Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUAN orang memadati Pusat Pengembangan Intelektual Anak dan Kaum Muda di Teheran, Iran. Ada yang membawa poster, ada yang terisak, ada yang bertepuk tangan, ada pula yang melantunkan ayat suci Al-Quran. Mereka berasal dari berbagai kalangan, dari pejabat, sineas, hingga masyarakat umum. Di tempat itu, 47 tahun silam, Abbas Kiarostami mendirikan departemen pembuatan film. Senin pekan lalu, tempat itu menjadi persemayaman terakhir jasadnya sebelum dikebumikan di Lavasan, kota kecil di timur laut Teheran.
Sineas legendaris asal Iran, Abbas Kiarostami, berpulang pada 4 Juli lalu. Saat itu dia dalam perjalanan untuk mengobati kanker pencernaan yang dideritanya selama beberapa bulan terakhir menuju Paris, Prancis. Kematiannya membawa duka mendalam bagi industri perfilman dunia. Martin Scorsese menyebutnya "rare artist with special knowledge of the world".
Di Iran, berbagai karyanya menginspirasi para sutradara muda untuk masuk barisan gelombang baru sinema Iran, sinema yang kerap dipuji karena tema realis dan kekayaan bahasanya. Kiarostami pula yang membuka jalan bagi para sutradara muda negeri itu sehingga bisa bersinar di festival film dunia.
Abbas Kiarostami lahir di Teheran pada 22 Juni 1940. Dia adalah sutradara, pelukis, sekaligus penyair. Perkenalannya dengan video diawali dengan proyek membuat iklan televisi. Namanya mulai dikenal setelah revolusi Iran. Saat itu banyak sineas memutuskan berpindah dari negeri tersebut karena bermacam batasan dan sensor yang diterapkan Khomeini. Kiarostami termasuk barisan sineas yang tetap tinggal. Filmnya, Where is My Friend's Home? (1987), lulus sensor karena kejeliannya menggunakan pemain anak.
Dalam film itu, Kiarostami menyampaikan kritik sosial lewat sudut pandang Ahmed, anak kecil yang berusaha mengembalikan buku catatan kawan sekelasnya. Cerita yang sederhana itu memuat observasi karakter, kritik sosial, dan kebijakan humanis, yang menjadi fondasi film-filmnya. Disusul dengan Life and Nothing More... (1992) dan Through the Olive Trees (1994), ketiga film ini disebut sebagai trilogi Koker oleh para kritikus film.
Taste of Cherry (1997) menjadi magnum opus-nya. Film yang memboyong Palme d'Or dalam Cannes itu berkisah tentang seorang pria yang hendak bunuh diri dan mencari orang yang mau menguburnya. Film ini dilarang tayang di Iran karena dianggap mendorong bunuh diri. "Tapi sesungguhnya film ini merupakan dorongan untuk terus hidup," kata Kiarostami, dua tahun lalu.
Kiarostami juga dikenal sebagai sutradara dengan gaya sinematografi yang unik. Dia meleburkan batas-batas fiksi dan dokumenter. Pada Ten (2002), dia berkisah tentang seorang wanita dan percakapannya dengan 10 orang di mobil yang sama, secara bergantian. Film yang mengekspos masalah sosial itu diambil dengan menggunakan kamera DV yang dipasang di dashboard mobilnya. Menurut pengamat film J.B. Kristanto, gaya sinematografi Kiarostami ini banyak mengilhami sutradara Iran lainnya, seperti Mohsen Makhmalbaf dan Jafar Panahi. "Karya Jafar yang berjudul Taxi (2015) itu terilhami Ten," katanya.
Kiarostami, yang kerap tampil dengan kacamata gelap, sering memvisualkan puisi Persia, baik klasik maupun modern, dalam filmnya. Dalam The Wind Will Carry Us (1999), misalnya, ada satu adegan yang menggambarkan salah satu karakter menaiki skuter di jalan berliku dengan ladang gandum tertiup angin di kanan-kirinya. Karakter itu lalu merespons komentar bahwa dunia lain lebih baik daripada dunia ini dengan mengutip puisi Omar Khayyám. "Karya-karya Kiarostami itu cenderung filosofis, teologis, mengingatkan saya pada karya-karya Ingmar Bergman," kata Kristanto.
Selama hidupnya, Kiarostami menyutradarai lebih dari 40 film, termasuk film pendek dan film dokumenter. Sebagian karyanya diproduksi di Iran. Namun dua karya terakhirnya, Certified Copy (2010), yang dibintangi aktris kondang Prancis, Juliette Binoche, direkam di Italia, dan Like Someone in Love (2012) diproduksi di Jepang. Beberapa hari sebelum kematiannya, Kiarostami menjadi salah satu dari 283 anggota baru deretan juri Academy Awards. Namun jalan takdir tak bisa ditebak. Jean-Luc Goddard, sutradara Prancis terkenal, pernah berkata: "Sejarah film diawali dengan D.W. Griffith dan diakhiri dengan Abbas Kiarostami."
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo