Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kiai Haji Maksum Djauhari: "Saya Tetap Menginginkan Islah"

Rambut gondrongnya beriak kecil dan kian putih. Songkok haji dipasang sekenanya, sebentar miring ke kanan, sesekali dimiringkan ke kiri. Meski tampak seperti urakan, tutur katanya ramah dan santun. Kadang diselipi berfilsafat. Itulah Kiai Haji Maksum Djauhari, seorang pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) yang biasa disapa Gus Maksum ini tidak hanya eksentrik dalam penampilan, tapi juga caranya melihat persoalan. Termasuk sikapnya dalam menilai kemelut di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kini terbelah dua: kubu Abdurrahman Wahid-Alwi Shihab dengan kubu Matori Abdul Djalil.

20 Januari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kiai berusia 58 tahun kelahiran Desa Kanigoro, di lereng Gunung Kelud, Jawa Timur ini sama sekali tak menisbikan lahirnya PKB Matori. Gus Maksum tetap menghargai undangan Matori. Ia hadir dalam acara PKB Matori di Jakarta, pada akhir Oktober 2001. Ia juga diundang dalam Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB Matori di Ibu Kota pada 14-16 Januari lalu, tapi tak datang karena sakit asam urat. Sebagai gantinya, ia mengirim dua orang santri muda ke MLB di Jakarta. "Kalau saya tidak sakit begini, mungkin saya datang," katanya. Karena terkesan lebih dekat dengan Matori, tak mengherankan bila Gus Maksum dianggap berpihak. Apalagi MLB kubu Matori memasukkan namanya sebagai Wakil Ketua Dewan Syuro, dewan ulama yang prestisius di PKB. Sikap ini tentu saja bertentangan dengan sebagian besar ulama dan massa NU, yang notabene juga massa PKB. Apalagi Forum Langitan, yang melakukan pertemuan di Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, Senin dua pekan lalu, mendukung PKB Gus Dur-Alwi. Memang, sidang para kiai khos itu memberi kesempatan islah pada kedua kutub, tapi keberpihakan mereka jelas: pro-Gus Dur-Alwi. Toh, sikap beda Gus Maksum bukannya tanpa dasar. "Falsafahnya: bila ada anak nakal, jangan dibuang ke hutan, nanti dimakan harimau, kita berkewajiban membina," katanya. Ia sengaja mendatangi per-temuan kubu Matori demi pengamanan. "Kalau saya tak datang, bisa didemo masa NU sendiri. Ini kan nggak baik," katanya. Para pendemo yang santri itu akan enggan jika ada sosok berpengaruh macam si Gus. "Tapi kehadiran saya itu jangan dianggap sebagai keberpihakan." Sesepuh perguruan silat Pagar Nusa—kelompok bela diri di bawah NU—ini dikenal pemberani. Ketika masih muda, Maksum berhasil membersihkan daerah kelahirannya dari rampok. Ia juga berhasil mempertahankan masjid ayahnya, K.H. Muhammad Abdullah Djauhari, dari serangan ganas Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi di bawah PKI. Setelah menjadi pengasuh Lirboyo, ia tetap unik. Penggemar VW Kombi Brasil ini memelihara berbagai jenis binatang seperti kera dan beberapa binatang buas di halaman rumahnya. Kebun binatang mini itu bisa menjadi tontonan para santri Lirboyo, daripada mereka keluyuran. Cerita-cerita tentang kegaiban juga melingkupi hidup Kiai Maksum. Konon, rambut kiai yang gemar makan kunyit ini tak bisa dipotong sembarang orang. Ia dikenal punya peliharaan jin. Bila mengobati pecandu narkotika dan obat terlarang, Gus Maksum hanya memberikan korma sebanyak-banyaknya. Tamu yang berdatangan ke rumahnya bisa berjumlah ratusan setiap hari, mulai dari tukang becak hingga pejabat tinggi. Mereka minta berkah, wirid, dan obat. Malah ada seorang calon bupati yang membawa berkas pencalonannya untuk diberkahi agar gol jadi bupati. Kiai Maksum, yang beristrikan Siti Khotimah dan Lailatul Qomariah--baru hamil muda dan masih berusia 20 tahun—juga sosok sederhana. "Saya senang bisa menerima sampean di masjid ini," katanya sambil rebahan di atas selimut merah bermotif bunga dengan kepala disandar dua buah bantal. Dalam keadaan sakit—ke mana-mana harus dipapah dua santrinya—Kiai Maksum menjawab semua pertanyaan Dwidjo U. Maksum dari TEMPO, Rabu pekan lalu. Berikut petikannya. Muktamar versi Matori memilih Anda sebagai Wakil Ketua Dewan Syuro. Anda mau? Ha-ha-ha..., bagaimana menjelaskannya. Wong, sampean tahu, sejak usai zuhur hingga petang, kita berdua ngobrol di masjid. Terus terang, saya nggak tahu soal itu, dan baru tahu dari sampean. Berarti Anda tidak lagi di tengah-tengah, dong? Ha-ha-ha...., biarlah apa maunya mereka. Saya benar-benar nggak ngerti itu. Tapi apakah Anda akan menerima amanat itu? Begini ya, saya tidak bisa langsung mengambil keputusan. Saya harus benar-benar mempelajari ihwal penunjukan saya sebagai Wakil Ketua Dewan Syuro (PKB Matori) itu. Tapi saya tandaskan, apa pun keputusan saya, saya tetap menghendaki dua PKB itu islah. Bagaimana Anda melihat kemelut di tubuh PKB? Ya, itu hal biasa dan wajar karena merupakan romantika dan dialektika politik. Kalau hal biasa, mengapa para kiai sepuh khusus membahasnya di Langitan, Tuban? Ya, itu semua karena para ulama tidak ingin terjadi perpecahan di kalangan warga NU, karena di tubuh PKB itu banyak bermukim orang NU. Pada titik itulah, mengapa para ulama keronto-ronto (bersusah payah dan bersakit-sakit) berusaha mempertemukan perbedaan pendapat antara Gus Dur dan Matori. Jadi, sebenarnya tidak ada niat khusus dari kalangan ulama, selain berupaya mengislahkan Gus Dur dan Matori. Tapi bukankah Matori tetap menolak pemecatan Gus Dur dan tetap menggelar MLB di Jakarta? Saya yakin, setelah muktamar, masalahnya masih bergulir, termasuk soal kemungkinan islah. Air sama air kelak menjadi satu. Yang menjadi persoalan selama ini, ketika islah hampir terjadi, selalu ada saja sampah-sampah yang dengan antusias berusaha menghalang-halangi. Artinya, ada skenario yang sengaja dimunculkan, seolah-olah telah terjadi ketegangan antara Gus Dur dan Matori. Bukankah sengketa antara Matori dan Gus Dur itu memang benar terjadi? Terus terang, saya sama sekali tidak percaya semua itu. Memang sering konflik terjadi di kalangan warga NU. Tapi itu pada akhirnya akan reda dengan sendirinya, kalau memang sudah waktunya. Dan konflik semacam itu memang biasa terjadi di NU. Tapi, ya itu tadi, akan selesai dan bertemu kembali. Bukankah pemecatan Matori sebagai Ketua Umum PKB oleh Ketua Dewan Syuro sesuatu yang serius? Itulah makanya. Semua itu kan bergantung pada versi pemikiran siapa. Kalau setahu saya, sebagian ada yang berpandangan, seharusnya Gus Dur tidak terlalu cepat memecat Matori. Sebaiknya Matori dipanggil dulu, ditanya motifnya apa berbuat begitu. Kalau memang sudah jelas, baru diambil langkah-langkah penentuan sikap. Tapi benarkah kewenangan Dewan Syuro itu memang tak terbatas? Ya, kalau di kultur NU memang biasanya begitu. Jadi, sama sekali tidak ada kesempatan atau upaya klarifikasi? Seperti sampean tahu, peristiwa pemecatan itu kan begitu tiba-tiba. Kemudian baru ada upaya islah setelah konflik semakin tajam. Bahkan waktu itu ada berita, entah dari media mana, bahwa pintu islah buat Matori telah ditutup. Saya mohon maaf ya, entah persnya yang sengaja menciptakan opini seperti itu atau memang begitu kenyataannya. Bagaimana sebenarnya yang Anda ketahui? Kalau kami ketemu langsung dengan Gus Dur, katanya tidak begitu. Gus Dur tidak pernah punya niat menutup pintu islah. Sebaliknya, ketika ketemu langsung dengan Matori, juga tidak begitu. Malah Matori banyak meminta pertimbangan ke para ulama atas sikapnya itu. Namun, yang terpenting, apa pun kesalahannya, hendaknya tetap ada pintu tobat bagi siapa pun. Bukankah klimaks persoalannya karena Matori justru ikut melengserkan Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR lalu? Aslinya memang begitu. Kebanyakan orang juga mengecap Matori sebagai pengkhianat. Tapi saat itu kan tidak ada yang mau mengerti, mendengar, dan memahami argumentasi Matori. Kalau mereka mengerti, saya kira persoalannya tidak akan berlarut-larut seperti sekarang ini. Pokoknya, ada saja halangan bila akan bertemu Matori atau bila dia ingin klarifikasi. Seperti selalu ada yang berusaha menggagalkannya. Munculnya dua PKB bukankah semakin memperparah situasi? Percayalah, itu semua nanti akan berbaikan. Setelah masing-masing mengadakan MLB, akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lanjutan. Kalau nanti sudah ada dua PKB, niscaya akan ada jalan keluar. Sebab, kalau ada dua PKB, kan repot. Kalau konflik PKB nggak tuntas, bukankah yang rugi nahdliyin? Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk bingung di tengah-tengah. Lambangnya, keretanya tabrakan terus, gerbong keretanya morat-marit, akhirnya penumpang yang jadi korban. Begitu juga saat Gus Dur masih presiden, dipermainkan oleh orang-orang. Perlambangnya, di daerah banyak sekali bapangan (layang-layang besar berbuntut panjang dengan suara mirip kapal terbang). Padahal, sebelumnya satu kampung belum tentu ada. Sekecamatan paling banter hanya ada satu. Nah, saat itu bisa sampai seratus biji di satu kampung. Maknanya, ya, Gus Dur dipermainkan seperti layang-layang itu. Tapi, begitu Gus Dur turun, layang-layang itu tiba-tiba raib. Nggak ada sama sekali. Jadi, Anda yakin PKB akan bersatu lagi? Kita berusaha. Ibarat ada kambing terjerat, kita harus mengeluarkannya. Kalau tidak, nanti dimakan serigala. Ibarat ada perahu hanyut, kita tambatkan kembali. Kalau tidak, nanti ditelan samudera. Kalau ada anak nakal, jangan dibuang ke hutan, nanti dimakan harimau. Kita berkewajiban membina. Itu falsafahnya. Tapi apakah Matori mau berpikir seperti Anda? Saya kira Matori juga orang pintar. Dia pasti tidak bisa mengingkari NU begitu saja. Dan NU, pada masa pemilu nanti (2004), akan lain situasinya. Gus Dur sekarang juga sudah lain. Hari Minggu malam lalu pekan lalu, Gus Dur juga nyambangi saya di Lirboyo. Insya Allah, pada saatnya nanti akan ketemu. Karena saat ini sebenarnya masing-masing sudah bisa memahami. Apakah keberanian Matori mempertahankan sikap karena didukung Presiden Megawati? Soal dukungan Megawati ke Matori, saya nggak ikut bicara. Biarlah itu dijawab oleh nurani mereka masing-masing. Perkara ada kontrak-kontrak politik di antara mereka, biar mereka sendiri yang merenungkannya. Yang terpenting, mereka bisa mempertimbangkan apakah itu merugikan bangsa dan negara atau tidak. Siapa yang pantas menjadi ketua, bila PKB bersatu? Semuanya berpotensi, baik Alwi Shihab maupun Matori. Kedua orang itu saya percaya bisa membawa PKB menjadi partai besar. Bagaimana sebenarnya sikap para ulama NU terhadap sikap Matori itu? Ya, kita ini orang tua yang harus punya sifat dan sanggup menjadi tua. Kita harus tetap berusaha berada di tengah-tengah, agar salah satu dari mereka tidak sakit hati. Saya yakin, semua ulama berpandangan seperti saya. Mana ada orang tua yang tidak mencintai dan mengasihi anak-anaknya? Kabarnya, konflik PKB telah menimbulkan sengketa di antara para ulama? Soal sengketa ulama, saya kira hanya pada tataran generasi pertengahan. Kalau kiainya (sepuh), saya kira nggak seperti itu. Bahwa para ulama sepakat untuk membesarkan PKB itu memang sudah menjadi komitmen, karena memang itu partainya orang NU. Posisi Anda sendiri sebenarnya di mana? Pada prinsipnya sampai detik ini saya tetap menginginkan islah. Mungkin suatu saat Matori akan jadi Wakil Dewan Syuro atau yang lain di PKB. Maksud saya bukan PKB yang mana, tapi ya PKB yang ada selama ini. Bagaimana warga Pondok Lirboyo sendiri menyikapi konflik dua PKB ini? Kalau Lirboyo, semua ke Gus Dur-Alwi. Yang di tengah-tengah cuma saya. Ulama dan elite politik mungkin tidak bingung, tapi bagaimana dengan masyarakat? Nggak, masyarakat juga nggak akan bingung. Kami nanti yang menjelaskan kepada masyarakat. Bukankah Anda juga diundang di MLB PKB-nya Matori di Jakarta? Ya, saya diundang di kedua MLB. Tapi, seperti sampean tahu, saya sendiri repot, karena sakit begini. Untuk menjumpai sampean saja saya harus digendong anak-anak (para santri). Namun, untuk menjaga keamanan, agar muktamar itu tidak didemo oleh sesama warga NU, saya memang mengirimkan dua santri saya ke muktamarnya Matori di Jakarta. Namanya Haji Achmad dan Haji Achiat. Mereka berdua masih muda. Sama-sama baru menikah dan usianya baru di bawah 20 tahun. Anda berniat menghadiri undangan Matori? Kalau saya nggak sakit, mungkin saya juga akan hadir ke muktamarnya Matori. Tapi, sekali lagi, kedatangan saya sifatnya hanya mengamankan, takut kalau didemo. Sebab, pertemuan PKB Matori di Jakarta beberapa waktu lalu sempat didemo massa tujuh bus. Setelah tahu saya ada di sana, nggak jadi didemo. Pada hari kedua, 2.000 orang juga akan mendemo, tapi sebelumnya para pendemo tanya kepada anak-anak (santri) saya, "Mbah Kiai masih di situ?" Kemudian dijawab oleh anak-anak bahwa saya masih ada. Kemudian mereka nggak jadi demo. Mengapa Anda tidak mengirim santri ke muktamar Gus Dur-Alwi di Yogyakarta? Ha-ha-ha..., buat apa? Muktamar di Yogyakarta saya kira akan aman-aman saja. Nggak bakalan ada yang mendemo. Jadi, saya nggak perlu mengirim orang untuk mengamankan. Dan ini jangan ditafsirkan saya lebih mengutamakan atau lebih mendukung kubu Matori. Waktu Harlah PKB di pondoknya K.H. Kholil As'ad (adik K.H. Fawaid As'ad) di Sukorejo, Asembagus, Situbondo, saya juga hadir bersama Alwi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus