Anda akan lakukan?
Saya masih belum tahu mau apa. Mungkin jualan buku (tersenyum).
Bukankah bisa tampil di GP2 lagi?
Bisa. Tapi harus mencari tim baru lagi, harus kontrak lagi. Tapi tahun ini adalah peluang emas untuk masuk F1. Tahun depan belum tentu ada kursi. Ini pas ada tempat kosong.
Prestasi ternyata tidak bisa menarik sponsor.
Membantu iya, tapi tidak bisa menjanjikan. Sulit. Tahun lalu pembalap Inggris, Jolyon Palmer, menjadi juara GP2, tapi dia tidak bisa masuk ke F1 karena kurang dana. Akhirnya jadi test driver di tim F1 Lotus.
Apa yang akan dilakukan menjelang batas waktu akhir yang diberikan Manor?
Kami berusaha semaksimal mungkin menghubungi beberapa sumber. Pekan depan kami akan bertemu dengan Pak Ahok (Gubernur DKI).
Adakah peluang menggaet sponsor dari luar negeri?
Sebelumnya kami tidak mencari karena kami yakin pemerintah Indonesia akan memberi dukungan dengan prestasi yang sudah saya dapat dalam mengharumkan nama negara.
Pemerintah jangan-jangan tidak tahu soal tenggat itu.
Sudah. Manajemen sudah menyampaikan.
Apakah bos tim Campos Racing, Adrian Campos, tahu perjuangan Anda ke F1?
Iya. Dia tahu situasi saya sekarang ini seperti apa. Dia juga membantu mencarikan tim.
Dia yakin Anda layak ke F1?
Iya. Di media Spanyol, dia cukup terkenal, mantan pembalap F1 dan sekarang di Campos Racing. Di tim Campos, saya pembalap yang prestasinya paling bagus. Kepada media pers Spanyol, dia bilang Rio akan masuk F1 dengan dukungan pemerintah Indonesia. Dia membantu mengekspos tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Spanyol.
Tim Campos Racing tak bisa membawa Anda ke F1?
Tidak. Adrian pernah membuat tim F1 pada 2010. Tapi, karena persoalan keuangan, dia mundur dan dibeli partnernya. Untuk saat ini dia tidak punya bujet dan kesempatan masuk F1. Jumlah tim F1 juga terbatas. Tahun depan saja hanya ada satu tim F1 baru, yaitu dari Amerika Serikat.
Secara pribadi dekat dengan Adrian?
Kami biasanya seminggu atau dua minggu sekali ngobrol. Kadang di kantornya, sambil ngopi dan dia ngerokok. Saya sangat senang pada dia. Dia banyak memberi masukan dengan pengalaman dan cerita-ceritanya. Dia juga membimbing. Dia bercerita pernah berbuat salah. "Kamu jangan mengulang kesalahan yang sama!" begitu katanya. Dulu dia yang membawa Fernando Alonso ke F1 pertama kali.
Seperti apa tim F1 yang ideal menurut Anda?
Tim ideal adalah tim yang kompak dan komunikasi lancar. Tim yang tidak hanya bekerja dan sesudah mobil beres lalu pulang. Tapi lebih dari itu. Mereka harus berjuang sungguh-sungguh untuk mendapatkan hasil bagus. Jadi bukan hanya saya yang ingin juara. Satu tim juga benar-benar ingin memberiyang terbaik, kompak, dan kayak keluarga, memacu semangat satu sama lain.
Tim Campos sudah ideal?
Iya. Saya senang banget di tim ini. Bos dan krunya selalu memberi motivasi. Ada dua engineer yang bekerja dengan saya, yaitu Emilio Lozano, yang mengonsep setingan dan strategi, serta Gonzalo Baez, yang mengurus elektronik mobil. Emilio mempunyai cara pikir terbuka. Saya biasa berkomunikasi dengannya tentang setingan mobil. Kadang dia juga memotivasi saat berada di kokpit mobil.
Penampilan musim ini cukup menjanjikan. Apa rahasianya?
Saya memiliki tim yang kuat. Saya bersama tim, mekanik, engineer, bersama-sama mendapatkan setingan mobil yang konsisten di setiap sirkuit. Pengalaman saya tiga musim GP2 sebelumnya sangat membantu saya beradaptasi dengan cepat dari trek ke trek. Hasilnya bagus. Musim ini tiga kali juara di Bahrain, Austria, dan Inggris serta naik podium urutan kedua di Bahrain dan Rusia.
Di GP2 ini series, 26 pembalap memiliki mobil yang sama, perbedaan hanya pada setingan mobil, komunikasi dengan tim dan skill driver. Musim ini saya lebih terlibat dalam setingan mobil. Sekarang saya bisa memilih mana setingan yang tepat untuk kondisi yang berbeda-beda, karena temperatur dan aspal setiap sirkuit berbeda. Jadi, di setiap sirkuit, saya merasa punya pengalaman dan sudah bisa percaya diri berani memilih setingan.
Pada musim-musim sebelumnya komunikasi seperti itu tidak terjadi?
Dengan tim sebelumnya kurang cocok. Saat di tim Caterham Racing, engineer-nya merasa yang lebih benar, jadi kurang bisa berkomunikasi.
Sekarang lebih percaya diri?
Pada tahun-tahun awal, di GP3 atau di GP2, saya juga pernah di urutan terdepan. Tapi saat itu tidak konsisten. Tahun ini saya tampil konsisten. Itu karena saya ingin sekali ke F1. Salah satu kunci ke sana adalah tidak cukup hanya menang sekali. Maka butuh persiapan yang matang di setiap balapan.
Pernah merasa tidak percaya diri?
Di GP2 sangat kompetitif. Sedikit kesalahan mekanik akan menyebabkan selisih cukup besar. Jadi kadang ada sedikit kesalahan di mekanik membuat saya tidak percaya diri.
Kapan ketemu setingan mobil yang pas?
Sejak tahun ini setelah saya belajar setingan mobil. Saya tinggal di Valencia, jadi setiap hari bisa belajar dari kru tim tentang setingan mobil. Awalnya saya kurang paham, cuma mikir bagaimana nyetir sekenceng-kencengnya. Tahun ini saya terlibat dalam setingan mobil. Sekarang saya sudah 70-80 persen tahu soal engineering.
Sementara komunikasi dengan tim tidak ada masalah, bagaimana komunikasi dengan pembalap GP2 lain?
Di luar balapan, saya merasa baik-baik saja. Kami tidak ngobrol terlalu teknis, tapi kalau bertemu selalu menyapa. Saya sering bertanya kepada Stoffel Vandoorne bagaimana kondisi McLaren sekarang karena tahun ini dia menjadi pembalap junior di sana. Saya juga sering ngobrol dengan Alexander Rossi, yang sekarang sudah tampil di F1.
Hubungan dengan pembalap setim, Pic Arthur?
Lebih teknis dan share data.
Paling akrab dengan siapa?
Tidak ada. Kebanyakan mereka tinggal di Inggris. Setelah selesai balapan, mereka kembali ke sana. Sedangkan saya tinggal di Valencia. Saya banyak bergaul dengan pembalap F3 dari Campos Racing yang menjadi teman serumah.
Pernah merasa diremehkan pembalap lain?
Awalnya mereka meremehkan. Tapi, setelah beberapa kali saya menunjukkan prestasi, tidak lagi. Apalagi saya ada di urutan ketiga dalam klasemen Championship musim ini. Sekarang, pas kualifikasi, mereka sering melihat mobilku.
Itu terjadi juga di tiga musim GP2 sebelumnya?
Sebelumnya mereka menganggap sebelah mata.
Juara pertama dan naik podium kedua di penampilan perdana di Bahrain musim ini penting sekali untuk membangun percaya diri.
Pasti. Setelah tiga musim kurang bagus, tiba-tiba start bagus. Tim dan saya merasa mantap menatap musim ini bisa tampil konsisten.
Dalam seri Belgia kena penalti padahal sudah di urutan kedua, bagaimana perasaan Anda ketika itu?
Menyesal sekali. Saya diam. Tapi saya dan tim berusaha move on untuk race berikutnya. Kami mulai buka komputer lagi satu-dua jam kemudian, mencari-cari lagi apa penyebabnya. Mungkin strategi kurang bagus, mungkin setingan-nya salah. Setelah itu kami mencoba mencari ide-ide, engineer kasih input kepada saya atau sebaliknya.
Sempat melorot ke peringkat keempat, tapi di GP Rusia naik lagi ketiga. Bagaimana Anda dan tim mencapainya?
Kami mengganti mesin yang sudah dipakai sejak awal latihan musim ini hingga delapan balapan. Jadi sudah lebih dari 3.300 kilometer. Setelah menggunakan mesin baru, kami bisa bersaing lagi dan mencapai podium kedua di Rusia, pekan lalu.
Tersisa dua balapan lagi, apa yang menjadi target?
Bisa tampil konsisten dan menjaga tetap di urutan ketiga. Sebab, jaraknya hanya lima poin. Selisih dengan urutan kelima dan keenam hanya 36 poin.
Sejak kapan cita-cita jadi pembalap F1 sebenarnya muncul?
Saya masuk dunia balap sejak umur enam tahun, dari gokar. Bakat pembalap turun dari Ayah. Dulu Ayah suka balapan gokar, motor, mobil. Kakak saya dulu pembalap gokar dan Formula Asia. Saya anak bungsu, keluarga ingin saya bisa masuk F1. Sewaktu kecil, daripada jalan-jalan ke mal, saya lebih suka nonton balapan F1 di televisi. Idola saya Michael Schumacher. Dari kecil, pikiran saya ingin masuk F1. Apalagi setelah juara Formula BMW Asia-Pasifik 2009, di GP3 urutan lima besar. Sekarang tahun keempat di GP2. Ini tinggal satu step lagi ke F1.
Sudah punya bayangan jika nanti akhirnya jadi pembalap F1?
Di GP2 ini ada 11 seri dan selalu berbarengan dengan F1. Saya sudah biasa dengan lingkungannya. Tapi untuk di F1, ditambah 10 seri lagi, jadi waktu bebas akan jadi lebih sedikit. Media selalu juga nguber-nguber. Timnya lebih besar, pasti akan banyak rapat dengan tim.
Pernah mencoba mobil F1?
Pada 2010, saya mencoba bersama tim Marrusia (sekarang Manor). Waktu itu cukup syok dengan akselerasi mobil yang cepat sekali. Jadi saya pikir fisik harus dipersiapkan lagi jika di F1. Komunikasi dengan tim akan lebih complicated karena bukan hanya satu engineer.
Sibuk balapan, masih sempat nongkrong?
Kalau enggak ada balap, nongkrong. Tapi tentu tidak sebanyak remaja lain.
Masih sempat kuliah?
Iya. Di Singapura ambil kuliah D-3 jurusan bisnis manajemen. Untuk menjalani pendidikan dan balapan cukup berat. Pas off balapan, saya menyelesaikan proyek kuliah. Universitas juga memberi kelonggaran karena mereka tahu prestasi saya. Alhamdulillah, musim lalu lulus. Jadi musim ini berfokus ke balapan.
Mau jadi pengusaha?
Enggak, sih. Saya ingin menuntaskan pendidikan. Itu bisa untuk pegangan kalau nanti sudah tidak balapan lagi.
Dukungan keluarga tentu sudah luar biasa. Seperti apa usaha mereka memberi dukungan ke F1?
Orang tua sudah mati-matian membantu mencari jalan, mencari pintu masuk ke pemerintah, ke perusahaan-perusahaan lain. Kami sudah cukup berusaha. Saya berterima kasih sekali kepada mereka. Tapi belum ada kepastian dari pemerintah untuk "yes go to F1".
RIO HARYANTO
GP2 SERIES 2015:
GP2 SERIES 2014:
GP2 SERIES 2013:
GP2 SERIES 2012:
GP3 SERIES & AUTO GP 2011
GP3
Auto GP
GP3 SERIES 2010
FORMULA BMW PACIFIC 2009
ASIA FORMULA RENAULT 2008
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo