Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Redi
Ada semacam standar ganda yang dijalankan PT Freeport Indonesia dalam pengusahaan pertambangan mineral di Papua. Dalam hal royalti kepada negara, 30 tahun lebih Freeport hanya membayar 1 persen, sesuai dengan kontrak karya. Angka ini naik menjadi 3,7 persen pada 2014, mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Padahal peraturan ini berlaku sejak 2012.
Dalam hal kewajiban melakukan pemurnian di dalam negeri (membangun smelter) sesuai dengan perintah Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Freeport dikecualikan karena kontrak karya tak memuat keharusan tersebut. Meskipun akhirnya mereka setuju membangunnya di Gresik sebagai bagian dari negosiasi untuk mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak mereka, setelah kontrak kedua berakhir pada 2021.
Terkait dengan divestasi saham, ketentuan dalam UU No. 4/2009 Tentang Mineral dan Batu Bara mengatur hal ini dengan tujuan mendorong peralihan keuntungan dan kontrol dari pemegang saham asing kepada peserta Indonesia. Ini selaras dengan amanat Pasal 33 ayat UUD 1945. Lagi-lagi, pelaksanaan kewajiban ini dikaitkan dengan tawar-menawar perpanjangan kontrak mereka.
Padahal, sebelum pengaturan divestasi saham bagi pemegang izin usaha pertambangan atau pertambangan khusus, seperti tertuang dalam UU No. 4/2009, PT Freeport seharusnya terikat pada kewajiban tersebut menurut kontrak karya kedua yang mereka teken pada 1991. Tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3). Di situ dinyatakan, pertama: PT Freeport harus mendivestasi sahamnya 2,5 persen per tahun kepada peserta Indonesia (WNI, badan hukum Indonesia, atau pemerintah Indonesia), sejak tahun ke-10 setelah kontrak karya ditandatangani. Artinya, mulai 2001, mereka harus melepas 2,5% kepemilikannya. Sehingga pada 2011 totalnya mencapai 25 persen.
Kedua, PT Freeport harus menawarkan saham melalui Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia) dengan jumlah sekurang-kurangnya 20%. Jika Freeport tidak melaksanakannya, keseluruhan jumlah saham yang ditawarkan kepada peserta nasional Indonesia harus mencapai 51% pada tahun ke-20 setelah penandatanganan kontrak karya. Itu berarti pada akhir 2011 sudah harus ada divestasi 51 persen saham. Dan bila saham yang ditawarkan tidak terjual pada periode yang telah ditetapkan, saham tersebut harus ditambahkan pada periode selanjutnya.
Namun apa yang terjadi? Khusus dalam hal divestasi, PT Freeport memilih tunduk pada Peraturan Pemerintah No. 20/1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam peraturan tersebut tidak diatur besaran divestasi saham. Pengaturannya hanya terkait dengan kewajiban perusahaan PMA dalam jangka waktu paling lama 15 tahun sejak berproduksi komersial wajib menjual sebagian sahamnya kepada WNI dan/atau badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui pasar modal dalam negeri. PT Freeport beranggapan divestasi 9,36 persen kepada pemerintah dan 9,36 persen kepada PT Incocoper Investama telah memenuhi ketentuan peraturan pemerintah itu.
PT Freeport menggunakan standar ganda dalam pengenaan kewajiban baginya. Apabila suatu kewajiban dalam kontrak karya dirasa akan merugikan, mereka akan memilih instrumen hukum lain yang menguntungkan. Sebaliknya, jika ada aturan baru yang dinilai akan merugikan mereka, Freeport akan kembali pada kontrak karya. Seperti ketika terkait dengan besaran royalti dan kewajiban pemurnian di dalam negeri, Freeport akan mengajukan dalil pacta sunt servanda (setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian).
Sayangnya, pemerintah Indonesia lebih banyak diam dan terkesan membiarkan tanpa ada upaya untuk memaksa pelaksanaan divestasi sesuai dengan kontrak karya itu. Perlakuan ini berbeda dengan perlakuan pemerintah terhadap PT Newmont Nusa Tenggara, yang ketika tidak mendivestasi sahamnya langsung digugat ke lembaga arbitrase internasional (International Center for Settlement of Investment Disputes/ICSID). Pemerintah juga terlihat tak ragu ketika menolak permohonan Total untuk memperpanjang kontrak mereka di Blok Mahakam. Apa yang terjadi antara Freeport dan para pemimpin pemerintahan kita? Ada standar yang tak sama di sana.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo