Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Laksamana Sukardi: "BPPN Bukan Pegadaian, Jan gan Dulu Digoyang"

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, tetap ada hal yang bisa disyukuri Laks dengan posisi resmi sebagai Menteri Negara BUMN yang juga membawahkan BPPN itu. Bendahara Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan dua periode (1993-1998 dan 1998-2003) ini, setidaknya, bisa mewujudkan cita-citanya. Cetak biru BUMN yang dulu dibuatnya dan kemudian terbengkalai kini bisa dihidupkan lagi. Juga ambisinya untuk membangun good corporate governance di jajaran BUMN. Sarjana teknik ITB ini memang bersemangat kalau berbicara tentang pemerintahan yang bersih. Pembawaannya yang tenang dan penampilannya yang necis telah dengan rapi menyembunyikan kerisauannya tentang beberapa kendala besar. Satu di antara kendala itu adalah perilaku para pejabat BUMN yang digayuti benturan kepentingan atau conflict of interest. Ia juga miris dengan BPPN, lembaga ad hoc yang sarat dengan salah urus dan salah kaprah ini. Tapi Laks bukan tipe yang meledak-ledak. Seberapa tajam pun kritik yang dilontarkan oleh suami Rethy Wulur ini, wajahnya selalu tenang dan suaranya datar. Putra wartawan Gandhi Sukardi ini (kakeknya, Didi Sukardi, juga seorang wartawan) pekan lalu menerima Endah W.S., Nugroho Dewanto, dan Leanika Tanjung dari TEMPO di lantai 26 Gedung Danamon untuk sebuah wawancara. Petikannya:
Setelah LoI ditandatangani, pekerjaan berikutnya adalah perundingan di Paris Club. Apakah utang yang dibuat oleh sebagian BUMN dihitung sebagai utang pemerintah? Kalau utang BUMN yang digaransi pemerintah, ya, masih masuk utang pemerintah. Seperti proyek Paiton itu, kalau ada surat jaminannya, berarti termasuk utang pemerintah. Tapi saya kira ini masa-masa yang sangat sulit, sehingga benar-benar memerlukan komitmen untuk menyelesaikan masalah. Pemerintah nggak bisa bekerja tanpa dukungan DPR dan masyarakat. Apalagi ongkos krisis moneter saat BPPN harus melepas aset secepatnya untuk membayar kembali obligasi pemerintah. Dan yang perlu disadari, BPPN bukan lembaga pegadaian, dalam arti bahwa kalau harta diserahkan, bisa dijual lagi dengan harga yang lebih mahal atau sama. BPPN bukan lembaga pegadaian? Maksudnya? Contohnya BCA. Dengan deposito Rp 90 triliun yang masih dijamin pemerintah, modalnya negatif, dan membutuhkan Rp 28 triliun. Kalau tidak, kita harus membayar Rp 90 triliun. Sekarang mau diapain itu bank? Atau, kalau dijual lagi, hanya Rp 8 triliun dengan harga pasar, berarti rugi. Inilah yang saya bilang, BPPN ini bukan lembaga pegadaian, karena biaya yang harus dibayar. Kalau penjualan aset tidak kita lakukan, ongkosnya lebih besar lagi. Jadi, lebih baik jual rugi (cut loss) saja? Ini masalah yang mungkin agak sulit diterima. Kita harus melihat ke tujuan semula. Jangan melihat yang sekarang saja, tapi tidak mau melihat ke belakang. Menjual bank berbeda dengan menjual rumah. Kalaupun ada yang mau membeli dengan harga mahal, tapi jika orangnya tidak memiliki kredibilitas, tidak bisa juga. Apa mau seperti dulu lagi, pemegang saham memiliki akses terhadap ratusan triliun dana masyarakat yang bisa disalurkan ke grup sendiri? Kalau ini terjadi, dalam lima tahun bank kita direkap lagi. Siapa yang bertanggung jawab? Lebih baik kita mencari lembaga perbankan yang solid dan profesional. Cuma, umumnya mereka tidak akan mau masuk kalau tidak ikut mengontrol manajemennya. Akibatnya, tidak ada yang mau, kecuali bekas pemilik, yang bisa membuat kita tersandung pada batu yang sama. Apakah ada kebijakan pemerintah yang lebih radikal untuk menyelesaikan soal ini? Kalau BCA dijual kepada bank yang bagus, seperti bank gabungan dengan asing (joint venture), garansi pemerintah terhadap dana nasabah sebesar Rp 90 triliun bisa kita lepas. Mungkin dalam waktu enam bulan, karena pembelinya bonafide. Ini juga akan mengurangi jaminan di rekening 502. Pada gilirannya, akan membuat fungsinya sebagai perbankan berjalan. Garansinya bisa dilepas karena sudah menjadi bank asing? Ya, kalau memang bank yang solid, kita bisa mencabut garansinya. Dana pihak ketiga yang Rp 90 triliun pun bisa dikucurkan. Sekarang dari dana sebesar itu, pinjamannya hanya Rp 11 trilun, sisanya ditempatkan di obligasi. Itu kan bukan bank, tapi semacam fund manager saja. Kita ingin memulihkan fungsi bank sebagai intermediasi pada dunia usaha, agar ekonomi berjalan. Terus terang, saya sih nggak ada agenda khusus di belakang ini. Kita harus memakai prinsip terbuka dan transparan. Ini berarti, kalau pembelinya juga dari dalam, garansinya tidak dilepas? Ya. Saya khawatir, kalau tidak begitu, kita harus merekap BCA lima tahun lagi. Seharusnya, ada langkah radikal pemerintah untuk mengatasi ini. Pernah disebut-sebut soal asuransi bank untuk mengganti jaminan pemerintah itu. Penerapannya harus perlahan-lahan karena menyangkut kepercayaan. Kepercayaan di perbankan sifatnya fragile (rapuh). Sekali orang tidak percaya, takut, atau khawatir, langsung terjadi rush. Jadi, memang harus bertahap. Saya kira yang dijamin itu tidak usah semua. Di Amerika Serikat, dana masyarakat yang dijamin yang nilainya di bawah US$ 100 ribu. Kalau kita cukuplah yang di bawah Rp 100 juta saja Bagaimana dengan target privatisasi BUMN, apakah ada perubahan? Karena APBN tidak berubah, target dari BUMN tetap. Defisit APBN diperkirakan tetap sama dan pembiayaan dari dalam negeri masih diharapkan dari BPPN dan BUMN. Sisa waktu hanya empat setengah bulan, bagaimana merealisasinya? Saya kira persiapan-persiapan yang dulu sudah jalan, ya. Kita tinggal melihat prioritas yang mana yang bisa lebih cepat. Ada sebagian BUMN yang sudah masuk bursa sehingga bisa langsung dijual. Kalau hanya mengandalkan persiapan, efek sinergi penggabungan BPPN dan BUMN tidak akan terlihat. Memang, efek itu tidak persis dengan yang lama. Kita juga mencari prioritas. Saya sering mengatakan, yang berbasis teknologi diprioritaskan. Itu tak lain karena ada masa kedaluwarsanya. Kita lihat Telkom. Di bidang ini, ada PT Telkomsel, yakni perusahaan yang relatif baru dan berkembang. Nah, PT Telkom kalau dipisahkan dari PT Telkomsel nggak ada apa-apanya. Keuntungan Telkom paling dari hasil deposit atau uang pelanggan. Jadi, bisnis intinya sudah memasuki sunset, pudar. Seluler lebih populer sekarang. Dulu ingat tidak, sewaktu teknologi analog pertama kali keluar. Sekarang nggak laku lagi. Maka, di sektor teknologi, kita harus cepat. Daripada dipegang terus sampai kedaluwarsa sehingga akhirnya nggak laku. Kalau penggarapan di sektor pertanian seperti apa? Kalau PTP belum. Pertanian sekarang kita lihat lagi. Mana yang akan dijual tergantung permintaan. Soal asas kepemilikan dan manfaat itu bagaimana sebenarnya? Contohnya di bidang perbankan. Kita tidak mempunyai kepemilikan di bank asing seperti Citibank, Chase, atau bank patungan lainnya. Adapun di bank BUMN, kita mempunyai saham 100 persen. Pada awalnya sama, semuanya membayar pajak. Tapi pada akhirnya bank BUMN harus direkap ratusan triliun rupiah, sementara bank asing yang tidak kita miliki tidak direkap dan tetap membayar pajak. Jadi, manfaatnya bukan untuk mereka saja, tapi juga untuk kita, sehingga bisa merangsang perekonomian. Sementara itu, di bank yang kita miliki 100 persen manfaatnya zero, malah bebannya besar. Nah, bukan berarti bank yang tidak kita miliki tidak kita kontrol. Selama mereka beroperasi di daerah kedaulatan RI, kita masih melakukan kontrol melalui kebijakan, misalnya pajak. Itu yang selalu disalahtafsirkan. Tapi bukan berarti perbankan akan diserahkan ke asing? Nggak juga, karena bank itu juga sudah masuk bursa. Masyarakat bisa membeli lagi di lantai bursa, dan pasar modal akan berkembang. Soal pemetaan bank, bahwa akan ada bank induk, yang dulu dipersiapkan BPPN, nasibnya bagaimana? Itu nanti kita tinjau lagi, karena itu termasuk kebijakan pemerintah. Kalau melihat Singapura dan Malaysia, bank induk semacam itu kan ada? Saya kira bisa saja. Tapi, yang lebih penting adalah bank sehat dan diversifikasi kepemilikan. Kalau ada dominasi kepemilikan, bank itu akan hancur, karena tidak ada kontrol di dalam. Dengan masuk bursa, diharapkan ada kontrol dari pemegang saham publik. Memang, itu saja belum cukup. Perbankan adalah sebuah bisnis kepercayaan, sehingga makin banyak yang memiliki, makin bagus. Soal Semen Gresik belakangan ramai dibicarakan lagi, karena put option-nya akhir Oktober? Benarkah? Itu salah satu yang sedang kita lihat. Terus terang, saya belum mengambil keputusan. Jangan salah, ini juga karena menyangkut perusahaan publik. Kita sudah memanggil semua BUMN untuk memberikan assessment soal waktu, problem hukum, dan problem harga. Saya kasih waktu satu minggu untuk mengambil keputusan. Kalau menguntungkan, kenapa dilepas? Tapi bagaimana dengan Semen Padang? Kita nggak mau menciptakan masalah sosial. Memang ini sulit sekali. Tidak seperti yang dilihat orang, saya akan sangat berkuasa dengan aset Rp 1,5 zilion. Kalau asetnya bagus, ya nggak apa-apa. Kalau tingkat pengembalian asetnya satu persen saja, kita nggak usah meminjam uang lagi. Tapi ini kan aset angin semua. Sampah semua. Cemex kabarnya sudah menyiapkan dana untuk melaksanakan put option tersebut? Dengan adanya put option, mereka wajib melakukannya. Tapi kita akan melihat lagi, apakah akan meng-exercise option itu atau tidak. Moral hazard bagaimana? Itu kan problem juga? Ya, Anda tepat. Yang membuat kita masuk dalam krisis kan soal moral hazard. Saya berpegang pada prinsip itu. Jadi, jangan sampai menyediakan atau memfasilitasi terbentuknya moral hazard . Itu yang paling penting. Bagaimana kira-kira bentuk sinergi BPPN dan BUMN kelak? BPPN itu kan sifatnya ad hoc, yang terbentuk karena krisis. Selama empat tahun sejak dibentuk, kerja BPPN belum terfokus, terutama karena gejolak politik. Pergantian ketua terus terjadi dan tak ada perencanaan. Ini sangat disayangkan, bahwa satu badan yang bersifat ad hoc menjadi korban. Dalam sisa beberapa tahun ini, kita harus melakukan restrukturisasi asetnya, baru dilepas untuk dijual. Tapi ada beberapa industri yang ada di BPPN dan di BUMN. Mungkin, kalau sudah direstrukturisasi, belum kita lepas. Berhubung BPPN sudah akan dilikuidasi, aset-aset itu kelak ditempatkan di bawah naungan BUMN. Saya kira itu sinergi. Road show juga bisa bersamaan. Jangan yang satu menawarkan segini, yang satunya segitu. Sering penjualan BUMN terganjal parlemen, yang tidak mendukung rencana itu dengan dalih nasionalisme. Bagaimana menjawabnya? Sekarang begini, deh. Nasionalisme berarti mengedepankan kepentingan nasional. Sekarang bagaimana kita melihat itu dikedepankan. Saya juga nasionalis paling tulen. Memulihkan kepercayaan ekonomi adalah bagian dari proses nasionalisme. Kalau kita dipercaya sebagai bangsa sayur yang tukang ngutang, dan ekonomi nggak pulih-pulih, apakah itu prinsip nasionalisme? Kan enggak. Nah, kita sedang dalam taraf memulihkan kepercayaan. Kita mencari pola-pola apa yang bisa dipakai. Kembali ke asas kepemilikan dan manfaat tadi. Kalau kita memiliki perusahaan maju dengan pajak dan dividen besar, keuntungan nonfinansial juga besar, ekspor dan impor jalan, itu kan juga nasionalisme. Bukan nasionalisme yang sempit, yang mengatakan, pokoknya kita punya 100 persen, biar rugi nggak apa-apa. Nah, bukan nasionalisme model itu. Ini ironi. DPR menyoal nasionalisme. Eksekutif juga ikut-ikutan. Padahal, ada kepentingan yang tersembunyi. Nah, kira-kira bagaimana kabinet baru melihat ini? Justru itu, pemerintah sebagai pelaksana, dan DPR sebagai pengawas. Pelaksana itu harus memiliki integritas dan tidak mewakili benturan kepentingan. Kalau kita mengandalkan sponsor dan kepentingan politik, nama kita tercemar. Pemerintah dulu yang harus memiliki kredibilitas tinggi karena ini bukan kondisi normal. Pemerintah harus mengumumkan kebijakan pahit. Dari sekarang sampai tahun depan, tidak ada yang tidak pahit. Tidak ada berita baik untuk Indonesia Bagaimana struktur BUMN nantinya. Dulu Anda mempunyai asisten menteri. Apakah struktur ini bisa mencerminkan adanya sinergi? Ya, saya kira itu arah dan tujuan yang ingin kita capai. Tapi, kita tahu ini akan memakan waktu, tidak bisa selesai begitu saja besok. Yang penting, tidak tumpang tindih. Kita lihat saja yang mana yang kuat, yang bisa digabung. Kalau mereka kurang kita dukung. Sedangkan BUMN mulai dari nol lagi. Kita sedang mencari pola-pola yang optimal. Bagaimana perihal posisi Ketua BPPN, apakah akan ada pergantian atau dirangkap oleh Anda? Itu salah satu opsi. Tapi apakah itu yang terbaik, saya akan minta pertimbangan legal. Yang penting, tahun ini kita nggak akan rock the boat. Nggak digoyang langsung. Karena masih ada target yang harus kita kejar. Ya, reorganisasi dan penyesuaiannya saja membutuhkan waktu tiga bulan. Kembali ke soal Paris Club. Sebagai mantan salah satu ketua Prakarsa Jakarta, menurut Anda bagaimana baiknya menangani utang swasta. Begini. Di LoI disebutkan upaya menjamin stabilitas makroekonomi dari sisi nilai tukar, inflasi, dan suku bunga. Tapi pemulihan ekonomi mencakup makroekonomi dan sektor riil. Sektor riil tidak bergerak karena utang perusahaan masih banyak, terutama dalam dolar. Juga utang pemerintah. Kalau ini tidak direstrukturisasi, kita tidak memiliki kepastian. Kebutuhan dolar masih besar dan kalau perusahaan masih macet, bank tidak bisa memberikan modal kerja baru. Itu sebabnya di LoI restrukturisasi utang sangat penting? Ya. Restrukturisasi utang menempati posisi yang sangat penting. Restrukturisasi utang swasta melalui Prakarsa Jakarta. Restrukturisasi utang perbankan melalui BPPN. Restrukturisasi utang pemerintah melalui Paris Club. Celakanya, kita juga mempunyai banyak proyek bermasalah mulai dari Chandra Asri, Paiton, dan mitra KSO. Padahal, mereka mitra kita juga di Paris Club. Jadi, saling terkait sehingga kebijakan harus komprehensif. Dengan pandangan yang komprehensif itu kemungkinan akan terjadi trade off? Saya kira itu satu hak yang harus kita lakukan. Yang penting, bangsa kita ini cepat sembuh, cepat bayar utang, mandiri, sehingga dignity kita bisa kembali lagi. Dolar belakangan makin kuat, berapa besaran yang rasional? Buat restrukturisasi, sebenarnya yang lebih penting bukan tingkatan berapa. Intinya adalah adanya kepastian karena semua harus dihitung atau dijadwal ulang, sehingga bank bisa mengeluarkan modal kerja lagi. Dari sini kita bisa jalan. Bagaimana kasus Texmaco? Nggak, saya nggak ada masalah dengan Sinivasan. Kita tidak menoleh ke belakang, tapi menatap ke depan. Misalnya, gerbong kereta yang mesti jalan, padahal ada satu gerbongnya rusak. Apakah kita harus menunggu diperbaiki dulu, baru jalan lagi? Kan tidak? Gerbong yang rusak dipinggirkan saja, masuk bengkel. Bengkel ini adalah kiasan bagi lembaga kejaksaan. Itu tugas kejaksaan, bukan tugas saya. Tapi, kalau kejaksaan minta, ya saya kasih. BPPN semakin lama semakin bobrok, patgulipat terjadi dari bawah sampai ke atas. Bagaimana Anda melihat ini? Begini, deh, saya tidak bisa langsung memperbaiki dalam waktu singkat. Kalau bisa memperbaiki 10 persen, itu saja sudah bagus. Ada istilah, monkey see, monkey do. Kalau atasan begitu, ya bawahannya juga begitu. Kalau ngomong tentang BPPN, bukan ngomong sekarang. Kita harus melihat bagaimana perjalanan sejarahnya. Memang masih bisa dilakukan efisiensi. Tapi, kalau atasannya nggak, bawahannya juga nggak. Kita cobalah. Tugas saya ini berat sekali. Nggak pernah saya deg-degan seperti sekarang ini. Ya sudah, apa boleh buat, saya kerjakan, karena disuruh. Yang penting, integritas. Kembali ke pusat pengendali harta negara ternyata bukanlah hal yang menyejukkan bagi Laksamana Sukardi. "Saya malah deg-degan," katanya khawatir. Tugas menangani badan usaha milik negara (BUMN) dan menjual aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tidak membuatnya merasa sangat berkuasa seperti yang diperkirakan banyak orang. Harta negara itu bahkan sering memusingkan kepalanya. "Kalau asetnya bagus, mungkin tak jadi masalah," tutur Laks—begitulah ia biasa disapa. Masalahnya, kebanyakan dari aset yang nilainya ratusan triliun itu tinggal angin dan sampah belaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus