Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan Langsung Bilang Diskresi Tak Bisa Dipidanakan

26 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo terpaku pada laptop di atas meja kerjanya. Layar 14 inci di meja jembar itu menayangkan sederet mesin perang Angkatan Laut Amerika Serikat lengkap dengan rincian anggarannya. Sumbernya adalah situs Sekretariat Angkatan Laut Amerika (SECNAV). "Semua yang kita rahasiakan di sini sudah sangat terbuka di sana (Amerika)," kata Agus dalam wawancara dengan Tempo, Kamis pekan lalu.

Ia mengatakan rincian anggaran sampai detail terkecil seperti itu dapat menutup celah kecurangan. Apalagi terpampang di situs terbuka sehingga bisa diakses banyak orang.

Dengan demikian, menurut Agus, semua warga Indonesia bisa menjadi perpanjangan tangan KPK untuk memastikan penggunaan uang negara tidak melenceng sepeser pun. "Semua warga Indonesia harus ikut menjaga," tutur Agus, yang sehari sebelumnya memaparkan sistem penganggaran yang bebas korupsi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam wawancara sekitar 90 menit dengan wartawan Tempo Anton Aprianto, Linda Trianita, Aisha Shaidra, Muhamad Rizki, Reza Maulana, Sapto Yunus, dan fotografer Eko Siswono itu, Agus juga membeberkan pandangannya tentang sederet kasus yang sedang ditangani komisi antirasuah, dari kasus suap yang melibatkan bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman hingga reklamasi Teluk Jakarta.

Apa saja yang Anda dan komisioner lain KPK sampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan DPR?

Saya sampaikan KPK ingin memicu perubahan sistem. Sosialisasi dan pencegahan korupsi tidak mungkin lagi dijalankan dengan cara lama. Ketemu, tapi kemudian lupa. Seperti ikut kelas motivator, sampai nangis-nangis mengingat kesalahan, begitu ke luar ruangan langsung lupa. Saya ingin revolusi mental. Keluar dari pertemuan langsung jalankan sistem yang baru. Semua warga Indonesia harus ikut menjaga. Itu sebabnya, KPK meluncurkan aplikasi JAGA. Ada JAGA sekolah, rumah sakit, dan perizinan. Ke depan akan dikembangkan ke aplikasi serupa untuk memantau pemilihan umum, hutan, dan masih banyak lagi.

Aplikasi ini sudah berjalan?

Sudah soft launching pada Juli lalu (tersedia di Play Store). Akan grand launching saat Hari Pemberantasan Korupsi pada 9 Desember. Sementara itu, basis data sekolah yang tersedia baru sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan. Fungsinya, masyarakat memperoleh layanan yang akuntabel, sementara pengendalian manajemen di dalam jadi lebih transparan. Misalnya, suatu sekolah baru punya satu guru matematika, tapi anggaran malah dialokasikan untuk pembangunan. Kita jadi bisa memberi masukan dari situ. Di gadget Anda sudah ada belum?

Jadi, menurut Anda, program pencegahan korupsi yang dilakukan periode sebelumnya belum efektif?

Kami belum mengukur efektivitasnya. Baru sebatas sosialisasi untuk mendorong masyarakat melakukan sesuatu yang baru.

Apa saja penekanannya dalam pembicaraan tentang anggaran dengan Komisi Hukum DPR?

Yang paling menarik adalah soal sistem keterbukaan anggaran di berbagai negara. Saya tampilkan contoh situs Sekretariat Angkatan Laut Amerika Serikat. Semua anggaran sangat rinci sampai kebutuhan operasional tiap personel. Juga, misalnya, tank M1 Abrams dijabarkan sampai ke sistem kendali tembakannya. Melebihi satuan 3 (dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan pagu anggaran di lingkup satuan kerja lembaga negara) di negara kita. Kalau sedetail itu kan orang tidak mungkin lagi bisa "menitip". Hanya bagian riset yang anggarannya masih gelondongan.
Komisi III (Komisi Hukum) sangat tertarik. Sampai-sampai, begitu saya cerita itu, anggota Dewan yang tadinya ingin bertanya enggak jadi. Saya sudah lama mempelajari ini, meski tidak sampai ke Amerika. Mengapa tidak kita ikuti best practices yang sudah ada? Semua yang kita rahasiakan di sini sudah sangat terbuka di sana.

Di periode pimpinan sebelumnya, KPK ingin masuk dalam detail anggaran. Sekarang berubah?

Kami tidak masuk, tapi ingin sistemnya yang berubah. Sehingga yang bisa mengawasi adalah rakyat, semua orang yang bisa mengakses Internet. Bukan cuma KPK, yang jumlah penyidiknya terbatas. Misalnya harga pembuatan jalan di titik ini Rp 1 miliar per kilometer, tapi di lokasi di dekatnya Rp 600 juta, kan gampang diketahui dengan data yang terbuka.

Apa perbedaan sistem itu dengan sistem anggaran di negara kita?

Persetujuannya gelondongan (di Indonesia). Misalnya, perbaikan jalan seluruh Indonesia Rp 30 triliun. Begitu disetujui DPR pada Oktober, Kementerian Pekerjaan Umum masih harus membaginya ke sekian daerah, menentukan jenis pekerjaan dan pembayaran. Perlu paperwork yang sangat banyak. Kalau pakai sistem anggaran yang detail kan bisa langsung jalan. Maka keterlambatan penyerapan anggaran bukan karena KPK memburu koruptor, tapi memang sistem kita enggak siap. Jangan kemudian jadi alasan diskresi.

Bagaimana dengan diskresi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyangkut kontribusi tambahan proyek reklamasi?

Yang saya soroti, kontribusi tambahan itu seharusnya tidak digunakan begitu saja, mesti masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dulu. Kita juga harus melihat syarat diskresi. Pertama, ada aturan. Lalu ada situasi yang memungkinkan hal yang tidak sesuai dengan aturan itu. Contoh sederhana, pengendara berhenti di lampu merah. Tapi, karena lalu lintas macet, polisi bisa mengeluarkan diskresi, boleh jalan meski lampu merah. Jadi jangan langsung bilang diskresi tidak bisa dipidanakan. Lihat situasinya apa. Bagi saya, harus situasi force majeure atau overmacht (keadaan memaksa). Kalau tidak, ya, jalankan kebijakan menurut aturan.

Apakah sewaktu Gubernur DKI menggunakan diskresi untuk kontribusi tambahan 15 persen bagi pengembang reklamasi termasuk dalam dua situasi itu?

Saya tidak melihat itu. Jadi kenapa mesti ada diskresi mengenai kompensasi yang tidak masuk APBD?

Meskipun dia tidak menikmati keuntungan?

Kan, menguntungkan orang lain.

Jadi, dia bisa terjerat?

Ha-ha-ha... pertanyaannya memancing. Kita lihat saja perkembangannya.

Pada awal masa kepemimpinan Anda, akhir Maret lalu, KPK membuat gebrakan dengan menangkap anggota DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi, terkait dengan suap dalam kasus reklamasi. Kenapa sekarang seperti mengendur?

Saya pribadi ingin kasus ini berlanjut. Bahkan beberapa hari lalu saya menanyakan ke penyidik: mengapa aliran dana ke Teman Ahok tidak cepat diperiksa? Apakah setelah ditelusuri ada hubungan dengan pihak tertentu? Tapi memang belum dan saya meyakinkan mudah-mudahan enggak berhenti hanya di Sanusi. Di kasus-kasus lama, saat mau menyentuh orang-orang di atas, hubungannya selalu terputus.

Benarkah ada tekanan Istana untuk tidak menyentuh Sugianto Kusuma (Aguan)?

Agus menjawab, tapi tidak untuk dikutip.

Anda pernah mengatakan KPK sedang menelusuri informasi aliran dana Rp 30 miliar ke Teman Ahok. Bagaimana perkembangannya?

Saya minta staf saya menelusuri.

Dalam kasus reklamasi, KPK sudah mencekal anggota staf Gubernur Basuki, Sunny Tanuwidjaja. Sejauh mana sebenarnya keterlibatannya?

Apa jabatan Sunny Tanuwidjaja di pemerintah DKI? Staf khusus? Apa ada surat penetapan dia menjabat? Tidak ada. Kalau bukan pejabat DKI, kan repot. Maka saya pelajari. Terus terang sekarang saya belum bisa bicara banyak.

Bagaimana tanggapan KPK soal kontribusi tambahan?

Saya telusuri cara kompensasi seperti itu benar atau tidak. Sepanjang pengetahuan saya, off budget di luar APBN dan APBD itu sangat dilarang. Sistem kita mewajibkan dana yang masuk APBN dan APBD itu dikelola secara transparan, lelang secara umum, harga diketahui orang. Kami ingin tahu soal pembangunan rumah susun di Kalijodo. Apa kebutuhannya. Proses belanja transparan tidak. Ini seperti penunjukan langsung. Yang pasti belum akan kami hentikan, seperti yang sudah saya katakan tentang kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras.

Soal kasus Sumber Waras, Anda membeberkan secara detail di DPR. Itu belum pernah dilakukan pimpinan KPK sebelumnya. Apa latar belakangnya?

Menurut saya, transparansi pengelolaan itu perlu diketahui secara luas. Tapi sebetulnya seberapa detail. Hanya membicarakan kami belum sepaham dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Waktu itu lho, ya.

Bagaimana pandangan KPK sekarang?

Kemarin saya minta penyidik mencari tahu perbedaan pembelian Sumber Waras dengan aset-aset lain oleh pemerintah DKI. Misalnya apakah Sumber Waras satu-satunya pembelian yang tidak memakai appraisal.

Sejauh ini sudah ada temuan baru?

Belum ada. Tapi saya tidak menutup kemungkinan itu.

Dua pekan lalu, Anda mengatakan KPK tengah menelusuri praktek suap petinggi BUMN yang dilakukan di Singapura?

Pernyataan yang saya sampaikan 14 September lalu itu merupakan peringatan. Saya berharap ada efeknya. Pelakunya bukan hanya satu. Modusnya pun bermacam-macam dan bukan hanya BUMN. Semuanya orang Indonesia, bertemu di Singapura.

Setelah transaksi, apakah uangnya dibawa ke Indonesia?

Ada yang dibawa pulang, ada yang ditransfer dari sana. Kalau transfer, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan bisa tahu. Tapi, ada juga yang begitu fee diberikan, pelaku membuka rekening di Singapura, kemudian ditransfer lagi ke bank di luar negeri. Kalau bawa dalam bentuk tunai, seharusnya ketahuan. Tapi ada juga yang bisa lolos, kalau pakai jet pribadi.

Bagaimana upaya penangkapan lintas negara seperti itu?

Kami intensifkan kerja sama dengan CPIB, Biro Investigasi Praktek Korupsi Singapura.

Benarkah KPK dan pimpinan Komisi Hukum DPR membahas kasus korupsi BUMN ini sebelum rapat dengar pendapat?

Sama sekali tidak ada. Malah menanyakan kasus Irman Gusman.

Dalam kasus suap Irman Gusman, KPK menerapkan jerat trading influence yang hanya pernah diterapkan dalam kasus kuota impor sapi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq.

Jerat trading influence memang tidak ada dalam undang-undang kita. Tapi, melihat pasal yang dikenakan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur larangan pejabat negara menerima uang. Ke depan, kami akan lebih menekankan soal trading influence dalam perbaikan undang-undang tersebut. (Ketika itu Luthfi menjabat Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan anggota DPR.)

Irman diduga merekomendasikan pengalihan distribusi gula dari Badan Urusan Logistik sehingga tersalur 3.000 ton ke perusahaan Xaveriandy Sutanto (tersangka penyuap Irman)?

Saya tidak akan konfirmasi detail seperti itu. Nantilah kami buka banyak info.

KPK akan memeriksa pejabat Bulog?

Ya, mungkin saja, semua yang terkait mungkin diperiksa. Pasti penyidik melihat hubungan-hubungannya.

Seandainya tidak menerima imbalan, bolehkah Irman melakukan sesuatu untuk membantu konstituen?

Kalau seperti itu, ya, memang tugas dia. Misalnya suatu daerah yang masih kekurangan air bersih, dia minta tambah. Tapi, begitu dia mengambil keuntungan dari situ, ya, tidak boleh.

Liestyana, istri Irman, mengatakan uang Rp 100 juta dari Xaveriandy merupakan pemberian, bukan suap, sehingga mereka masih punya waktu satu bulan untuk melapor. Apakah jerat pasal yang dikenakan sudah kuat?

Insya Allah, kuat. Tapi saya tidak mau membuka detail kasus.

Kasus Irman mirip kasus Luthfi Hasan Ishaaq dalam kuota impor sapi. Apakah ada yang salah dalam sistem ini?

Bukan hanya kuota. Banyak sistem yang harus dibenahi. Seharusnya kita menggunakan saja jalan yang sudah bagus. Bisa melihat Amerika Serikat, Jerman, atau negara-negara Skandinavia. Tidak usah menciptakan sistem yang baru tapi memunculkan pemburu rente di mana-mana. Misalnya apakah perlu dokter didatangi perwakilan perusahaan farmasi di tempat praktek. Kami mengamati banyak transfer dari farmasi ke rekening dokter.

Dari sebuah perusahaan dengan jumlah total Rp 800 miliar?

Tidak usah bicarakan yang itu dulu karena masih banyak yang lain. Itu bukan dari perusahaan besar. Satu alasan penggunaan dana adalah meningkatkan kualitas dokter lewat kursus dan sebagainya. Padahal anggaran negara kita 20 persen untuk pendidikan. Kalau alokasinya kita cermati, jangan-jangan tidak perlu lagi subsidi perusahaan farmasi. Ada juga dokter yang memiliki kontrak dengan perusahaan tertentu. Maka, di Indonesia, obat menempati porsi 40 persen dari biaya kesehatan. Sedangkan di Jepang hanya 19 persen dan Jerman 15 persen.

Praktek seperti itu tergolong gratifikasi?

Kalau dokter pegawai negeri sipil, ya, gratifikasi. Tapi kami tidak bisa menindak dokter yang bukan PNS.

Kenapa korupsi seperti tidak berhenti?

Saya melihat akan lebih banyak. Dulu, desa tidak punya uang, sekarang satu desa pasti punya lebih dari Rp 1 miliar, karena ada dana dari pusat, daerah tingkat I, dan tingkat II. Apakah mereka punya kapasitas untuk mengelola dana itu dengan baik? Tiba-tiba ada gerojokan begitu. Nanti pasti bermunculan kasus korupsi di mana-mana karena kita punya puluhan ribu desa. Seharusnya, misalnya, luncurkan proyek percontohan dulu di beberapa desa terpencil. Maka saya edarkan saja surat KPK. Ditempel di setiap balai desa, supaya orang tahu KPK ikut mengawasi. Pokoknya ada gambar KPK dululah.

Apakah vonis untuk koruptor selama ini kurang membawa efek jera?

Karena kita juga tidak melakukan hukuman secara sosial. Banyak koruptor, apalagi yang tidak terkena tindak pidana pencucian uang, masih kaya sekali. Orang bertemu dengan dia juga masih hormat.

Soal terpidana percobaan boleh ikut pemilihan kepala daerah, apakah itu tidak bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi?

Sebaiknya jangan. Pengalaman menunjukkan sudah ada 19 gubernur, 50 lebih bupati dan wali kota, dan sekian ratus anggota DPR dan DPRD (terjerat kasus korupsi). Jadi, sudahlah, orang yang integritasnya baik saja yang masuk sistem pemilihan anggota Dewan, apalagi kepala daerah.

Agus Rahardjo
Tempat dan tanggal lahir: Magetan, Jawa Timur, 28 Maret 1956 | Pendidikan: S-1 Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (1984), S-2 di Arthur D. Little Management Education Institute, Cambridge, Amerika Serikat (1991) | Karier: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (Desember 2015-sekarang), Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2010-2015), Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2006-2008), Direktur Sistem dan Prosedur Pendanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003-2006), Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas (2000-2003)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus