Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjalanan Rianto melawan stigma buruk melestarikan lengger lanang.Â
Rianto mengeluhkan masih banyak masyarakat yang memandang rendah kesenian lengger.Â
Pandangan negatif masyarakat membuat anak muda enggan melestarikan lengger, khususnya lengger lanang.Â
Secangkir kopi dan beberapa batang rokok filter menjadi kawan Rianto menunggu jam keberangkatan kereta api dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Jumat sore pekan lalu. Penari dan koreografer itu berencana pulang ke kampungnya di Banyumas, Jawa Tengah. Kebetulan kereta yang ia tumpangi baru akan diberangkatkan dari stasiun itu pada pukul 18.10. Walhasil, ia kongko sejenak di salah satu restoran sembari menunggu kereta tiba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya baru mendarat dari Padang. Ada acara kesenian juga di sana selama dua malam," kata Rianto saat ditemui Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi penikmat seni tari, nama Rianto sudah tak asing lagi. Ia adalah penari lengger lanang yang sudah mentas hingga ke luar negeri. Bahkan Rianto satu-satunya tokoh kuat yang masih melestarikan kebudayaan lengger di tanah Banyumas. Pada 28 Oktober lalu, Rianto menjadi satu dari sekian pegiat seni yang mendapat penghargaan berupa Anugerah Kebudayaan Indonesia dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk kategori pelopor serta pembaru.
"Sungguh kebanggaan yang luar biasa untuk saya," ujar Rianto.
Penghargaan tersebut, kata Rianto, seakan-akan menjadi penyemangat bagi dirinya yang selama ini merasa sendirian melestarikan tari lengger, khususnya lengger lanang. Beragam upaya ia lakukan agar lengger tak punah dimakan waktu. Salah satunya dengan menggandeng komunitas dan kampus di luar negeri.
Kepada Tempo, Rianto bercerita tentang suka-dukanya mempertahankan kesenian lengger. Ia juga berkisah tentang perjalanan hidupnya hingga menikah dengan warga Jepang dan tinggal di Negeri Sakura sejak 2009. Berikut ini wawancara Tempo dengan Rianto.
Bagaimana tanggapan Anda mendapat Anugerah Kebudayaan Indonesia?
Alhamdulillah dipercaya dapat anugerah ini. Sebuah kebanggaan mendapat kepercayaan ini. Tapi ini malah dapat tanggung jawab lebih besar lagi karena setidaknya saya harus terus menyelamatkan seni tari tradisi yang ada di sekitar saya. Jadi harus terus aktif.
Saya bangga dan senang bisa jadi tokoh atau aset Banyumas, salah satu pegiat yang aktif melestarikan lengger lanang. Setelah meninggalnya almarhum Mbok Dariah sebagai maestro lengger lanang, saya punya tanggung jawab agar kesenian ini bertahan. Tugas saya masih banyak untuk kerja di dunia kesenian ini. Saya harus menyelamatkan lengger lanang.
(Mbok Dariah atau yang bernama asli Sadam adalah maestro kesenian lengger lanang Banyumas. Mbok Dariah lahir pada 1928 dan selama puluhan tahun menjaga kesenian lengger lanang yang semakin redup. Mbok Dariah wafat pada 18 Februari 2018 di usia 98 tahun.)
Mengapa Anda bilang untuk menyelamatkan? Ada apa dengan lengger lanang?
Saat ini lengger lanang masih diidentikkan dengan hal buruk karena laki-laki berdandan seperti perempuan. Bahkan lengger perempuan pun dicap sebagai perempuan gampangan, bahkan menjurus ke prostitusi. Sebenarnya lengger ini punya filosofi sangat tinggi. Lengger itu berasal dari kata "leng" yang artinya lubang. Bukan lubang kelamin saja, tapi juga sembilan lubang yang ada di tubuh manusia.
Saya berusaha bagaimana mengubah stigma negatif masyarakat ini terhadap lengger. Saya ingin masyarakat paham arti lubang tadi itu adalah sembilan kesempurnaan. Sebab, selain kelamin, ada mata, hidung, telinga, mulut juga. Ini yang jadi sebuah simbol manusia harus bisa kontrol sembilan lubang itu. Dulu, di Banyumas, ketika masyarakat akan melaksanakan upacara ritual, itu dengan lengger karena lengger ini sebagai media berinteraksi dengan sang pencipta.
Lalu, seperti yang banyak ditanyakan orang, mengapa laki-laki harus berdandan seperti perempuan saat menarikan lengger?
Sebenarnya tidak berdandan perempuan pun bisa, tapi untuk saat ini berbeda. Saya ingin menggambarkan tubuh laki-laki yang berdandan perempuan ini sebagai wujud dari perwakilan peleburan maskulin dan feminin. Ketika tidak menari lengger, ya sudah, jadi manusia biasa lagi. Jadi ini cuma ritual seni dalam lengger.
Di dalam tubuh laki-laki ini, ada kontinuitas untuk melakukan ritual lengger. Kalau perempuan, ada masanya tidak bisa menari lengger lagi. Misalnya, anak perempuan itu 10-14 tahun sudah menstruasi. Sementara itu, laki-laki tidak ada batasnya. Jadi dulu kala yang melakukan ritual lengger lanang ini pun mereka yang bekerja di sawah, di ladang, dan lainnya.
Bagaimana kondisi kesenian lengger lanang di Banyumas?
Banyak masyarakat yang baru tahu lengger itu dulunya laki-laki. Periode kesenian lengger itu lama banget. Bahkan dari prasejarah, lalu agama Hindu datang, Islam datang, itu baru ada percampuran pola pikir masyarakat. Lalu kebiasaannya pun berubah, misalnya ada mantra-mantra kuno yang digabung dengan Islam itu hidup.
Lalu, saat masa penjajahan Belanda, bagaimana perspektif berubah dari lengger yang tadinya laki-laki diganti dengan perempuan dengan alasan lebih menghibur. Jadi sekarang sudah jarang sekali ditemukan lengger lanang. Kebanyakan adalah lengger perempuan, baik untuk tarian model gaya baru maupun tradisional.
Bahkan sudah ada pergantian besar kesenian lengger yang dulunya pergelaran lengger itu bisa semalam suntuk, sekarang dibatasi waktunya cuma dua jam. Yang versi lengkap dengan cerita itu sudah tidak bisa sampai pagi lagi. Alasannya sekarang sudah banyak aturan. Perizinan pun susah. Karena lengger itu mengundang banyak orang, entah untuk menonton sampai rebutan menari dengan penari. Nah, biasanya ini ada keributan saat rebutan penari perempuan.
Apakah tidak ada anak muda yang melanjutkan seni lengger lanang?
Saya khawatir tidak banyak anak muda yang cinta pada tari lengger. Ada memang, tapi mereka tidak bisa menjaga eksistensi karena malu dan dicibir masyarakat. Sebab, mereka belum dapat prestasi seperti saya. Jadi, kalau mungkin mereka punya prestasi di bidang lengger, akan susah untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Sebenarnya ada generasi baru, seperti Otniel Tasman dan Dwi Pamungkas. Mereka masuk ke kontemporer. Tapi yang murni lengger tradisi itu mereka benar-benar hanya di Banyumas. Enggak bisa ke mana-mana lagi. Mereka harus saya ajarkan tentang lengger. Mereka panggil saya nyonya, he-he. Ini saking enggak ada guru lengger lanang tradisional. Karena itu, saya bikin yayasan Rumah Lengger.
Koreografer Rianto tampil dalam Indonesian Dance Festival di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 5 November 2014. Dok. TEMPO/Ratnaning Asih
Bagaimana Anda membangun Rumah Lengger?
Saya bangun yayasan ini memakai bangunan lama di Gedung Heritage, Kota Lama Banyumas, bekas kandang kereta kuda. Di situ saya buka pintu untuk anak-anak yang ingin belajar tentang lengger. Bukan cuma tentang menari, tapi juga sejarahnya. Saya simpan beberapa barang milik Mbok Dariah untuk diperlihatkan kepada anak muda tentang maestro kesenian lengger. Kebetulan, setelah Mbok Dariah meninggal, barang-barang peninggalan beliau tidak ada yang merawat. Jadi saya izin ke keluarganya untuk saya simpan di Rumah Lengger. Kegiatan di sana itu harian karena ada yang jaga.
Bagaimana perjalanan Anda mempertahankan kesenian lengger lanang?
Saya memulai dari bangku kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Saya kuliah sembari bekerja sama dengan koreografer dari berbagai negara. Intinya saya berusaha membuat inovasi atau membuat karya tentang lengger menurut perspektif saya. Jadi setiap penelitian untuk membuat karya itu butuh waktu tiga tahun. Tiga tahun penelitian, tiga tahun tur karya. Lalu melanjutkan karya itu untuk penelitian berikutnya tiga tahun juga. Lalu tur untuk membulatkan pembaruan karya itu tiga tahun juga. Jadi lama memang.
Dari tubuh lengger ini, saya bisa menciptakan karya-karya kontemporer, seperti SoftMachine Rianto, kemudian Body Without A Brain, Medium, kemudian Hijrah. Yang sekarang sedang digarap dan pentas di mana-mana itu Hijrah. Memang berbagai karya, tapi itu semua berangkat dari tubuh lengger saya.
Lalu?
Saking khawatirnya terhadap eksistensi lengger, saya melakukan residensi di Australia, di Melbourne University, yang dimulai tahun lalu. Masih berproses sampai sekarang dan mungkin sampai tahun depan. Saya meneliti tubuh lengger menggunakan body motion. Nanti ke depan saya ingin mengarsipkan kosakata tubuh lengger.
Misalnya, gerakan keweran atau gerakan maju itu tubuh kita seperti ikan yang berjalan di dalam air. Lalu gerakan yang mengangkat tangan itu artinya hubungan alam dengan sang pencipta. Gerakan menggilas padi itu artinya apa. Semua saya tulis. Ada sekitar 200 kosakata lengger itu sudah saya tulis dan masih ada di Melbourne University. Sudah jadi bentuk tulang-tulang yang bergerak di setiap gerakan.
Mungkin, 50 tahun ke depan, ketika saya sudah tidak ada di dunia ini, kosakata dan body motion ini sudah jadi untuk warisan anak-cucu. Harapannya, kesenian ini tetap hidup. Bukan sebagai dokumentasi, melainkan virtual reality atau VR. Jadi, harapan saya, saya bisa berkomunikasi dengan masa depan nanti tentang lengger.
Menurut saya, baru saya satu-satunya yang bisa mengangkat lengger ini ke kancah internasional selain Ahmad Tohari dengan bukunya, Ronggeng Dukuh Paruk, yang sebenarnya sebuah novel, bukan cerita asli. Menurut saya, buku itu ikut membuat lengger jadi jatuh.
Mengapa Anda berpikir novel Ronggeng Dukuh Paruk menjatuhkan kesenian lengger?
Sebab, di novel itu, ada peristiwa buka kelambu, di mana penari lengger harus mau disetubuhi oleh orang yang datang dan memberikan saweran entah dua ekor sapi, emas beberapa batang, ini demi bisa meniduri si penari itu. Jadi otomatis masyarakat melihat penari lengger ini gampangan. Saya ingin muruah lengger ini sebagai ritual tubuh yang dipahami masyarakat sebagai kebutuhan dalam tujuan menyatu dengan semesta, seperti saat panen padi, tanam padi, bersih desa, dan sadranan.
Misalnya, saat ritual tanam padi itu, penari lengger memakai kalung lonceng sapi. Lalu saat tanam padi itu loncengnya dipakaikan ke sapi dengan harapan bunyi lonceng itu sebagai doa saat padi ditanam. Hal seperti ini yang dilupakan masyarakat.
Bagaimana Anda mengartikan lengger di dalam tubuh Anda?
Sejak kecil saya tidak menganggap tubuh saya laki-laki atau perempuan. Saya benar-benar membebaskan tubuh saya, apa pun sebutan itu. Saya ingin mendamaikan tubuh saya sebagai lengger ini. Saya harus menghormati serta menghargai maskulin dan feminin yang saya leburkan dalam tubuh saya.
Koreografer Rianto menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia di Jakarta, 27 Oktober 2023. Dok. Rianto
Sejak kapan Anda bisa mencapai pemikiran tubuh tanpa gender itu dan bagaimana ceritanya?
Sebenarnya banyak peristiwa dan trauma tubuh dalam perjalanan hidup saya saat masih kecil. Dari cerita ibu saya, saat hamil, beliau ingin anaknya seperti Didik Nini Thowok. Itu karena beliau menonton televisi pada 1980-an. Lalu saya lahir pada 1981. Doa ibu saya sepertinya sudah dikabulkan sejak saya lahir.
Tiba-tiba ada tanda biru di kening saya. Ibu saya khawatir pastinya. Kebetulan di dekat rumah saya ada pertunjukan lengger dan dibawalah saya ke sana. Ibu saya masuk ke ruang ganti penari lengger. Saat itu lengger sudah ditarikan perempuan, tidak ada lengger laki-laki. Nah, saat itu penari perempuan itu mencium kening saya dan memberikan boreh atau alas bedak di kening juga.
Lalu saat kecil saya sudah suka mendengarkan musik, berjoget. Dari situ saya mulai suka melihat dan menari lengger. Saat kecil tidak ada yang mengajari. Hanya melihat dan mencontoh.
Karena itu, saya dicap anak paling aneh lantaran badan saya luwes sekali. Karena keluwesan tubuh saya itu, mereka memanggil saya banci, termasuk teman-teman saya. Mereka panggil saya Anto banci. Saya enggak apa-apa karena itu perspektif mereka. Tapi waktu itu saya antara marah dan tidak marah serta malu dan tidak malu. Begini, karena malu itu hanya sementara karena nantinya saya juga berteman lagi dengan mereka.
Lalu?
Terkadang saya merasa terkucilkan karena kawan-kawan laki-laki menjauhi saya. Jadi saya sering disuruh bermain dengan perempuan. Mungkin itu juga yang menumbuhkan keluwesan tubuh saya. Setelah dewasa, saya baru sadar betapa sulitnya interaksi sosial yang saya alami. Setelah itu saya sadar mereka membutuhkan tubuh saya karena setiap 17 Agustus saya disuruh tampil menari sejak SD sampai dewasa. Kadang saya menari sendiri, kadang juga saya buat tarian bareng teman-teman.
Saya sempat mendapat diskriminasi. Saat SMP, saya tidak boleh ikut menari oleh guru saya. Saat itu untuk acara perpisahan sekolah. Guru saya waktu itu bilang tarian gaya baru dengan judul Tumandang itu khusus untuk perempuan. Lalu saya bertanya, kenapa tidak boleh? Pikir saya, kalau saya laki-laki, punya tubuh lebih luwes dari perempuan, kenapa tidak boleh ikut? Akhirnya saya dilempar sandal dari jendela. Saat mereka berlatih di kelas, saya mengintip dan menari di luar itu, malah dilempar sandal. Ha-ha-ha.
Tapi nilai saya bagus di SMP. Saya ranking empat secara paralel. Saya ditanya guru mau lanjut di mana, dan saya jawab ingin ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia atau SMKI. Tapi saya sempat ingin masuk ke STM karena kebanyakan teman laki-laki saya sekolah di sana. Saya ingin menunjukkan sisi lelaki saya. Tapi biayanya mahal di STM. Sebaliknya di SMKI saya malah diterima dengan alasan tidak ada penari laki-laki di sana. Saya dicarikan beasiswa untuk masuk SMKI. Saat itu Camat Kalibagor, Banyumas, jadi bapak asuh saya. Beliau membiayai Rp 10 ribu saban bulan untuk biaya SPP sampai lulus. Di SMKI itu saya mulai belajar bentuk lengger.
Apa yang terjadi setelah lulus sekolah karawitan?
Di SMKI, saya dapat nilai bagus. Teman-teman saya lanjut kuliah di Solo, di Institut Seni Indonesia atau ISI, dulu namanya Sekolah Tinggi Seni Indonesia atau STSI. Tapi orang tua saya enggak punya biaya. Maklum, sejak SMKI itu, saya biayai sendiri. Bapak-ibu saya cuma tukang becak, tidak akan mampu biayai. Akhirnya saya jual sepeda motor saya, Yamaha 75 warna merah. Saya beli sendiri itu pakai uang pentas menari di mana-mana. Sepeda motor itu saya beli untuk transportasi menari ke sana-sini. Akhirnya saya jual itu sepeda motor dengan harga Rp 1 juta dan masuk kuliah di ISI Surakarta pada 2000.
Di Solo, saya mulai berkarya lagi bersama teman-teman dari Banyumas. Kami bikin grup lengger Banyumasan. Di situ kami menari di berbagai acara. Ada juga saya menari cucuk lampah atau di acara nikahan Jawa. Waktu itu grup lengger Banyumasan itu populer, disukai banyak orang, dan pentas di mana-mana. Nah, di situ pula saya pertama kali mengenal istri saya, orang Jepang, Mirei Kawashima.
Bagaimana pertemuan Anda dengan istri saat kuliah di ISI Surakarta?
Dia baru datang dari Jepang, lalu menonton pertunjukan saya di tempat almarhum Slamet Gundono, dalang wayang suket, di Karanganyar, Jawa Tengah. Kebetulan dia juga kuliah di ISI Surakarta. Dia melihat saya dan kaget saya dandan perempuan. Dia merekam penampilan saya.
Lalu saya tampil di tempat lain di Wayang Orang Sriwedari, Surakarta, dan di kampus. Akhirnya kami mengobrol. Saat itu dia menawari saya menonton video-video penampilan saya. Akhirnya dia minta saya mengajari dia menari secara privat. Lumayan saat itu saya dapat uang tambahan.
Akhirnya kami malah jatuh cinta. Lalu kami menikah pada 2003. Saya belum lulus kuliah, he-he. Saya baru lulus dan wisuda 2004. Tapi, setelah menikah itu, dia pulang ke Jepang. Selama dua tahun kami tidak bertemu karena saya selesaikan kuliah dulu dan kebetulan saya banyak pekerjaan menari, termasuk dari luar negeri.
Baru pada 2005 saya ke Jepang. Lalu bolak-balik Indonesia-Jepang. Pada 2006, saya bikin sanggar di Jepang, namanya Dewandaru Dance Company. Akhirnya, karena kasihan sama istri, saya putuskan menetap di Jepang sejak 2009. Saya sudah dapat izin tinggal tetap sejak 2012. Sejak itu saya terus mengembangkan lengger di Jepang.
Bagaimana tanggapan terhadap lengger di Jepang?
Luar biasa, senang sekali. Setiap tahun saya bawa rombongan dari Jepang ke Indonesia untuk belajar dan pentas lengger. Agustus lalu baru selesai di acara 65 tahun diplomatik Indonesia-Jepang. Saya bawa 30 laki-laki dan perempuan dari Jepang untuk pentas di Pura Mangkunegaran Solo dan Banyumas.
Koreografer Rianto tampil dalam Anugerah Kebudayaan Indonesia di Jakarta, 27 Oktober 2023. Dok. Rianto
Apakah ini berarti lengger sudah menuju dunia internasional?
Begini, dari tubuh lengger, saya bisa menjangkau wilayah yang lebih luas. Jadi, pada 2016, saya tampil membawakan lengger di Theatre Esplanade di Singapura. Di sana ada juga kelompok koreografi besar dunia, Akram Khan Dance Company. Produsernya, Akram Khan, menonton pertunjukan saya. Mereka kagum pada ketubuhan saya.
Akhirnya mereka pilih saya untuk tampil di salah satu judul karya mereka, Until the Lion, yang menceritakan Mahabarata, yakni kisah Bisma dengan Dewi Amba. Saya diminta memerankan tokoh Bisma. Dari karya Until the Lion itu, saya pentas 100 kali lebih keliling dunia dengan panggung luar biasa dari 2017 sampai 2019. Pengalaman luar biasa keliling Eropa, Asia, Amerika, sampai Australia.
Bagaimana suka-duka Anda merantau ke Jepang?
Saya orangnya pengin tahu dan nekat. Pertama kali saya ke Jepang itu seperti mimpi. Teknologi dan kehidupan di Jepang itu sangat tinggi. Saya ke Jepang pertama kali pada 2003 untuk berkenalan dengan orang tua istri saya. Seperti melamar saat itu. Saat itu hanya ada ibunya karena ayahnya sudah meninggal.
Jawaban ibunya setuju, tapi saya harus tinggal di Jepang. Jujur, ini tantangan besar buat saya. Saya enggak ada modal materi, cuma ada modal tubuh untuk menari. Nah, pada 2003 itu, saya coba buka workshop di studio-studio tari di Jepang. Saya enggak mudeng bahasa Jepang saat itu. Jadi saya belajar dari istri yang jadi penerjemah di studio saat itu. Tapi akhirnya saya bisa bahasa Jepang.
Bagaimana cerita pernikahan Anda?
Itu juga nekat, ya. Saat Lebaran 2003, saya bilang ke keluarga di Banyumas bahwa saya mau menikah seminggu sebelum Lebaran. Jadi saya siapkan dulu persyaratan, termasuk sertifikat lajang dari Kedutaan Besar Jepang. Orang tua saya kaget saya minta nikah dadakan. Sebab, kuliah saja belum selesai dan belum punya apa-apa, ha-ha-ha.
Pada hari-H, siang di hari Idul Fitri, saya menikah di masjid. Jadi biasalah saat ijab kabul mempelai pria bicara pakai mikrofon. Ternyata itu mikrofon yang buat azan, jadi satu kampung dengar, ha-ha-ha.
Ya sudah, orang satu kampung datang ke masjid. Saya sebenarnya enggak undang-undang warga. Jadi, setelah saya keluar masjid, sudah ramai ratusan orang ingin lihat saya menikah sama orang Jepang. Akhirnya mereka ucapkan selamat, ha-ha-ha.
Bagaimana berkesenian di Jepang? Apa saja tantangannya?
Jujur agak susah berkesenian di sana. Karena mereka hanya bisa mendukung kelompok seni yang sudah punya nilai sosial tinggi. Sanggar saya, Dewandaru Dance Company, saya kerjakan sendiri. Saya biayai dari hasil pekerjaan menari saya di luar. Dari Kedutaan Besar Indonesia cuma kasih izin. Saat 2003-2006, kami masih pindah-pindah studio. Lalu, sejak 2016, kami punya studio sendiri di rumah. Jadi lantai bawah yang sebelumnya untuk toko kelontong saya ubah jadi sanggar. Sanggar kami bebas untuk siapa saja, tapi berbayar. Selain orang Jepang, ada beberapa orang Indonesia yang ikut belajar di sanggar saya.
Bagaimana dengan istri Anda? Apakah dia sedih Anda bolak-balik Indonesia-Jepang?
Istri saya malah ingin masa tuanya nanti di Banyumas. Dia sudah siapkan tempat kuburan sendiri di Banyumas, he-he-he. Dia lebih dekat dengan keluarga saya di Banyumas karena dia enggak punya keluarga lagi di Jepang. Ibunya sudah meninggal pada 2018. Dia punya kakak perempuan. Tapi, kalau sudah pisah berkeluarga, hidupnya sudah sendiri-sendiri.
Saya dan istri tinggal di rumah yang diwariskan oleh orang tua istri saya. Kami tinggal berdua saja karena kami tidak dikaruniai anak. Istri saya usianya lebih tua, jadi enggak punya kesempatan memiliki anak. Perbedaan usia kami itu 16 tahun. Istri saya sekarang usianya 58 tahun. Tapi semangat saya untuk hidup tanpa anak membuat saya berfokus pada seni tari.
Apakah Anda betah di Jepang?
Saya betah tinggal di Jepang. Karena ada masanya saya harus bisa tenang sendiri. Sebab, biasanya saya kerja di lingkungan yang ramai, banyak orang. Belum lagi saya bekerja harus tepat waktu dan tak boleh ada kesalahan sedikit pun. Kehidupan di Jepang itu santai sebenarnya. Aman, tidak khawatir tentang kejahatan.
Tapi, bicara anak muda, anak muda Indonesia lebih kreatif dibanding di Jepang. Anak muda di Jepang seperti enggak punya masa depan, tapi ketika sudah berusia 40 tahun berubah jadi pekerja keras. Beda dengan anak muda Indonesia, kerja keras sejak dini dan lebih kreatif.
Bagaimana kisah hidup Anda diangkat jadi film oleh Garin Nugroho, Kucumbu Tubuh Indahku?
Awal mulanya saya dikenalkan dengan Mas Garin Nugroho itu pada 2014. Lalu, pada 2015, saya dan Mas Garin residensi bareng di Hawaii. Di situlah Mas Garin tahu cerita dan tertarik pada ketubuhan lengger saya. Lalu saya dulu yang menawarkan Mas Garin jadi dramaturgi karya saya, Body Without A Brain, pada 2016. Ternyata beliau sudah mulai mempelajari ketubuhan saya dan menulis naskah. Lalu, pada 2017, beliau bilang ke saya tentang rencananya membuat film tentang jalan hidup saya dan lengger. Beliau tiba-tiba saja sudah memamerkan naskahnya, he-he-he.
Bagaimana rasanya sutradara sekelas Garin Nugroho membuat film tentang kisah Anda?
Sebuah kejutan tentunya. Jadi sesuatu ide sederhana menjadi sebuah karya yang luar biasa. Bagi Mas Garin, saya sederhana. Tapi, dari ketubuhan saya, ini bisa jadi berharga bahkan di mata dunia. Mas Garin ingin membuat film yang menampar fakta. Pada 2017 saya baca naskahnya, lalu 2018 sudah dapat produser dan dimulailah syuting saat bulan puasa 2018. Syutingnya di Gunungkidul.
Ketika penyutradaraan itu, saya enggak tahu bagaimana bisa adegan-adegan itu disatukan. Tadinya saya mau dijadikan tokoh utama si Juno itu. Ketika casting pemeran, ternyata saya langsung diganti oleh Muhammad Khan saja karena dia sudah lama di dunia peran. Lalu saya diminta menjadi narator. Apa yang saya ingat dan alami itu saya bicara tanpa teks sama sekali. Setelah jadi filmnya, saya menonton itu menangis sendiri karena filmnya sangat mirip dengan apa yang saya alami.
Tak sedikit orang yang tak menerima film Kucumbu Tubuh Indahku dengan alasan menggambarkan kaum LGBT dan lainnya. Bagaimana tanggapan Anda?
Mereka bukan saya, bukan Rianto. Rianto adalah saya sendiri yang mengalami kisah itu. Saya memaklumi masyarakat tidak bisa memahami film ini. Sebab, dari kalimat judul Kucumbu Tubuh Indahku itu, dalam bahasa Inggris adalah Memory of My Body. Ini bukan soal LGBT, melainkan soal budaya yang perlu didialogkan bahwa ritual lengger seperti itu. Ini sebuah kekayaan budaya yang luar biasa yang harus dipelajari, bukan malah mendewakan kebudayaan dari luar.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo