Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMIMPIN Bank Indonesia sejak Mei 2013, Agus Martowardojo tak punya kelapangan waktu bahkan untuk sekadar menikmati kompleks bank sentral yang megah, di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Setelah pelantikannya sebagai Gubernur Bank Indonesia, Agus langsung dihadang situasi gawat: defisit transaksi berjalan tertinggi dalam sejarah dan inflasi yang melampaui proyeksi—akibat kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan kelangkaan beberapa bahan pangan.
Guncangan kian menjadi tatkala Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) Ben Bernanke menyampaikan rencana pengurangan stimulus moneter yang telah digelontorkan empat tahun terakhir. Pelaku pasar meresponsnya dengan negatif. Rupiah jeblok dari kisaran 9.700 menjadi 11.500 per dolar Amerika. Sektor keuangan mulai ketar-ketir. Pasar uang antarbank sempat mencatat transaksi anjlok menjadi US$ 200 juta per hari. Bandingkan dengan tahun lalu, yang bisa mencapai US$ 1-2 miliar per hari.
Walhasil, Agus Marto langsung mengawali tugas barunya dengan agenda rapat-rapat maraton. Dia bersidang dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia dan ke luar kantor, berkoordinasi di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Sosok Agus juga muncul dalam pertemuan kabinet terbatas di Istana Negara untuk menyiapkan berbagai antisipasi. Belakangan, ia berinisiatif mengundang sejumlah menteri melakukan pertemuan di Bank Indonesia.
Pertengahan bulan lalu, Agus Marto mengundang Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk membahas inflasi di Bank Indonesia—disusul kunjungan bersama ke Pasar Tanah Abang. Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat kontan memprotes dan memintanya menjaga independensi bank sentral.
"Saya selalu dan akan terus menjaga independensi penuh Bank Indonesia," kata Agus kepada Tempo. Dia menegaskan, tugas utamanya adalah mengawal moneter. Itu sebabnya, ia mengaku akan terus "berkampanye" mengajak para kepala daerah di seluruh Indonesia menjaga inflasi di wilayah masing-masing.
Senin pekan lalu, Agus Marto mengawali pekannya dengan menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya, Hermien Y. Kleden, Ali Nur Yasin, dan Tomi Aryanto di kantornya, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Selama dua jam wawancara, gaya bicaranya tak berubah seperti ketika menjadi Menteri: tenang, hati-hati, dan tegas.
Sehari kemudian, kabar buruk tersiar soal mentok-nya pembahasan anggaran di Kongres Amerika Serikat. Presiden Barack Obama menutup sementara sebagian kantor pemerintah dan mengingatkan pasar akan ancaman krisis. Tempo kembali mengontak Agus via sambungan telepon. Dia memastikan, Bank Indonesia akan terus menjaga nilai tukar, cadangan devisa, dan likuiditas sektor keuangan.
Mana kursi yang lebih panas: Gubernur Bank Indonesia atau Menteri Keuangan yang Anda tinggalkan pada April lalu?
Saya merasa sama saja. Di Kementerian Keuangan tugas saya adalah sebagai otoritas fiskal. Di Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Fiskal dan moneter adalah saudara kandung yang harus dijaga agar bagian ketiga, yakni sektor riil, dapat berjalan baik.
Anda tidak merasa lebih independen sekarang?
Tatkala menjadi Menteri Keuangan, saya menjadi bagian dari pemerintah. Konstitusi kita menetapkan posisi bank sentral adalah independen terhadap pemerintah. Tapi, bagi saya, tak ada independensi mutlak dalam sebuah negara. Kami akan bekerja sama untuk kebaikan negara.
Baru saja menjadi Gubernur BI, Anda mesti menghadapi memburuknya perekonomian dalam negeri. Apa yang sebenarnya terjadi?
Penyebab utamanya pertumbuhan ekonomi dunia yang terus terkoreksi lebih rendah pada 2013 dan 2014. Uniknya, negara maju seperti Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa dan Jepang kian pulih. Adapun perekonomian negara berkembang, terutama Cina dan India, malah turun. Ini menunjukkan, sejak empat tahun lalu, perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia, sebenarnya ada dalam kondisi tidak normal.
Apa tepatnya yang tidak normal?
Sejak 2009 hingga Mei lalu, Amerika Serikat memberikan stimulus moneter dengan dana murah ke negara-negara berkembang. Masuknya dana murah—yang sudah cukup lama—ke sistem keuangan dunia membuat negara-negara tersebut merasa berada pada periode yang normal. Padahal tidak.
Akibatnya, dunia ekonomi terguncang ketika Mei lalu The Federal Reserve mengumumkan pengurangan stimulus.
Ya. Tapi pernyataan itu direspons berlebihan oleh pelaku pasar sehingga menyebabkan guncangan terhadap nilai tukar mata uang dunia, termasuk rupiah. Padahal pengurangan tersebut belum dilaksanakan.
Bagaimana jika Amerika Serikat benar-benar mengurangi stimulus mereka?
Kalau mereka menguranginya secara bertahap, tak akan terlalu berdampak. Tapi masih mungkin terjadi alternatif lain yang harus kami waspadai, yakni jika terjadi pengurangan drastis. Jika itu terjadi, yang paling terpukul pertama kali adalah sektor keuangan, termasuk perbankan. Kami telah berkoordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menghadapi skenario terburuk jika terjadi capital reversal atau pembalikan arus modal.
Apakah perekonomian kita amat bergantung pada dana asing sehingga mudah guncang ketika stimulus moneter dari Amerika dihentikan?
Perekonomian Indonesia mengalami twin deficits saat ini, yakni pada transaksi berjalan dan neraca pembayaran. Hal ini menunjukkan Indonesia amat bergantung pada dana asing untuk bisa membiayai ekonominya. Negara-negara di dunia yang perekonomiannya tumbuh tinggi tapi transaksi berjalannya negatif merupakan negara yang lebih rentan kalau terjadi pembalikan arus modal. Tahun lalu kita mengalami defisit perdagangan untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir. Total impor lebih besar daripada ekspor.
Tapi ini bukan pertama kali Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan?
Situasinya berbeda dengan pengalaman sepuluh tahun terakhir. Pada 2005, defisit kita hanya terjadi pada satu kuartal. Setelah harga BBM naik, langsung positif. Pada 2008, defisit terjadi dalam tiga kuartal. Begitu harga BBM naik, kembali positif. Sekarang ini sudah tujuh kuartal defisit dan meningkat tajam menjadi US$ 9,8 miliar. Padahal Juni lalu harga BBM sudah naik. Kami memperkirakan kondisi ini terus terjadi hingga 2014 dan 2015. Masalahnya kini telah menjadi problem struktural sehingga perlu ditangani bersama secara serius.
Pembahasan anggaran Amerika yang buntu menyebabkan government shutdown sejak pekan lalu. Apa pengaruhnya pada Indonesia?
Andai shutdown ini berlangsung hingga dua pekan, pertumbuhan ekonomi Amerika pada kuartal keempat bisa turun setengah persen. Jika berlarut sampai satu bulan, penurunan bisa sampai 1,4 persen. Itu sebabnya, kita mengharapkan kesepakatan anggaran di Amerika bisa segera tercapai. Dampak langsungnya ke Indonesia bisa ke bidang ekspor dan investasi.
Bisa Anda jelaskan lebih detail?
Bila dalam kesepakatan anggaran tersebut pemerintah Amerika tidak memperkenankan peningkatan plafon utang, akan berimbas pada ekspor Indonesia dan investasi Amerika di Indonesia. Pengaruh juga bisa terjadi pada jalur akun keuangan pemerintah—dan selanjutnya bisa berdampak pada penundaan rencana pengurangan stimulus.
Untuk menghadapi "efek" krisis anggaran Amerika, apa langkah Bank Indonesia?
Senantiasa menjaga stabilitas nilai tukar, kecukupan cadangan devisa, dan ketersediaan likuiditas. Juga bekerja sama dengan bank-bank sentral global ataupun melakukan komunikasi yang baik ke pasar.
Apa langkah Bank Indonesia untuk menjawab kondisi itu?
Kami menerapkan sejumlah bauran kebijakan sejak Mei lalu: memperkenankan nilai tukar melemah serta empat kali menaikkan tingkat suku bunga. Kami menerbitkan beberapa kebijakan, seperti memperpanjang tenor Sertifikat Bank Indonesia menjadi setahun, memperluas instrumen simpanan valas berjangka, menyesuaikan aturan giro wajib minimum, dan terakhir menerbitkan aturan loan-to-value atau nilai pinjaman agar kredit properti tidak bubble—menggelembung.
Bagaimana Anda menilai empat paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk merespons defisit?
Paket kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada 23 Agustus lalu bertujuan mengatasi masalah ekonomi jangka pendek, menengah, dan panjang. Kami gembira menyambutnya. Tapi implementasi dan inisiatifnya harus diperdalam, terutama implementasinya.
Maksud Anda implementasi kebijakan pemerintah kurang dalam?
Saya melihat area yang perlu merespons lebih banyak ada pada sektor riil. Bank Indonesia dan otoritas fiskal sudah cukup responsif. Tapi mereka yang ada di sektor riil perlu betul-betul mempersiapkan perencanaan yang lebih baik agar masalah struktural bisa diatasi.
Bagaimana Anda melihat kinerja menteri-menteri sektor riil menghadapi krisis ekonomi yang masih berlangsung?
Respons para menteri sektor riil dalam pertemuan-pertemuan koordinasi dengan Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Koordinator Perekonomian ataupun ketika kami undang ke sini cukup baik. Namun ini sebetulnya cerminan ketika Indonesia mendapatkan dana murah sejak Juni 2009 sampai sekarang: ada banyak pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan belum dikerjakan.
Misalnya apa?
Impor yang lebih besar ketimbang ekspor adalah masalah utama yang memerlukan respons segera. Ibaratnya, besar pasak ketimbang tiang. Subsidi BBM dan listrik sekarang jumlahnya sudah sampai Rp 330 triliun. Impor terbesar Indonesia saat ini adalah impor BBM. Barang pangan kita ternyata sebagian impor sehingga transaksi berjalan kian defisit. Pada sektor jasa untuk kegiatan ekspor, Indonesia hanya menikmati sampai pelabuhan. Ketika barang itu berlayar ke luar negeri, kapal dan reasuransi ekspornya harus memakai jasa asing.
Langkah strategis apa yang perlu diambil untuk lebih mendorong investasi?
Saya berharap pemerintah bisa mengarahkan investasi pada sektor hulu. Selama ini setiap upaya produksi harus mengimpor karena industri hulu tidak ada. Selain itu, kita harus mengundang investor luar negeri yang bisa mengekspor, bukan hanya memanfaatkan Indonesia sebagai pasar. Mereka juga harus ditarik agar menanamkan kembali keuntungannya di sini. Sekarang ini neraca pendapatan kita defisit US$ 25-26 miliar akibat investor asing melakukan repatriasi keuntungan ke negara asalnya setelah tiga tahun berada di Indonesia.
Kenapa belakangan Anda kerap mengundang para menteri untuk rapat koordinasi di Bank Indonesia?
Saya memang berfokus pada masalah moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Dan pemerintah punya domain sendiri. Tapi kita sama-sama tahu bahwa kerja Bank Indonesia selalu terkait dengan pemerintah, pusat ataupun daerah, sehingga perlu ada sinergi dan koordinasi. Sebagai bekas Menteri Keuangan, saya punya kesempatan berkoordinasi lebih baik karena sudah saling mengenal.
Apa komentar terhadap pendapat ini: independensi BI bisa terganggu oleh kedekatan Anda dengan pemerintah?
Saya dan jajaran BI berkomitmen penuh terhadap independensi bank sentral. Ketika fundamental ekonomi menunjukkan Bank Indonesia harus mengikuti nilai tukar yang melemah, itulah yang kami jalankan. Kalau tingkat bunga memerlukan penyesuaian akibat ekspektasi inflasi, kami naikkan suku bunga acuan BI. Itu semua akan berdampak amat besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pemerintah. Namun kami harus melakukannya untuk menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Belakangan berembus berita Anda bersiap terjun ke politik.
Begini. Sebagai Gubernur BI, saya diusulkan oleh Presiden dan dipilih oleh DPR melalui proses politik. Karena itu, saya akan menjaga hubungan dengan lembaga-lembaga negara dan partai politik. Jadi, misalnya ada undangan lembaga negara atau partai politik, saya mengupayakan dapat hadir, dan selalu dengan baik sangka.
Apa perlunya Gubernur Bank Indonesia ikut berkunjung ke Pasar Tanah Abang bersama Gubernur Jakarta?
Salah satu tugas utama saya adalah menjaga inflasi rendah. Jakarta menjadi daerah paling penting karena sekitar 24 persen inflasi nasional disumbang dari sini. Saya dan Dewan Gubernur Bank Indonesia ikut berkunjung karena kami ingin melihat secara langsung wilayah Jakarta yang berhasil—seperti di Tanah Abang. Provinsi ini berhasil menurunkan inflasinya di bawah inflasi nasional pada dua kuartal pertama 2013.
Mengapa Anda tidak mengajak para kepala daerah lain ikut menurunkan inflasi?
Justru itu yang hendak saya "kampanyekan". Bahwa masyarakat Indonesia jangan memilih pemimpin yang tak punya perhatian untuk menurunkan inflasi—yang menggerus kesejahteraan rakyat. Jika kepala pemerintah daerah Jakarta—yang menjadi barometer Indonesia—punya perhatian tinggi terhadap pengendalian inflasi, dan pemerintah mengapresiasi tindakan itu, kepala daerah lain akan berlomba-lomba mencapai hal serupa. Kalau itu yang terjadi, selesai sudah tugas kami di Bank Indonesia.
Andai Megawati berniat menggandeng Anda mendampingi Jokowi pada Pemilihan Umum 2014?
Selama ini saya hanya punya pengalaman sebagai profesional. Apa yang menjadi tugas saya, itulah yang akan saya selesaikan dengan baik. Maka, sekarang, pikiran saya sepenuhnya adalah mengelola sistem moneter Indonesia dengan baik.
Agus Dermawan Wintarto Martowardojo Tempat dan tanggal lahir: Amsterdam, Belanda, 24 Januari 1956 Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1984) | Kursus Perbankan dan Manajemen di State University of Buffalo, New York, Stanford University, Palo Alto | Institute of Banking and Finance Singapura Karier: Direktur Utama Bank Bumiputera (1995-1998)| Direktur Utama Bank Ekspor Impor Indonesia (1998-2002) | Direktur Utama Bank Permata (2002-2005) | Direktur Utama Bank Mandiri (2005-2010) | Menteri Keuangan (2010-2013) | Gubernur Bank Indonesia (mulai Mei 2013) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo