Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH pusat akhirnya menghentikan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta pada akhir bulan lalu. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan keputusan penghentian secara permanen reklamasi di Pulau G didasarkan pada evaluasi atas adanya pelanggaran berat dalam proyek pulau itu. Antara lain, mengakibatkan gangguan pipa gas, listrik, arus lalu lintas kapal, dan nelayan. "Presiden minta reklamasi itu jangan dikendalikan swasta, tapi oleh negara," kata Rizal.
Selain menghentikan reklamasi Pulau G, Rizal mengatakan pihaknya menemukan pelanggaran kategori sedang di tiga pulau lain. Menurut Rizal, pihaknya juga akan mengevaluasi 13 pulau lainnya di pesisir utara dalam waktu tiga bulan mendatang. "Baru dibicarakan empat pulau," kata Rizal dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo Martha Warta Silaban, Devy Ernis, dan Ayu Prima Sandi di ruang kerjanya di Gedung BPPT, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Rizal, yang mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan dasi hijau, juga memaparkan soal pengembangan Kepulauan Natuna menjadi solusi untuk meningkatkan produksi ikan tangkap serta memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim. Dalam wawancara yang berlangsung 1 jam 15 menit tersebut, Rizal didampingi Deputi IV Bidang Koordinasi SDM, Iptek, dan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin, yang juga sebagai Ketua Tim Penyelarasan Aturan Reklamasi.
Mengapa reklamasi Pulau G dihentikan secara permanen?
Beberapa bulan lalu, masalah reklamasi ini makin lama makin panas. Reaksi publik macam-macam dan banyak kesimpangsiuran dari arah kebijakan. Secara umum, Presiden dalam salah satu rapat terbatas mengatakan reklamasi itu harus dikendalikan oleh negara, jangan sampai dilepaskan, jangan hanya dikendalikan swasta. Sebab, swasta kepentingannya hanya mencari untung dan mengabaikan hal lain. Nah, akhirnya masalah reklamasi kami ambil alih.
Apa alasan pemerintah mengambil alih?
Kepentingan negara atau publik nomor satu. Reklamasi jangan sampai meningkatkan risiko banjir, jangan sampai mengganggu arus lalu lintas kapal, mengganggu biota laut dan lingkungan hidup, termasuk kepentingan nelayan.
Sejak kapan pembahasannya?
Kami adakan rapat gabungan pada 18 April 2016, yang awalnya dihadiri oleh Menteri Kehutanan; Ibu Susi (Pudjiastuti), yang diwakili dirjen; Menteri Perhubungan; dan Pak Gubernur Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Kami putuskan bikin komite gabungan dengan target dua bulan harus menyelesaikan rekomendasinya. Nah, komite gabungan itu terdiri atas dua hingga tiga dirjen di masing-masing Kementerian. Dari DKI diwakili Deputi Gubernur, Dinas Tata Ruang, dan Bappeda. Jadi setiap minggu mereka rapat dan dibagi tiga komite.
Safri Burhanuddin: ketiga komite itu adalah Komite Kajian Strategis Lingkungan Hidup, Komite Teknis Reklamasi, dan Komite Penyelarasan Aturan Reklamasi.
Apa tanggapan Gubernur?
Pertama, sebelumnya, dalam pertemuan, Pak Ahok mengatakan senang sekali kasus ini diambil alih pemerintah pusat. Kedua, Pak Gubernur mengatakan saya jauh lebih mengerti dan berpengalaman daripada dirinya. Dan ketiga, Pak Ahok mengatakan dia gila tapi saya lebih gila daripada Ahok. Jadi apa pun keputusan dari komite gabungan ini kami akan setujui, apalagi ada wakil-wakil. Lalu, kami mengunjungi Pulau C, D, dan G. Dalam kasus Pulau C dan D, terjadi pelanggaran yang masuk kategori sedang. Seharusnya dipisahkan oleh kanal selebar 100 meter dan sedalam 8 meter agar kalau ada banjir air bisa langsung ke laut supaya kapal bisa lewat dan biota laut tidak terganggu. Kami tidak mau debat kusir dengan pengembangan Pulau G. Saya tanya pengembang, "Ini mau manut negara atau tidak? Kalau tidak manut, kita sikat." Pun dengan kasus Pulau C dan D, dan akhirnya direksinya mau bongkar.
Apa saja jenis pelanggarannya?
Kami simpulkan ada tiga pelanggaran: berat, sedang, dan ringan. Yang ringan, prosesnya kurang secara administratif. Kami kasih waktu untuk memperbaiki. Pelanggaran berat terjadi dalam kasus Pulau G. Seharusnya tidak boleh ada bangunan yang mendekat ke pantai, harus ada jarak 500 meter supaya kalau ada banjir air bisa keluar dan tetap ada arus kapal. Dan tidak jauh dari Pulau G ada pelabuhan kapal tradisional Muara Angke. Mereka jadi berputar-putar menghabiskan solar untuk masuk pelabuhan. Nelayan marah sekali dengan keberadaan Pulau G ini. Di bawah Pulau G itu juga ada pipa gas, yang secara aturan kenavigasian tidak boleh ada bangunan di atasnya. Kemudian juga ada jaringan tegangan tinggi sekitar 7.000 megawatt, di pantai Teluk Jakarta. (Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian menyatakan apabila ada bangunan bawah laut, 500 meter di sisi kiri dan kanan reklamasi terlarang untuk kegiatan.)
Dalam rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak ada poin penghentian secara permanen?
Dari rapat terakhir, yang dihadiri para menteri, kami rumuskan tiga kategori pelanggaran, yaitu berat, sedang, dan ringan. Yang berat harus dihentikan karena membahayakan infrastruktur strategis.
Bagaimana dengan pelanggaran ringan?
Belum diklasifikasi. Kan, masih ada 17 pulau lagi? Baru dibicarakan empat pulau. Satu lagi, kami juga meminta Pulau N Pelindo II mengoreksi perizinan. Tiga belas pulau belum dievaluasi.
Apakah Pulau C dan D tidak sebahaya Pulau G?
Pulau C dan D diminta bongkar kanalnya.
Safri: IMB-nya belum ada.
Gubernur DKI merasa keputusan ini belum adil karena hanya dinyatakan lewat konferensi pers?
Jangan lupa, tiap menteri punya kewenangan yang dilindungi undang-undang. Itu lebih tinggi levelnya daripada keputusan presiden. Istilahnya, satu menteri saja bisa membatalkan semuanya. Nah, ini tiga menteri sekaligus yang punya kewenangan. Sementara itu, ada yang masih ngotot pakai Keppres 52 Tahun 1995 (tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta).
Sudah ada komunikasi dengan Istana?
Saya minta kita jangan mengada-ada. Jangan juga cengeng. Segala macam ke Presiden. Jangan segala macam Presiden mau diseret. Kasihan Presidenlah, wong ini tiga menteri sudah memutuskan.
Selanjutnya Pulau G mau diapakan?
Itu baru 20 persen. Nanti kami jadikan konservasi mangrove, diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dari pihak pengembang ada upaya melobi?
Enggak ada. Memangnya berani melobi?
Pengembang Pulau G bilang akan dicarikan solusi seperti Pulau C dan Pulau D?
Pelanggarannya berat. Membahayakan lingkungan dan proyek nasional strategis.
Jadi memang harus dihentikan?
Iya, dong.
Bagaimana kalau Mahkamah Agung menolak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk Pulau G?
Beberapa bulan lalu ada pertemuan informal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal yang menyangkut hukum, korupsi, silakan KPK urus. Tapi, yang menyangkut strategi dan kebijakan, disetujui kami yang menyelesaikan.
Soal menurunnya produksi ikan tangkap, apa strategi untuk mengatasinya?
Esensinya sesuai dengan perintah Presiden, kita harus mempercepat pembangunan wilayah Natuna. Karena wilayah ini sangat strategis. Kita harus mempunyai program yang terintegrasi dan agresif di Natuna. Dimulai dari sektor pertanian. Nah, di wilayah perikanan Natuna pada 2013 ada 2.655 kapal ikan, kebanyakan asing dan kebanyakan nyolong. Pada 2014 ada 1.172 kapal, 2015 ada 1.917 kapal. Tapi, setelah Ibu Susi menjadi menteri, jumlah kapal yang beroperasi di wilayah Natuna hanya 925. Maka kapasitas tangkap itu hanya 9,3 persen dari potensi lestari (sustainable catchment). Boleh menangkap ikan, tapi tetap sustainable. Dalam rapat terbatas mengenai Natuna dan perikanan beberapa waktu lalu di Istana, kami tegaskan lagi kita jangan kembali lagi ke rezim lama. Karena banyak yang rugi dan akhirnya kapal asing mencuri lagi. Tapi kita kan harus menaikkan kapasitas tangkap.
Bagaimana caranya?
Pertama, kita minta kapal-kapal nelayan yang ada di pantai utara yang di atas 30 ton dikasih zona gemuk Natuna. Ada 400 kapal. Rata-rata di atas 60 ton, berasal dari Banten, Indramayu, Cirebon, Pati, Juwana, Tuban, Gresik, termasuk dari Muara Angke. Dalam tiga bulan ini, kita minta dilakukan pemutihan kapal nelayan tradisional kita, tapi tetap diukur ulang. Jadi tidak ada lagi mark-down, kapal 80 ton mengaku di bawah 30 ton. Kalau ini kita lakukan, kapasitas tangkap yang tadinya 9,3 persen akan naik 40 persen dalam satu tahun. Maka kami harap nelayan yang di bawah 30 dwt (panjang bobot mati) mendapat tangkapan lebih banyak karena tidak ada pesaing dari kapal besar lagi.
Apa saja sarana yang akan dibangun?
Nanti dibangun tiga kota ikan di Natuna. Satu di Selat Lampa, ada pulau di situ. Ini Kepulauan Natuna paling besar. Di sini akan ada storage, ada pasar ikan untuk lelang ikan. Lahannya sudah ada dan sedang dibangun. Kemudian ada di Pulau Sendanao dan Pulau Tiga. Khusus di Pulau Sendanao untuk budi daya ikan. Karena di situ ada ikan napoleon yang paling mahal dan ikan kerapu. Kami ingin Natuna jadi pasar lelang ikan terbesar kedua di Asia. Jadi orang dari Singapura, Hong Kong, Cina, Thailand datang, karena pasar lelang ikan terbesar di Tokyo, Shukiji, ikan tunanya dari Indonesia.
Sudah ada infrastruktur bea-cukainya?
Nanti di situ itu one stop service untuk ekspor dan pasar ikan, bea-cukai, karantina. Segala macamlah.
Bagaimana dengan sektor lain?
Kita kembangkan juga turisme, karena pantainya indah sekali, tidak kalah dengan Bangka-Belitung. Apalagi dengan Maladewa, pantainya jauh lebih indah, natural. Ini akan jadi premium tourist resort.
Untuk sektor migas?
Laut di kawasan ini banyak sekali potensi oil and gas. Ada 15 konsesi. Natuna Barat sudah beroperasi. Natuna Timur belum beroperasi, cadangannya besar sekali. Tapi, karena CO2-nya 70 persen, cost recovery-nya mahal. Kami akan buka tender kepada pemain baru dalam dan luar negeri supaya hidup. Di samping itu, kita ingin mengembangkan supporting industry untuk minyak dan gas di salah satu kepulauan itu, karena Singapura itu kan mahal sekali harga tanahnya, listrik, air, buruh. Di Kepulauan Anambas cocok. Sistem telekomunikasinya juga kami perbaiki.
Pertahanan diperkuat?
Presiden meminta Tentara Nasional Indonesia memperkuat kehadiran pertahanan di situ. Akan ada penempatan dari TNI Angkatan Laut, surveillance system, dan sebagainya. Kami setuju juga para nelayan dilatih bela negara. Jadi dengan empat integrasi sektor ini, perikanan, turisme, minyak dan gas, serta pertahanan Natuna, Anambas akan hidup. Natuna juga kami uji coba untuk pengembangan wilayah maritim. Kalau ini sukses, akan kami lanjutkan di Papua dan pulau-pulau lainnya. Esensinya, kami memperkokoh kehadiran integritas wilayah kita. Seperti teman-teman ketahui, ada keputusan di Den Haag (Pengadilan Arbitrase Permanen) soal Laut Cina Selatan. Filipina lawan Cina. Kami ingin integritas wilayah kita semakin kuat.
Dari mana dananya?
Yang punya uang kementerian teknis. Misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan punya anggaran untuk bikin tiga small fishing town. Kami akan mencari pendanaan di luar APBN supaya ada financing di wilayah itu. Akan kami ajak negara lain untuk membangun infrastruktur. Banyak yang tertarik.
Berapa kebutuhan dananya?
Baru yang tahun ini. Dari Kementerian Kelautan saja Rp 178 miliar. Masih kita kembangkan master plan-nya. Saya ingin tahun depan kapasitas tangkap ikan naik menjadi 80 persen. Saya minta kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara agar difasilitasi supaya kapasitasnya ditambah. Nah, dari 400 pemilik kapal ini, yang kita pindahkan dari pantai utara nanti kita catat dan lihat performanya. Kalau bagus, saya sarankan supaya bank kasih kredit, supaya mereka bisa nambah kapasitas. Ini memerlukan infrastruktur dasar.
Kapan dimulai?
Saya mau sebulan ini langkah komprehensif. Blueprint-nya harus kita ajukan dalam rapat terbatas supaya disepakati. Dan dalam tiga bulan sudah harus disepakati tim tangkap wilayah Natuna. Konstruksi tiga pelabuhan itu sudah mulai. Mudah-mudahan bisa selesai juga akhir tahun ini. Baru kami pikirkan rencana buat tahun depan.
Untuk meningkatkan produksi ikan tangkap, langkah pengembangan Natuna ini salah satu solusinya?
Meningkatkan hasil tangkap nasional. Bukan asing lagi, seperti yang lalu. Ini cukup canggih karena nelayan nasional senang mendapatkan hasil dari daerah gemuk. Pendapatannya pasti naik, tangkapan pasti banyak, masalah cantrang selesai. Yang kedua, nelayan kecil, yang di bawah 30 ton, juga senang karena tidak ada pesaing di pantai utara Jawa. Dengan kita adakan pasar lelang internasional, value pun pasti naik. Harga akan lebih baik, kualitas juga meningkat. Hari ini tangkap, langsung jual. Beda dengan selama ini, ikan dijual dengan harga diskon karena ikan sudah tidak segar.
Bagaimana dengan tindakan Menteri Susi membakar kapal-kapal itu?
Kenyataannya nelayan kecil menangkap lebih dekat, hasilnya lebih besar. Saya ke Sibolga suatu hari. Biasanya satu kapal dapat 200 ton, sekarang mereka bisa dapat 400 ton. Karena ikan lebih banyak. Saya ke sekitar Belawan. Biasanya, sampai ketemu ikan, nelayan butuh waktu sampai tiga jam. Sekarang satu jam sudah menangkap ikan. Mereka juga pulang lebih cepat dan hasilnya lebih banyak. Kebijakan ini sangat menguntungkan nelayan menengah-kecil tradisional, merugikan nelayan kapal-kapal besar yang cuma jadi antek. Tapi memang harus kita perbaiki, kapasitas tangkap yang paling banyak bolong itu di Natuna.
Selama ini bagaimana izinnya?
Di bawah 30 ton izinnya daerah, di atas 30 ton izin ke pusat.
Soal reshuffle, Anda tidak dipanggil Presiden Joko Widodo, karena banyak menteri bolak-balik ke Istana?
Biar saja. Saya kan ada pekerjaan lain.
RIZAL RAMLI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo