Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Kedelai 101

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denni Puspa Purbasari*

"Economists often argue that trade policies in practice are dominated by special-interest politics rather than by consideration of national costs and benefits. If this argument is correct, it may be better to advocate free trade without exceptions even though on purely economic grounds, free trade may not always be the best conceivable policy."
Paul Krugman, International Economics:
Theory & Policy, 2012

Kisruh kedelai mulai reda, tapi tetap menarik untuk dianalisis. Menanggapi tuntutan perajin tahu-tempe dan petani lantaran melonjaknya harga kedelai impor sejak tahun lalu, Menteri Perdagangan akhirnya mengeluarkan paket peraturan tentang kedelai pada 28 Mei 2013, yang meliputi aturan lisensi impor, harga patokan bawah (untuk petani), dan harga patokan atas (untuk perajin). Niatnya baik: melindungi petani dari jatuhnya harga kedelai pada saat panen, sekaligus melindungi perajin tahu-tempe dari kenaikan harga kedelai. Aturan ini disambut oleh Kementerian Pertanian, yang ingin mencapai target swasembada kedelai pada 2014. Meskipun terdengar masuk akal, apakah kebijakan ini tepat?

Pada 2012, luas panen kedelai kita tinggal 600 ribu hektare, menyusut 60 persen dibandingkan pada 1995 (Badan Pusat Statistik). Dari angka itu, lebih dari 50 persen ditanam di Jawa. Penurunan ini bukan saja karena konversi lahan, namun juga karena di lahan yang ada petani melakukan—dalam bahasa ekonomi—optimisasi. Yaitu, given kondisi lahan, cuaca, waktu, modal, harga kedelai, harga tanaman lain, harga benih, harga pupuk, pengetahuan, teknologi, upah tenaga kerja dan lainnya, petani memilih jenis tanaman yang menurut mereka paling menguntungkan. Untuk pertanian di lahan sawah di Jawa pada saat ini, petani umumnya memilih pola tanam padi-padi-palawija, dengan kedelai di urutan terakhir untuk kelompok palawija karena paling tidak menguntungkan. Karena itulah, ketika luas lahan kedelai turun, luas lahan jagung malah naik—mengindikasikan adanya crop competition. Jika demikian, argumen yang mengatakan bahwa produksi kedelai dapat dinaikkan bila ada pembukaan lahan baru belum tentu benar. Sebab, optimisasi akan menggiring petani/pengusaha menanam tanaman selain kedelai, yang lebih menguntungkan.

Karena luas lahan turun, produksi kedelai pun turun. Pada 2012, produksi kedelai Indonesia hanya 780 ribu ton. Dibagi dengan luas lahan (600 ribu hektare), produktivitas lahan hanya sekitar 1,3 ton per hektare. Angka ini jauh lebih rendah daripada produktivitas kedelai dengan bibit unggul yang berkisar 2,2-3 ton per hektare. Padahal, dengan luas lahan yang sama, produksi kedelai dapat meningkat dua kali lipat bila produktivitas kedelai meningkat dua kali lipat menjadi 2,6 ton per hektare. Dengan produktivitas hanya 1,3 ton dan harga kedelai Rp 6.000 per kilogram (sebelum kenaikan akhir-akhir ini), petani rugi. Namun kita jangan buru-buru terharu. Catat bahwa palawija hanya ditanam pada musim kering, setelah petani menanam dua kali padi, yang lebih menguntungkan. Naiknya harga kedelai impor saat ini tentu saja membuat petani senang. Mereka tak lagi butuh dukungan harga beli petani dalam Peraturan Menteri Perdagangan yang ditetapkan Rp 7.100 per kilogram, karena bisa menjual kedelai minimal Rp 7.000 per kilogram.

Beralih ke sisi konsumsi, perajin tahu-tempe adalah konsumen langsung kedelai. Namun rumah tanggalah konsumen akhirnya. Kebutuhan kedelai Indonesia pada 2012 sekitar 2,5 juta ton. Dari jumlah ini, 1,7 juta ton disuplai dari impor, yang 97 persennya berasal dari Amerika Serikat. Ini bukan soal konspirasi kapitalis atau nasionalisme kita yang luntur. Faktanya, tempe yang kita sukai adalah tempe yang kedelainya putih, utuh, besar, kulitnya empuk, minus kerikil. Karena itu, perajin tempe kita hanya menggunakan kedelai impor, apalagi ketersediaannya bisa diandalkan. Jadi, dalam produksi tempe, tak ada substitusi kedelai impor dan lokal. Perajin tahu, sebaliknya, tidak terlalu memilih kualitas, karena toh semua kedelai akan dihancurkan. Bagi mereka, yang penting barangnya ada dan harganya cocok.

Adanya crop competition dan imperfect substitutability antara kedelai impor dan lokal ini semestinya dipertimbangkan betul-betul oleh Kementerian Pertanian dalam mengusung program swasembada kedelai. Selain itu, berbeda dengan pasar beras internasional yang hanya memperdagangkan 8 persen produksi beras dunia, pasar kedelai internasional sangat besar. Dari total produksi dunia yang mencapai 267 juta ton, sekitar 37 persennya diperdagangkan. Artinya, ketika kebutuhan kedelai dalam negeri tidak mencukupi, Indonesia dapat dengan mudah mengakses kedelai dari pasar internasional. Karena itu, kebijakan beras perlu dibedakan dengan kedelai. Apalagi porsi tahu-tempe dalam konsumsi rumah tangga kita tidak sebesar beras.

Beralih pada isu harga kedelai yang melonjak, banyak suara menuding ada kartel di balik kenaikan ini. Padahal, dengan rupiah yang melemah, harga kedelai impor yang tidak naik sekalipun (saat ini US$ 14 per bushel, lebih rendah daripada pada 2012 yang hampir mencapai US$ 18) akan meningkat dalam rupiah. Kenaikan ini tidak hanya terjadi pada kedelai, tapi semua produk impor, apakah itu bahan baku, barang modal, atau barang jadi. Namun tampaknya hanya perajin dan koperasi tahu-tempe yang menganggap kenaikan ini luar biasa dan menuntut pemerintah melakukan intervensi.

Masalahnya, dengan keran impor yang paling longgar sekalipun dan hedging, harga kedelai di Indonesia tidak akan bisa kurang dari harga jual ke perajin dalam Peraturan Menteri Perdagangan, yang terakhir ditetapkan Rp 8.490 per kilogram. Alasannya, harga kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT), ditambah dengan biaya transportasi dari green belt ke Gulf/Pacific North West kemudian ke Asia, ditambah tarif 5 persen, dan dirupiahkan, sudah mencapai Rp 9.050 per kilogram—per 10 September 2013. Ini belum termasuk biaya pengemasan, pergudangan, dan distribusi dari kapal ke distributor hingga retail. (Komponen-komponen biaya pembentuk Rp 9.050 tersebut transparan, semuanya dapat diakses oleh publik.)

Kita sering curiga pada mekanisme pasar dan modal. Padahal, selama proses entry-exit di pasar berlangsung secara bebas dan murah, plus Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengawasi, persaingan akan menjamin kebutuhan kedelai domestik tercukupi dengan harga yang bersaing. Sebagai contoh, importir besar seperti FKSMA barangkali akan cenderung mengimpor kedelai dalam bentuk bulk (sekapal penuh) untuk dijual di Jawa. Di pasar bulk, ia mungkin dilawan oleh pemodal besar lain seperti Cargil. Tidak hanya itu. Para pemodal besar ini juga akan "diganggu" pasarnya oleh para pemodal kecil yang mengimpor secara ketengan lewat kontainer. Pemodal kecil ini akan melayani pasar-pasar yang memang efisien untuk pengadaan skala kecil, karena selain lebih gesit, pengadaannya bisa lebih cepat. Tak mengherankan bila pangsa pasar bulk hanya sekitar 56 persen dari total impor pada 2012.

Namun, dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan, impor kedelai tak lagi bebas; untuk mengimpor, importir harus mendapatkan lisensi impor. Kapan lisensi ini keluar, dan berapa banyak impor yang diizinkan, tidak diketahui pasti. Sebagai syarat untuk mendapatkan lisensi, importir harus menunjukkan bukti pembelian kedelai lokal yang sudah diverifikasi. Padahal kedelai lokal lokasinya tersebar, jangkauan pasarnya terbatas, dan jumlah produksinya tidak diketahui pasti karena petani belum tentu menanam kedelai. Verifikasi pembelian pun menjadi persoalan. Ini semua menciptakan ketidakpastian.

Keputusan pemerintah yang akhirnya membatalkan tata niaga kedelai patut diapresiasi. Keberpihakan kepada petani sangat beralasan. Namun, ketika petani kita sudah senang dengan harga tinggi, dan ibu-ibu pun tidak ribut dengan naiknya harga tahu-tempe (seperti pada daging atau cabai), dengan sedih saya cuma bisa teringat kutipan Paul Krugman di atas. Siapa pun yang belajar Ekonomi 101 pasti tahu bahwa price control menyebabkan hilangnya efisiensi, dan kuota lebih buruk daripada tarif karena tidak transparan dan membuka peluang rente. l

*) Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus